Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Teroris Harus Ditembak Mati

5 Januari 2014   16:54 Diperbarui: 10 Desember 2020   11:04 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Jappy Network

Cipanas, Jawa Barat | Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan; meneror bermakna berbuat kejam, sewenang-wenang, semena-mena, paksaan, ancamam, tindakan, kata-kata/pernyataan, dan lain sebagainya untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut. 

Ada banyak cara, kata, tindakan, sikon (yang sengaja diciptakan) secara sendiri maupun bersama yang bisa dikategorikan sebagagi teror dan meneror.

Bahkan, aksi-aksi yang bersifat teror dapat terjadi di mana-mana dan oelh siapa pun juga; semuanya bertujuan agar yang teror menyerah kalah terhadap yang meneror, sekaligus mengakui eksistensi dan keberadaan si peneror. 

Lebih dari itu, jika si peneror (si teroris) mewakili institusi dan idiologi, maka ia inginkan agar yang diteror tunduk, takluk, dan berada di bawah naungan serta pengaruh idiologi usungannya.

Jika mengurut jauh ke belakang, sejak era arus informasi belum menyebar dengan cepat, teror-teroris sudah ada, namun tak terpublikasi dengan cepat dan luas. Belakagan, ketika informasi (gambar, suara, dan kata, bahasa) dengan cepat menyebar, maka news-news mengenai teror dan teroris bisa menembus sampai ruang publik, kamar tidur, dan wilayah private lainnya. Bahkan tak sedikit berita e-book, web, situs, cerita dan kisah mengenai teroris dan teror di berbagai pelosok Bumi, termasuk Nusantara, dapat dengan mudah sampai ke siapa pun.

Dokumentasi Mabes Polri
Dokumentasi Mabes Polri
Menelusuri semuanya itu, ternyata ada aneka ragam penyebab atau menjadi alasan seseorang menjadi pelaku teror atau teroris; hal tersebut adalah kedangkalan pemahaman - pemahaman yang dangkal atau pun kemiskinan dan sempitnya pengetahuan -  pengetahuan yang miskin dan sempit.

Sehingga, jika seseorang menjadi teroris karena alasan idiologi; maka ia mempunyai pemahaman yang dangkal - sempit - miskin tentang idiologi tersebut. Jika seseorang menjadi teroris karena alasan agama dan keagamaan; maka ia mempunyai pemahaman tentang agama - keagamaan yang dangkal, miskin, sempit.

Sasaran para teroris pun, sekarang tak lagi dibatasi dengan batas-batas teroterial geografis, atau di/pada negara-negara tertentu (termasuk bangsa, suku, sub-suku dan etnis tertentu), karena yang mereka lawan mau hancurkan adalah manusia dan kemanusiaan. Sehingga mereka, para teroris itu, tak peduli terhadap batas-batas yang ada. 

Bagi mereka, siapa pun yang berbeda dengannya (dengan idiologi, ajaran, panggilan jiwanya) maka ia adalah musuh yang patut disingkirkan.

Akibatnya, bisa dimaklumi bahwa ada teroris yang mau menghancurkan musuhnya di belahan dunia yang jauh, justru ia lakukan teror pada tetangga sebelah rumah. Musuh, permusuhan, di sana, namun, si teroris membalas ke orang lain yang tak ada hubungan apa pun dengan yang dianggap musuh tersebut.

Dengan demikian, jika teroris mempunyai corak, warna, ciri, dan bangun perjuangan seperti itu, maka ketika mereka, para teroris tersebut, (rencanakan dan telah) melakukan aksi-aksi teror yang penuh kebrutalan, kekerasan, kekejian, dan sejenisnya, apakah bisa diselesaikan dengan kata-kata manis dari aparat keamanan!?

Katakanlah, jika ada komplotan teroris yang terdeteksi di suatu tempat, dan mulai menembak aparat; maka haruskah aparat dengan kata-kata manis, lebut, sendu menyapa mereka, "Marilah anaku, saudaraku! Datanglah, diriku akan menyediakan tempat di sampingku, untuk minum kopi bersama!"

Bukan, dan bukan seperti itu, melainkan ditembak, seklai lagi ditembak hingga lumpuh; jika melawan maka ditembak serta terus menerus ditembak hingga tewas di tempat.

Secara khusus, kerjaan seperti itu, adalah tugas Densus 88 AT Polri. Sehingga jika Densus 88 menembak mati para teroris, mengapak kita harus marah-marah terhadap Densus!? Seharus yang dimarahi itu adalah diri kita sendiri karena membiarkan ada teroris di Nusantara. 

Aneh juga, ada orang Indonesia yang meminta membubarkan Densus 88 karena mereka menembak mati para teroris!? Para penolak adanya teroris - terorisme di NKRI tersebut, dari antara kalangan rakyat biasa, mahasiswa, akademisi, ormas keagamaan, tokoh agama, politisi, anggota parlemen, menteri, dan seterusnya. 

Mereka ada di mana-mana, dan bisa terbaca melalui psotingan - tanggapan - tulisan di jejaring sosial, web, blog, dan lain sebagainya. Bahkan ada di antara mereka yang dengan terang benderang menolak - menghina lambang-lambang NKRI; serta meminta bubarkan densus 88, satuan anti teror dari Kepolisian RI.

Asal tahu saja. Pada tahun 2003, Pemerintah RI - DPR RI mengeluarkan - menerbitkan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme atau biasa disebut dengan UU Anti Terorisme;  Undang-undang ini menyatakan dengan tegas kewenangan POLISI REPUBLIK INDONESIA (POLRI sebagai pilar utama pemberantasan tindak pidana terorisme (yang didukung juga oleh TNI dan BIN). Menindaklanjuti UU tersebut, Kapolri menerbitkan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 (agar) terbentuk-dibentuk Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri, disingkat Densus 88 AT Polri; kini populer dengan sebutan Densus 88.

Di tingkat Nasional, Densus 88 berada di bawah komando Mabes Polri, dan ditingkat wilayah berada pada Mapolda.

Densus 88 AT Polri memiliki empat sub-detasemen, yaitu Subden Intelijen, Subden Penindakan, Subden Investigasi, dan Subden Perbantuan. Selanjutnya masing-masing mempunyai unit-unit teknis dalam kerangka operasi (tugas) di lapangan. Para anggota Densus 88, juga merupakan personil pilihan dari Brimob Polri, yang memiliki kualifikasi tempur, tentu saja juga terampil menggunakan berbagai jenis senjata dan mempunyai kemampuan menembak yang tak diragukan.

Sejak hadir (adanya) Densus 88, sudah tak terhitung teroris tewas akibat tertimpa peluru mereka; dan tak sedikit yang tertangkap hidup-hidup, serta kini terpenjara. Bahkan, cukup banyak yang masih menunjukkan gelagat - mempersiapkan aksi teror, mereka sudah tertangkap  serta tewas sebelum menjalankan aksinya.  Salut, tunjukkan jempol,  ku angkat topi,  dan beri hormat kepada kerja dan karya mereka.

Semuanya itu, telah memberi kepuasan kepada seluruh WNI yang ada di Nusantara maupun Luar Negeri;  suatu kepuasan yang di lanjuti rasa aman serta bebas dari takut dan ketakutan. [Hanya, mereka yang berjiwa teroris sajalah yang menyalahkan dan menolak Densus 88. Mereka adalah manusia-manusia otak kotor, yang ingin negeri ini hancur, atau bahkan mereka adalah para pelindung dan pengkader teroris.]

Kehadiran dan jangkauan Densus 88 dari Sabang sampai Merauke - Sangir-Talaud sampai Rote, tak dapat disangkal oleh siapa pun di negeri ini, telah mampu menghadirkan “kebebasan dari rasa takut dan ketakutan;” bukan hanya untuk WNI tetapi juga masyarakat LN, terutama turis asing.  Oleh sebab itu, seluruh masyarakat Indonesia, patut dan perlu mendukung upaya - operasi - gerak - gerakan Densus 88.  Mereka wajib mendapat tempat di hati Rakyat Nusantara.
Ok lah, jika mau bubarkan Densus 88, namun apakan program atau yang dilakukan oleh Negara untuk membebasakan rakyat dari aksi-akasi teror dan terorisme!? Adakah sesuatu yang dilakukan dengan bukan mesiu dan senjata untuk meniadakan aksi-aksi teror - terorisme yang lahir dari radikalisme agama dan idiologi!? 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Jadi ingat tentang hal ini. Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag bersama Majelis Silaturahmi Kiai dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia (MKSP3I), melatih  30 orang da’i (untuk angkatan I) sebagai para Da’i Anti Radikalisasi; termasuk pembekalan oleh BNPT. 
Mereka dibekali pendidikan oleh Kepala BIN dan Puslitbang Kemenag. Nantinya, mereka (untuk tahabp awal) akan ditempatkan di Bogor, Indramayu, Sukabumi, Kuningan, Cirebon, Pandeglang, Mesuji, Solo, Karanganyar, Sampit, Sampang, hingga Kediri.

Menurut Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Prof Abdul Djamil, “Para da’i diarahkan dakwahnya untuk ikut memerangi perbuatan asusila, korupsi, narkoba, tawuran, dan konflik horizontal; mereka juga harus bisa mengupayakan penanaman nilai dan perilaku kemanusiaan di setiap ideologi umat,  [kemenag.go.id].” 

Itulah usaha awal dari pengakuan bahwa ada dan adanya hubungan antara perilaku radika/radikalisme dengan teror/terorisme. Sehingga, membasmi terorisme, harus berawal dari meniadakan - meminimalisir perilaku radikal/radikalisme agama.

Di manakah mereka berada, apa kerjanya, dan juga sampai jauh mana keerhasilan mereka!? Tanyakan ke Menteri Agama atau Sang Dirjen.

Juga, menurut laporan aparat yang berwenang menangani terorisme, ada sejumlah besar teroris yang dipenjarakan, bagus. 

Tapi, apalakah ada sejumlah psikolog, tokoh agama, atau spiritualis yang ditugas Negara untuk mencuci idiologi teror dari dalam diri para terpidana teroris tersebut!? Atau malah membiarkan mereka beriterkasi dengan dengan sesama teroris di dalam penjara, bahkan menyebarkan idiologi teror ke/pada sesama terpidana. Akibatnya, seorang teroris (yang dipenjara) dengan mudah melakukan rekruit dan pengkaderan legal melalui wadah penjara.

Lebih dari itu, tak sedikit orang Indonesia yang menyangkal bahwa adanya teroris - terorisme di NKRI. Mereka datang dari berbagai kalangan dan strata masyarakat. 

Mereka berseru atas nama agama, HAM, dan kemanusiaan, etika, dan lain sebagainya, yang menolak (terduga) teroris ditembak mati; dan sebisa mungkin dihadapi dengan dialog.  Timbul tanya, apakah mereka pernah atau berhasil meniadakan teror dan teroris dengan omong-omong dan membuat pernyataan!?

Buatku, program-program Negara terlihat gagal meniadakan terorisme dan teror kepada rakyat; oleh sebab itu, maka jalan tempuh yang tepat adalah ditembak mati. Dengan ia tak bisa membangun jaringan baru di penjara atau di manapun.

Teroris adalah teroris, dan bukan pahlawan yang patut dihormati sebagai pahlawan; mereka telah melakukan kejahatan terhadap umat manusia dan kemanusiaannya. Karena perbuatannya itu, mereka pun layak mendapat terjangan peluru aparat keamanan.

Juga, bagiku, adalah sesuatu yang sangat wajar, jika terduga teroris dan teroris, ketika mau ditangkap, dan melawan aparat, maka langsung ditembak mati.

[Lucunya tak sedikit dari antara kaum penolak tersebut, menyebut/kan bahwa para teroris yang tertembak mati atau pun dihukum mati sebagai pahlawan kebenaran dan membela kebenaran agama serta ajaran agama].

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Kompas
Kompas
kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun