Â
Bermula dari kaka' yang tinggal di Singaraja, Bali menulis Status di Fb (lihat capture), tentang seorang Perempuan Revolusioner, yang usianya jauh di atas kami, berasal dari Rote - NTT, dan berdiam di Belanda.Â
Ia adalah Fransisca Fanggidaej, seorang Perempoean Pejoeang dan Pejoeang Perempoen, yang karena berbeda pandangan dengan Orba, maka puluhan tahun berdiam di China serta sejak 1985 tinggal di Belanda hingga Tuhan memanggil kembali ke hadapan-Nya.
Itu adalah sepenggal kisah dan ingatan pada diri mereka yang mengenal sosok Fransisca Fanggidaej; namun, tak diketahui oleh generasi baru di NTT, apalagi Indonesia.Â
Mungkinn saja, kita, anda, saya yang sedang baca ini, juga baru tahu-mengenal nama Fransisca Fanggidaej; wajar, karena memang kurang informasi tentang dirinya.
Sosok Francisca C. Fanggidaej, walau ia suku Rote, namun lahir 1925 di Noël Mina, Timor. Ibunya bernama Magda Maël, seorang anak bangsawan di Timor; Ayahnya, Gottlieb Fanggidaej, seorang pegawai tinggi di Hindia Belanda, yang pada saat itu bertugas di Noel Mina, Timor Tengah Selatan.
[Cuma ada sedikit ingatan dan informasi tentang masa kecil Francisca di Kupang, kemudian di Surabaya.Â
Namun, bisa diambil simpulan kecil, karena ia terlahir sebagai anaka pejabat tinggi Hindia Belanda; bahkan di rumah, ia hanya diizinkan berbahasa Belanda, sehingga bertumbuh merasakan dirinya sebagai seorang bangsa Belanda, maka tentu ia menikmati banyak kemudahan di masa kecil.
Francisca bersekolah Belanda, di Europeesche Lagere School (ELS) dan MULO, yang khusus untuk warga Belanda, anak-anak pegawai Hindia Belanda, dan Bangsawan]
Keberadaannya di Surabaya cuma sedikit terekam, karena mereka yang tua-tua dan pernah mengenalnya serta bisa bertutur tentangnya, telah tiada.Â
Yang sempat teringat adalah masa muda Fransisca, ia berbeda pandangan dengan ayah-ibunya yang pejabat tinggi Hindia Belanda. Fransisca ingin agar rakyat Timor (pada waktu itu, belum terbayang Indonesia Merdeka) mengalami kemajuan dalam segala bidang sejajar dengan Belanda, dan kemerdekaan.
Pandangan masa depan, yang beda dengan orang tuanya, serta jiwa revolusioner tersebut, menjadikan ia tetap di Tanah Jawa seletal menyelesaikan MULO; kemudian bertumbuh dan bergabung dengan pegerakan kaum muda (pra-) Indonesia.Â
Sejalan dengan itu, wawasan keindonesiaannya mulai berkembang. Fransisca tidak lagi berpikir tentang Timor, melainkan Indonesia, ya Indonesia.Â
Ia kemudian bergabung dengan organisasi Pemudan Republik Indonesia di Surabaya, Jatim.
Semangat, fasih bicara, dan ketermukaannya, menjadikan Fransisca terpilih sebagai wakil Pemuda RI Surabaya untuk mengikuti Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta, pada 6-10 November 1945.Â
Tanggal 10 Nopember, ketika selesai Kongres, rombongan dari Surabaya tak bisa pulang karena pertempuran antara rakyat dan tentara Sekutu.
[Jika tak salah info] Karena semangat perjuangan yang besar, Fransica berusaha menerobos blokade Sekutu, dan berhasil sampai di markas pemuda perlawanan; teman-temannya yang lain tertahan di Madiun, dan bergabung dengan pergerakaan pemuda disana.
Sudah menanti teman-teman perempuan pejuang 1945; mereka menjadi bagian dari Rakyat Indonesia di Surabaya, yang bertempur melawan pasukan Sekutu."
Setelah masa pertempuran mempertahankan Kemerdekaan agak mereda, Fransisca tetap aktif sebagai tokoh pemuda melalui Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, bahkan seringkali menjadi/meawakili BKPRI pada pertemuan pemuda tinggkat Internasional.Â
Pada 1957, ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat mewakili wartawan. Sebagai anggota delegasi parlemen, ia berkunjung ke Kuba pada 1960 dan 1953, serta berjumpa Fidel Castro.
Pada tahun 1964, Presiden Soekarno memilih dan mengangkatnya sebagai salah satu penasehat presiden - staf inti kepresidenan, dan sering mengikuti perjalanan Presiden ke ke berbagai negara.Â
Kedekatan dengan Presiden dan besar dari/di Pemuda Sosialis Indonesia (yang kemudian mejadi Pemuda Rakyat, organisasi pemuda dibawah PKI), menajdikan Fransisca sebagai orang yang tak disukai Orba.
Pada tahun 1965, ketika ia berada di Chili sebagai anggota delegasi Indonesia pada Kongres Organisasi Wartawan Internasional, terjadi tragedi G30S, Fransisca tidak bisa kembali ke Indonesia; ia dilarang pulang ke Tanah Air.Â
Sejak itu, 1965-1985, Fransisca tinggal Republik Rakyat Cina, dan sejak 1985 menetap di Belanda [Zeist, Utrecht, Belanda] hingga 14 Nopember 2013, Tuhan memanggilnya kembali kehadapan-Nya.
Itu sedikit tentang Oma, Tante, dan Aunt Fransisca Fanggidaej; satu dari sekian banyak Perempuan Revolusioner Indonesia, kelahiran Timor; yang hidup dan kehidupannya bukan cuma untuk Orang Timor, namun bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia, serta dunia (Di Belanda, Francisca menjadi anggota Komite Indonesia-Belanda, dan ikut mendirikan Stichting Azië Studies-Yayasan Studi Asia).
Akhir kata, mari kita coba renungkan kata-kata dari Fransisca Fanggidaej
Pada awal Orde Baru satu juta orang Indonesia tak bersalah dibunuh dan ratusan ribu lainnya dilemar ke dalam penjara dan kamp konsentrasi dalam satu tragedi nasional yang dampaknya sampai hari ini belum teratasi.
Dalam keadaan demikian perlukah Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diperingati?Â
Dengan pertanyaan ini di hati dan di kepala, saya menukik ke masa lampau, ketika saya sebagai pemuda berumur duapuluhan, dengan antusiasme yang menyala-nyala dan semangat pantang mundur menerjunkan diri ke dalam kancah gejolak dan pergolakan revolusi di Surabaya.
Kita tidak boleh lupa pengorbanan yang begitu besar yang sudah diberikan oleh berbagai generasi pejuang demi mewujudkan cita-cita Proklamasi, yaitu suatu masyarakat Indonesia yang sungguh bebas, demokratik dan berkeadilan sosial. Kita masih jauh dari perwujudannya.
Maka perjuangan itu masih berlanjut pada hari kini dan di masa depan. Pada hari ini harapan kita tak lain bahwa generasi muda yang kini berjuang untuk cita-cita itu mengambil semangat dan jiwa dari generasi kami yang pada Revolusi Agustus itu bergerak, dan agar mereka terus bekerja dengan cara mereka sendiri, di dalam kondisi nasional dan internasional yang sudah banyak berubah, dan akhirnya mencapai tujuannya!
Akhir  kata,
Selamat Jalan Perempuan Revolusioner, jerih dan juangmu tak hilang dimakan rayap zaman, serta tak pernah punah dari dalam semua hati, Â sebab dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.
Engkau telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagimu mahkota kebenaran yang dikaruniakan kepadamu oleh Tuhan, Hakim yang adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H