Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Megawati dalam Proses Politik Penegakkan Supremasi Sipil

24 Juli 2015   22:20 Diperbarui: 24 Juli 2015   22:20 2141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan Megawati, sebagai Presiden dan Ketum PDIP, sangat mendukung proses penegakkan supremasi sipil, meskipun terkesan di publik lebih mengarah pada upaya remiliterisasi yang bertentangan proses penegakkan supremasi sipil. Megawati berupaya menjaga agar perubahan pasal 2 ayat 1 UUD 1945 tidak berimbas pada karir politik ke depan.

 

Hal-hal di atas adalah sebagian kecil dari hasil temuan dari Freddy Ndolu, dalam Disertasi yang berjudul "Proses Politik Penegakkan Supremi Sipil Era Pemerintahan Megawawiti Soekarnoputri 2001-2004; Studi Tentang Tarik Menarik Kepentingan Posisi Politik di Parlemen pada Sidang Tahunan MPR tahun 202. Freddy Ndolu yang mempertahankan Disertasi pada ujian terbuka, Promosi Doktor, pada Jumat 24 Juli 2015 di Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tersebut, berhasil mendapt "Nilai Kelulusan" Sangat Memuaskan dari semua penguji.

Ada dua alasan Freddy Ndolu, yang lahir di Kupang pada 16 Nopmeber 1961 dan menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah di kota kelahirannya, melakukan penelitian yang mendalam mengenai Penegakkan Supremasi Sipil pada Era Megawati. Hal itu adalah, alasan praktis penegakkan supremasi sipil melalui amandemen pasal 2 ayat 1 UU 1945 merupakan pra-syarat proses konsolidasi demokrasi di Indonesia; dan yang kedua adalah alasan praktis, kebijakan Megawati dalam penegakkan supremsi sipil dilihat publik memiliki kecenderungan ke arah re-militerisasi. Selain itu, dalam disertasi Freddy, terlihat dengan jelas bahwa proses penegakkan supremasi sipil pasca reformasi, dimulai sejak Presiden Habibie. Habibie meletakan dasar demokrasi dan demokratisasi, Gus Dur melakukan pendobrakan terhadap sistem lama yang kokoh; dan akhirnya Megawati memutuskan secara konstitusional keberadaan TNI di Parlemen.

Pada waktu itu, isue krusial pada waktu ST MPR 2002, adalah Pasal 2 ayat 1 UU 1945

Sebelum Amandemen

Majelis permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.

Setelah Amandemen

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Perubahan beberapa kata pada ayat tersebut tidak terjadi dengan mudah dan tergesa-gesa; ada suatu proses yang cukup rumit; dan menyangkut percakapan politik dan kepentingan politis di dalamnya. Proses tarik ulur, jika tak hati-hati maka cenderung berujung pada dead lock. Dan untuk menghindari titik krisis politik, dan memungkinkan merambah keluar Gedung Parlemen, keluar, Megawai melakukan langkah-langkah strategis. Kebijakan yang di ambil, berlanjut pada keputusan secara konstitusional keberadaan militer di parlemen. Hal tersebut antara lain,

  1. Mendorong ketua PAH I MPR, Jacob Tobing, untuk segera mengambil keputusan tentang pasal 2 yat 1, yang menjadi landasan konstitusional keberdaan TNI di MPR
  2. Menjaga ekses-ekses yang ditimbulkan oleh adanya kekecewaan para pihak yang tidak setuju pada amandemen Pasal 2 ayat 1
  3. Mengakomodasi corporate interest and personal interest TNI dalam rangka peningkatan profesioanlisme TNI
  4. Melanjutkan kebijakan tentang penetapan Menteri Pertahanan dari kalangan sipil
  5. Melanjutkan kebijakan Gus Dur uji kepatuhan dan kelayakan, fit and proper test, terhadap calon Panglima TNI, dalam rangka penguatan supremasi sipil

Implikasinya adalah, dan yang paling terlihat adalah penegakkan supremasi sipil yang dilakukan di era transisi demokrasi pasca Soeharto sudah on the track, ditandai dengan ketaatan dan kepatuhan TNI dalam rangka menjalankan keputusan politik dari elite sipil. Hal tersebut, paling Nampak, adalah calon Panglima TNI harus menjalani fit and proper test di Parlemen melalui Komisi I DPR.  Hal tersebut, paling tidak, memunculkan dua hal penting, pertama, memunculkan kekecewaan dari pihak-pihak yang kalah dalam proses penambilan keputusan. Dan, yang kedua adalah, melalui berbagai kebijakan akomodatif yang dilakukan Megawati, kekecewaan tersebut (pertama) tidak berujung pada kegoncangan politik.

Implikasi lainnya adalah terkait dengan “hilangnya” menjaga kebangsaan di parlemen yang selama ini diperankan oleh wakil-wakil TNI di parlemen dimungkinkan mendegradasi niali-nilai kebangsaan. Mengingat dalam perkembangan politik pada akhir-akhir ini telah terjadi penguatan budaya konsumeris dan hedonis dari para eliti sipil yang kehadirannaya di DPR mengandalkan pada intervensi politik uang.

Freddy Ndolu, juga melihat bahwa kebijakan Megawati, sebagai Presiden dan Ketum PDIP, sangat mendukung proses penegakkan supremasi sipil, meskipun terkesan di public lebih mengarah pada upaya remiliterisasi yang bertentangan proses penegakkan supremasi sipil. Megawati berupaya menjaga agar perubahan pasal 2 ayat 1 UUD 1945 tidak berimbas pada karir politik ke depan.

Megawati, bukan sekedar putri Bung Karno dan Ketum PDIP, ternyata memiliki visi politik yang berbeda dengan ayahnya. Megawati, seperti dituturkan Jacob Tobing, dengan tegas menyatakan bahwa konsep berpikir Soekarno merupakan pemikiran tahun 1950-an sehingga sudah tak sesuai dengan perkembangan politik kekinian; secara substansial pemikiran tersebut memang layak dipertahankan, namun operasionalnya perlu direaktualisasi, sehingga tak ketinggalan zaman.

Megawati nampakanya memanfakan posisinya sebagai presiden dengan memerintakan TNI dan Polri, untuk mendukung amandemen konstitsi; dan kedua intistitusi tersebut taat serta unduk pada perintah Mega.

Melalui disertasinya, Freddy berhasil membuka kembali wawasan publik bahwa "Megawati tidak seperti dipikirkan publik;" dalam kapasitas dan kualitas kenegarawannya, Megawati berhasil menggiring orang-orang yang "bertempur" di ruang parlemen untuk mengikuti rencana besar untuk bangsa yaitu, militer kembali ke barak tangsi, atau asrama. Bayangkan, kehadirian militer di/dan dalam pemerintahan sipil "sudah ada" sejak 1945; dan dengan intrik militer pada masa-masa itu, maka terjadi perubahan-perubahan dan pergantian pemerintah, akibat ada dan tak ada dukungan militer. Bahkan, kehadiran militer yang semakin kuat di pemerintah pada era Soeharto, dan tersisa di Golkar dan masa Habibie, menjadi tak berbekas pada masa Megawati.

Dengan demikian, apa-apa yang terjadi tersebut, menjawab anggapan publik bahwa “Megawati konservatif, oleh sebab itu memperlambat proses pelembagaan supremasi sipil, jelas tidak benar;” sebab di era Megawatilah proses tersebut bukan saja sebagai akhir proses melainkan titik puncak darik proses yang telah lama berlangsung. Dengan itu, pada pemerintahan presiden-presiden setelah Megawati, misalnya SBY dan Jokowi, menikmati hasil proses supremasi sipil tersebut. Dan mereka pun tak diganggu oleh militer yang nakal dan kepala  batu.

 

Selamat untuk Dr Freddy Ndolu

Dari semua Alumni SMA 173/ 1 Kupang, Timor 

Dr Freddy Ndolu dan Isteri bersama Maestro Gerson Poyk dan Opa Jappy | Koleksi Pribadi

 

PENGALAMAN KERJA

  1. Pegawai Negeri Sipil RRI Jakarta (1984 – 2012)
  2. Broadcasster Voice of Indonesia, the Overscas Sservice of RRI (1986 – 1998)
  3. Broadcaster RRI siaran Dalam Negeri (1986 – 2004)
  4. New Editor, Producer, Newscaster & Interviewer pada Voice of Indonesia (1987 – 1997)
  5. Wartawan Peliputan PDI Perjuangan (1999 – 2004)
  6. Wartawan Isatana Presiden & Wakil Presiden (2001 – 2004)
  7. Host Program Otonomi Daerah di TVRI (2001 – 2002)
  8. Host Program Oposisi di Qtv (2005 – 2009)
  9. Host Program Diplomatic Comer di Qtv (2006)
  10. Host Program Solution Maker di Qtv (2007 – 2008)
  11. Host Program Leaders of Indonesiasatu di Qtv (2007 – 2010)
  12. Direktur Program Qtv Jakarta ( kini Berita Satu) (2005 -2007)
  13. Dosen Psikologi Komunikasi pada Institut Bisnis & Informatika Indonesia (IBII Jakarta (2007 – 2009)
  14. Founder and Chairman, Indonesiasatu Foundation (2012 – sekarang)
  15. Pendiri Majalah Lider Juni 2002

ORGANISASI

  1. Ketua Forum Wartawan Peduli Ibu dan Anak Jakarta (1996 -2000)
  2. Pembina Keluarga Anak Dengka Rote – Ndao di Kupang 2012

KARYA BUKU

  1. DIA : Sebentuk Potret Magawati Soekarnoputri (2004)
  2. Most Wanted Leaders – Sebuah Trilogi, Sosok & Pemikiran 64 Tokoh Untuk Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun