Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masih Banyak AD yang Lain

11 Juni 2015   14:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:06 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini publik dikejutkan dengan berita penelantaran anak berinisial AD di Perumahan Citra Gran Cluster Nusa Dua Blok E8 No 37 Cibubur. AD yang masih berumur 8 tahun sudah tidak sekolah. Dia diterlantarkan orangtuanya dan dibiarkan tidur selama berbulan-bulan di pos keamanan dan berkeliaran tanpa pengasuhan. Setelah menerima laporan dari tetangga dan RT setempat, akhirnya KPAI bersama kepolisian menjemput AD bersama empat saudari AD yang bernasib serupa. Perlakuan orang tua terhadap anak tidak terjadi kali ini saja, banyak kasus serupa yang mengemuka sebelumnya [kompasiana.com].

 

Mungkin, sama dengan banyak orang Indonesia lainnya, saya tak tahu dan tidak pernah kenal siapa AD; cuma sekedar tahu lokasi tempat tinggalnya. Ya,  AD nama yang tiba-tiba terkenal setelah ia tiada; ia menjadi kenangan, setelah kepahitan hidup serta kehidupannya menghantar dirinya pergi menghadap Sang Pencipta sebelum masanya.

Ya. Kepahitan, derita, dan kepergian AD, sekali lagi menggetarkan sukma Nusantara; membuat banyak bibir dan mulut yang selama ini diam, mengeluarkan suara keras; mereka berseru-seru di banyak media. Juga, kepergian AD menjadikan banyak mata, yang tadinya tak pernah melihat derita dan sengsara orang lain, mengeluarkan air mata kesedihan dan penyesalan. Mereka menyesal dan sedih, karena mengapa AD bisa mengalami hal-hal yang di luar norma-norma kemanusiaan.

Apa pun itu kesedihan, penyesalan, air mata, dan teriakan, semuanya muncul di saat kekinian ketika AD telah menjadi "nama," nama yang melekat dengan penyiksaan serta siksaan; dan pada waktu akan datang, mungkin orang akan menyapa, "Ingat AD,"  "Jangan sampai terjadi seperti AD," dan seterusnya. Mungkin saja, "AD" akan menjadi seperti, pada peristiwa masa lalu, Arie Hanggara, sehingga jika ada kasus pelantaran dan kejahatan terhadap anak, maka orang dengan ringan berkata, "Ari Hanggara Jilid II, III, dan seterusnya."

Ya. Kasus seperti AH, dan terbaru AD, sudah sering terulang, terulang, dan terulang di Nusantara tercinta; dan ketika muncul, hampir semua lapisan berseru serta berteriak lantang. Tapi, berdasar pengalaman, teriakan tersebut hanya sebentar; cuma sesaat, sekedar reaksi agar dunia tahu bahwa Si Yang Berseru dan Si Yang Berteriak itu ada dan memperhatikan anak-anak terlantar; mereka cuma meramaikan suasana dan mengotori udara dengan suara-suara bising yang tak bermakna.

Setelah itu, semuanya berhenti, dan nyaris tak berbuat banyak.

Ketika semuanya lupa dan melupakan, tak lama kemudian kasus-kasus yang nyaris sama terulang; terulang di sebelah sanaa serta di pojok situ, korbannya adalah anak-anak, dan pelakunya adalah orang dewasa.

Mengapa bisa seperti itu!? Pertanyaan yang usang, dan tak mudah menjawabnya. Namun, banyak orang dengan mudah menjawab serta berikan alasan ini-itu. Tapi cuma sedikit yang mencoba untuk melakukan sesuatu agar tak terulang.

Atau mungkin, di negeri ini sudah kehilangan aka sehat!? Tidak juga. Masih banyak orang waras, berpendidikan, kaya raya; dan juga negara ini masih mempunyai pemerintah, yang didalamnya ada institusi yang berjuang serta berkarya demi kesejahteraan sosial, rakyat, termasuk anak-anak. Di negeri ini, juga masih banyak umat beragama dan lembaga keagamaan, yang dalam panggilan serta pelayanan diakonia serta amalnya, mampu melakukan banyak hal dalam rangka sejahterahkan anak-anak.

Tapi, apakah mereka bisa atau mau melakukan semuanya!? Seharusnya bisa dan mau; sayangnya tak banyak yang mau mengerjakannya. Jika seperti itu, maka setelah AD, akan muncul AD, AD, dan AD lainnya.

 

 

 

 

 

 

SUPLEMEN

Simak Tulisan saya pada 1 Desember 2011

Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan terhadap anak-anak adalah perilaku yang bersifat tindak penganiayaan yang dilakukan orang tua [dewasa] terhadap anak-anak [usia 0 - 18 tahun, atau sepanjang mereka masih berstatus anak secara hukum].

Pada umumnya, masyarakat berbendapat bahwa kehadiran anak [dan anak-anak] dalam keluarga merupakan berkat dan karunia dari TUHAN kepada pasangan suami-isteri. Mereka merupakan titipan TUHAN Yang Maha Kuasa kepada ayah dan ibunya. Oleh sebab itu, anak wajib dijaga dan dilindungi, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

Hampir semua anak [dan anak-anak] dilahirkan karena keinginan ayah-ibunya [ini juga berarti, ada anak yang dilahirkan di luar rencana]. Walaupun ada penyebutan anak di luar nikah, lebih bermakna anak yang dilahirkan sebelum sang ibu menikah; sedangkan perbuatan yang menjadikan anak itu ada, merupakan tindakan yang penuh kesadaran. Proses pertumbuhan dan perkembangan anak [misalnya bertambah besar, pintar, dan lain-lain] di tengah keluarganya, sangat berkaitan dengan berbagai faktor yang saling melengkapi satu sama lain. Semuanya itu, sekaligus menjadikan anak mampu berinteraksi dengan hal-hal di luar dirinya [misalnya orang tua, adik-kakak, teman sebaya, tetangga, sekolah, masyarakat, dan lain-lain]. Interaksi itu ditambah dengan bimbingan serta perhatian utuh dari orang tua menghasilkan berbagai perubahan, pertumbuhan, perkembangan pada anak, menyangkut fisik, psikhis, sosial, rohani, dan intelektual, pola pikir, cara pandang, dan lain-lain.

Seiring dengan itu [perubahan, pertumbuhan, perkembangan], seringkali terjadi benturan-benturan ketika anak [dan kreativitas pikiran dan tingkah lakunya] berhadapan dengan ayah-ibu mereka serta orang dewasa lainya. Dan tidak menutup kemungkinan, dampak dari benturan-benturan itu adalah berbagai bentuk perlakuan [kekerasan fisik, kata, psikhis yang dibungkus dengan kata-kata semuanya adalah nasehat dan didikan] orang dewasa kepada anak [dan anak-anak].

Hal itu terjadi karena orang dewasa [atas nama orang yang melahirkan, yang memberi kehidupan, yang mengasuh, lebih tua, lebih dewasa, lebih pengalaman, lebih tahu, harus didengar, harus dihormati, dan lain-lain] menganggap anak [dan anak-anak] telah melawannya, bandel, tidak mau dengar-dengaran, keras kepala, serta telah melakukan banyak tindakan perlawanan terhadap orang yang lebih tua. Tindakan-tindakan dalam rangka upaya pendisiplinan, menuntut kataatan tersebutlah yang menjadikan orang tua memperlakukan anak-anak mereka secara fisik dan psikologis, sehingga berakibat penderitaan, tidak berdaya, bahkan kematian.

Anak [dan anak-anak] yang menjadi korban kekerasan dari orang tuanya, mengalami ketakutan dan trauma pada dirinya. Ketakutan dan trauma tersebut menghantar mereka lari dari rumah dan lingkungannya. Tidak sedikit dari antara mereka yang akhirnya menjadi anak-anak terlantar, bahkan jadi bagian [anggota] dari kelompok penjahat dan pelaku tindak kriminal lainnya.

Bentuk lain dari kekerasan anak-anak, adalah berupa perdaganan anak-anak; perdagangan anak [dan anak-anak], merupakan transaksi jual-beli yang menjadikan anak [dan anak-anak] sebagai objek jual. Transaksi itu dilakukan oleh atau melalui pengantara ataupun orang tuanya sendiri. Pada sikon ini, anak-anak [yang menjadi objek jual-beli] dihargai dengan sejunlah uang atau alat ekonomi, untuk mendapat keuntungan. Para pembelinya adalah keluarga-keluarga yang tidak mempunyai anak; dan tidak mau berurusan dengan kerumitan persyaratan administrasi adopsi; kasus perdagangan anak [termasuk di Indonesia], sebagaimana laporan media massa, antara lain, 

  • bayi dan anak yang kelahirannya tidak diinginkan oleh ayah-ibunya, biasanya akibat tindakan-tindakan seks bebas dan seks pra-nikah;
  • anak-anak perempuan usia pra-remaja dan remaja putri, yang diculik, disekap, kemudian dijual, dan dipaksa sebagai pekerja seksual, di daerah yang jauh dari tempat asalnya; ada juga anak-anak dari keluarga-keluarga miskin [terutama berusia antara 5 - 10 tahun] kota dan desa, diculik oleh para bandit dan preman untuk dijadikan pengemis
  • orang tua menjual anak kandungnya sendiri, usia 0 - 5 tahun [balita], karena kesulitan ekonomi; pada banyak kasus, orang tua dari keluarga miskin menjual bayi ataupun anak-anaknya, agar mereka terbebas dari kesulitan ekonomi;
  • anak-anak [terutama balita] yang dicuri atau diculik oleh para penjahat terhadap anak-anak; korban penculikan tersebut diperjualbelikan; terutama kepada keluarga yang kesulitan mempunyai anak kandung

Oleh

Jappy Pellokila/Opa Jappy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun