Kabinet Baru baru saja terbentuk beberapa waktu yang lalu; Kabinet yang diberi nama Kabinet Kerja tersebut, besok mulai bekerja. Mereka merupakan hasil dari suatu proses dan rekomendasi dari berbagai pihak, termasuk KPK.
Terbentuknya Kabinet tersebut, pada satu sisi, mulainya suatu proses pemerintahan yang utuh dan dimotori oleh Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Dekat pada sisi lainnya, adalah Kelompok yang menyapa diri sebagai Koalisi Merah Putih, yang tidak mempunyai wakil atau kader di Kabinet.
Ada kemungkinn, para politisi dari Parpol yang taka ada wakil di Kabinet, akan menjadi Oposisi di Parlemen dan menjadi pengkritik utama kebijakan Pemerintah. Jadi, bukan saja oposisi di Parlemen namun juga di luarnya. Dengan demikian, Pemerintah Jokowi-JK, secara politik akan menghadapi oposisi di Parlemen, dan "perlawanan" di luar Parlemen.
Oposisi di/dalam Parlemen, itu sudah biasa di/pada pemerintah mana pun; biasa dalam berdemokrasi. Namun, mereka yang menjadi "opisisi" di luar Parlemen, misalnya, orang parpol yang bukan di DPR/MPR, dan juga non pengurus Parpol, utamanya para "aktivis media sosial." Yang belakangan ini, nantinya cukup merepotkan pemerintah.
Mereka, akan tampil dengan komentar, tulisan, pernyataan, yang memunculkan minusnya Jokowi-JK, dan sekalius kampanyekan "permusuhan" terhadap Jokwoi-JK. Lebih daripada itu, dan telah nampak di media pemberitaan dan cetak,
kelompok-kelompok anti Jokowi-JK tersebut, tetap saja tidak bisa menerima Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wapres.
Pada sikon itu, mereka yang tidak bisa menerima Jokowi-JK, juga tak bereaksi terhadap pertemuan antara Prabowo dengan Jokwi dan Jusuf Kalla dan Prabowo.
Lihat saja, walau Prabowo sudah menulis dengan panjang lebar dan mengakui sikon dirinya, lihat suplemen; nyaris tak ada reaksi dan pendapat positif dari kelangan Koalisi Merah Putih. Yang terjadi adalah, semacam tanggapan atau apresiasi negatif terhadap langkah besar Prabowo tersebut. Dengan itu, yang terjadi adalah, ada semacam upaya agar Prabowo secara politik dan pribadi tetap menjai rival serta musuh Jokowi; mereka ingin Jokowi dan Prabowo tetap terpisah atau bahkan semakin menjauh.
Seakan yang terjadi adalah, lihat image di bawah, "permusuhan abadi;" lalu apa untungnya dengan sikon itu!?
Upaya mendorong Perahu Jokowi dan Bahtera Prabowo agar tetap menjauh, nantinya (akan) menghantar publik ke dalam gap yang tak sehat. Mereka akan berusaha mencipakan sel-sel penolakan terhadap Jokowi-JK, dan mungkin saja menjurus pada penolakan terhadap negara.
Lalu, sekali lagi lihat image, siapa mereka!?
Mungkin anda mempunyai pendapat, Monggo
Opa Jappy - Jawa Barat
SUPLEMEN
Sahabatku sekalian,
Saya tahu banyak di antara kalian yang merasa masih tidak menerima, masih terluka, karena kita telah dikhianati oleh sistem yang tidak baik. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa kita harus menimbulkan perpecahan di bangsa kita.
Seperti sahabat ketahui, dalam berpolitik saya selalu mengutamakan keutuhan bangsa dan kejayaan Republik Indonesia. Saya paham bahwa ada negara-negara tertentu yang selalu ingin Indonesia pecah. Ada yang ingin rakyat Indonesia tetap tergantung sama mereka. Karena itulah saya ingin menjaga persatuan nasional.
Setelah saya renungkan mendalam, saya melihat di pihak PDI-P dan koalisi mereka masih banyak patriot-patriot, anak-anak Indonesia yang juga cinta bangsa dan negara dan rakyat. Karena itulah saya memilih untuk terus berjuang untuk nilai-nilai yang kita pegang teguh yaitu Pancasila, UUD 1945 yang utuh dan asli, NKRI dari Sabang sampai Merauke yang kuat, yang adil, yang sejahtera, yang berdiri di atas kaki kita sendiri dan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Saya akan terus perjuangkan nilai-nilai itu, tetapi dalam kerangka senantiasa menjaga jangan sampai terjadi perpecahan di antara sesama bangsa Indonesia. Kita harus ingat bahwa pihak yang berseberangan dengan kita dalam sebuah pertarungan politik tidak serta merta dan tidak otomatis harus menjadi musuh kita.
Dari sejak awal saya katakan bahwa pesaing kita adalah saudara kita juga. Memang ada pihak-pihak yang penuh kebencian, prasangka buruk, keserakahan, kedengkian dan jiwa yang curang. Tapi ingat dari awal saya menganjurkan kepada lingkungan saya, pendukung saya, sahabat-sahabat saya, apa yang saya tuntut dari diri saya sendiri yaitu berjiwalah sebagai seorang kesatria, sebagai seorang pendekar. Kalau ada pihak yang menebarkan kebencian, fitnah, kepada kita bukan berarti kita harus balas dengan sikap yang sama. Janganlah fitnah kita balas fitnah, janganlah kebencian kita balas kebencian. Janganlah kita bertindak sebagai individu yang berjiwa Kurawa.
Itulah sikap saya, dan karena itulah saya memilih jalan yang saya tempuh sekarang. Bukan berarti kita merendahkan nilai-nilai kita atau perjuangan kita. Semakin kita merasa benar, semakin pula kita harus rela menghormati orang lain, pihak lain. Kalau orang lain menghormati kita, kita menghormati orang tersebut. Bahkan kalaupun mereka tidak hormat pada kita, tidak ada salahnya kita menghormati terus.
Saya mohon semua pendukung-pendukung saya untuk memahami hal ini. Saya mengerti sebagian dari saudara-saudara belum bisa menerima sikap saya. Tetapi percayalah, seorang pendekar, seorang kesatria harus tegar, harus selalu memilih jalan yang baik, jalan yang benar. Menghindari kekerasan sedapat mungkin. Menjauhi permusuhan dan kebencian.
Sahabat, kita bukan pihak penakut. Sejak dari masa muda, saya pernah hidup sebagai seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia. Berkali-kali saya terlibat dalam operasi-operasi militer, dalam kontak-kontak tembak dengan musuh negara. Saya paham apa artinya kekerasan. Karena itulah saya sadar bahwa seorang pemimpin sejati, pemimpin yang bertanggung jawab selalu harus memilih jalan yang sejuk. Apalagi kalau ini adalah untuk menjaga kepentingan, keutuhan bangsa yang kita cintai.
Sahabat, kita harus tetap militan, kita harus tetap patriotik. Kita harus menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Kalau kita hormat bukan berarti kita menyerah. Kalau kita sopan bukan berarti kita meninggalkan perjuangan kita. Tapi kita harus selalu berusaha mencari jalan yang damai, jalan yang baik. Kita harus selalu mengutamakan persaudaraan dan persahabatan.
Kalau semua usaha kita, pada saatnya nanti tetap tidak membuahkan sebuah hasil yang sesuai dengan kepercayaan dan cita-cita kita, dan keyakinan kita akan kepentingan bangsa dan rakyat, kalau bangsa Indonesia terancam, kalau kekayaan bangsa terus dirampok oleh bangsa lain, kalau kita sudah sekuat tenaga menciptakan kesadaran nasional, sebagai patriot dan pendekar bangsa kita harus tidak ragu-ragu mengambil tindakan yang dituntut oleh keadaan.
Saya sekali lagi menganjurkan kepada sahabat saya dan pendukung saya, marilah kita terus tegar. Marilah kita memperkuat diri, marilah kita menambah barisan kita. Yakinkan lingkungan kita semuanya, bangkitkan kesadaran nasional kita. Dulu saat Bung Karno bersama para pendiri bangsa memperjuangkan kemerdekaan, mereka pun berpuluh tahun harus membangun kesadaran nasional. Sekarang pun kita harus membangun kesadaran nasional, bahwa kita saat ini sedang diancam oleh bangsa-bangsa asing yang selalu ingin Indonesia pecah, Indonesia lemah dan selalu tergantung.
Dalam pertemuan saya dengan saudara Joko Widodo tadi saya sampaikan, bahwa saya merasakan di dalam hati sanubari Joko Widodo yang paling dalam beliau adalah seorang patriot. Beliau ingin yang terbaik untuk Indonesia. Oleh karena itu saya memilih untuk membangun silaturahmi dengan beliau, sesuai dengan ajaran-ajaran budaya nenek moyang kita.
Apalagi agama Islam yang saya anut, mengajarkan saya bahwa menjalin dan memelihara silaturahmi, persahabatan dan persaudaraan jauh lebih mulia dan bermanfaat daripada meneruskan prasangka buruk, rasa curiga, apalagi terjerat dalam kebencian dan permusuhan. Ibarat api tidak bisa dipadamkan dengan api, maka kebencian dan fitnah mari kita balas dengan berbudi luhur, berjiwa ksatria. Semakin difitnah, semakin difitnah, semakin dihina, kita akan semakin tegar.
Saya minta sahabat sekalian janganlah ragu kepada pilihan-pilihan saya. Janganlah mendorong saya untuk mengambil sikap yang tidak sesuai dengan jiwa saya sebagai kesatria. Janganlah mengira saya akan surut dalam perjuangan saya.
Saya juga telah sampaikan kepada saudara Joko Widodo bahwa perjuangan saya adalah membela UUD 1945 yang lahir 18 Agustus 1945, membela keutuhan NKRI, membangun suatu bangsa ber-Bhinneka Tunggal Ika yang aman, damai, kuat, adil, makmur dan sejahtera. Beliau pun menyatakan bahwa itu juga pegangan beliau. Saya juga katakan, kalau nanti dalam perjalanan Pemerintahan beliau ada kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan rakyat, apalagi melanggar Pancasila dan UUD 1945 maka kami tidak akan ragu-ragu menyampaikan kritik kepada Pemerintah. Beliau menyambut ini dengan baik, dan beliau juga menyampaikan sewaktu-waktu akan mengundang saya untuk meminta pendapat dan masukan dari saya.
Terima kasih, saudara-saudara. Sahabatku dimanapun berada.
Wassalamualaikum.
Salam Indonesia Raya,
Prabowo Subianto, 17-10-2014
[tribunnews.com]
Pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wapres, Selasa, 21 Oktober 2014, terjadi berkat lobi yang dilakukan pengusaha Erwin Aksa Awalnya, Erwin, ia dihubungi oleh Prabowo pada siang hari. "Mendadak per telepon saja," tuturnya pada Tempo, Rabu, 22 Oktober 2014. Kemudian, ia langsung menelepon ayahnya, Aksa Mahmud, yang sedang berada di Istana bersama Jusuf Kalla.
Aksa Mahmud membenarkan keterangan Erwin. Ia saat itu memang sedang berada di kantor iparnya, Jusuf Kalla. "Jadi, Pak Prabowo mengatakan bahwa dia berkeinginan menemui Pak Yusuf sebagai senior dan harus menyampaikan ucapan selamat,"
Prabowo sebenarnya ingin menemui JK saat hari pelantikan, Senin, 20 Oktober 2014. Namun niat itu diurungkan karena Wapres sibuk melayani tamu negara. Kemudian, Prabowo menanyakan, apakah ada waktu untuk bisa bertemu dengan Jusuf Kalla.
Dua jam setelah Prabowo menelepon Erwin untuk menjadi perantara, pertemuan itu akhirnya terjadi. Pertemuan berlangsung sekitar 40 menit di ruangan JK dengan disaksikan Erwin Aksa, Aksa Mahmud, dan Fuad Matur dari pihak Prabowo. Setelah pertemuan tersebut, Prabowo menyatakan bahwa,
“Secara resm meminta maaf kepada Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla soal seluruh pernyataan dan tindakannya selama pemilihan presiden lalu.
Terkadang, dalam politik itu kita bicara keras, tapi hatinya tetap bersatu; sama-sama juga minta maaf. Namanya juga kampanye.
Seluruh tindakannya ini adalah suatu kewajiban dirinya sebagai seorang warga negara; secara tulus dan mendukung pemerintahaan Jokowi-Kalla.
Gerindra berkomitmen menjaga keuntuhan bangsa; partainya akan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk bekerja. Namun Gerindra tetap berada dalam posisi oposisi untuk mengawasi dan mengkritik pemerintah. Masak, semua partai mau masuk kabinet. Ada yang eksekutif, ada yang legislatif."
[tempo/id.yahoo.tribun/kompas.com]
Rekonsiliasi Prabowo-Jokowi, Siapa yang Dirugikan
Menghormati-mendapat hormat, cipaka-cipiki, saling ucapkan salam, minta bernyanyi, minta diajari naik kuda, dan lainnya yang muncul pada pertemuan Prabowo-Jokowi, menjadi head news pada media arus utama dan situs berita online. Bahkan, ketika news tersebut di share ke medsos, langsung mendapat apresisai publik berupa like dan komentar. Itu terjadi, kara ada semacama harapan publik pada diri Prabowo, agar legowo; dan pada Jokowi agar bisa merangkul Prabowo dan membangun rekonsiliasi dengannya.
“Pertemuan bersejarah” antara Jokowi-Prabowo, yang digagas oleh Ary Bima, seorang petinggi PDIP tersebut, ternyata berdampak pada pandangan publik terhadap apa dan siapa Prabowo; juga memperlihatkan bahwa Sang Ra-opo-opo memang tak ada apa-apa terhadap Prabowo. Seorang penulis di Kompasiana, menulis bahwa
“Beliau sesungguhnya pencemas, ketika kita memandang raut wajahnya, beribu perasaan terlukis di sana. Dan pandanglah baik-baik gerakan tangannya, tak bisa diam untuk tak bergerak, ada kepanikan di sana, diwakilkan oleh gerakan tangannya. Cemas akan ancaman asing, panik akan runtuhnya Indonesia yang sangat ia sayangi. Manusia bertipikal Prabowo, tak bisa tenang di suatu habitat, motif langkahnya itu selalu beralasan psikologik. Cermatilah bibirnya, ada getaran kecil di sana. Itu kecemasan positif.Sebagian menudingnya ambisius, itu benar. Sebab ambisius itu adalah milik setiap jiwa, milik semua orang. Tak terkecuali saya dan Anda, yang berbeda hanyalah penampakannya, ada yang terbungkus (cover behavior) ada yang terbuka, Prabowo tipe terbuka. Sangat terbuka, malah, [Muhammad Arman/Kompasiana].”
Suatu amatan yang sangat bagus terhadap Prabowo. Diriku setuju dengan Muhammad Arman; kali ini, mungkin pertama kali di hadapan publik, pertemuan dengan Jokowi tersebut, Prabowo memperlihatkan sosok aslinya, yang selama tersimpan rapat atau sengaja disembunyikan. Mungkin saja “ketertutupan” yang menjadikan tampilan diri Prabowo selama proses Pilpres, hingga beberapa hari setelah keptusan Mahkamah Konstitusi, bukan diri “Prabowo yang sebenarnya.” Sehingga ketika Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, bekerjasama dengan Ikatan Psikologis Klinis Indonesia, Ikatan Psikologi Sosial Indonesia dan Fakultas Psikologi Universitas Padjajajaran, telah melakukan survei terkait Aspek Kepribadian Calon Presiden dan Wakil Presiden 2014; mereka mendapat data dan hasil yang beda serta berbeda, [lihat Suplemen, di bawah].
Jika benar, pertemuan antara Jokowi-Prabowo, walau cuma sebenar, dan publik mejadi tahu bahwa “itulah sosok Prabowo” yang sebenarnya; maka mereka berdua, Prabowo-Jokowi, sudah saling menerima, memaafkan, dan tanpa jarak, serta (nantinya) semakin akrab satu sama lain. Dengan demikian, jika sikon itu tersukan ke ranah politik dan parlemen, maka, bisa jadi, akan terjadi mencairnya persaingan yang berakibat pada, terutama dari Gerindra, dukungan terhadap pemerintahan dan kebijakan Jokowi-JK.
Dampak lain, jika Prabowo dan Gerindra menjadi luluh, sebagai akibat pertemuan Jokowi-Prabowo, siapa yang paling dirugikan!?
Hati-hari kemarin, sebelum rekonsiliasai Prabowo-Jokowi, terlihat dengan jelas adanya persaingan, perebutan, bahkan pembagian kekuasaan di Parlemen; dan yang paling diuntungkan adalah Golkar serta PAN. Mereka mendapat kursi Ketua di DPR dan MPR. Dan, lainnya, parpol koalisi pendukung Probowo membagi rata jabatan-jabatan di DPR.
Mereka bisa seperti itu, karena atas nama “pendukung Prabowo atau pun Koalisi Merah Putih.” Parpol-parpol tersebut denga cerdik gunakan nama Koalisi Merah Putih dan pendukung setia Prabowo, berhasil meraih apa yang mereka harapkan. Mereka pun dengan cerdas memberi “kekuatan dan masukan” kepada Prabowo agar menjadi “Sosok Perlawanan” terhadap Jokowi-JK dan parpol pengusungnya. Akibaynya, Prabowo ikut dalam arus yang telah diatur dan disiapkan oleh mereka; Prabowo pun tampil dengan orasi-orasi perlawanan, yang mungkin berbeda dengan suara hati dan nuraninya. Namun, karena itu adalah tuntutan koalisi, maka ia pun lakukan.
Kini, hubungan Prabowo dan Jokowi menjadi akur, manis, dan hangat, sekaligus mamapu memadamkan isu panas bahwa adanya penjegalan pelantikan Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Terpilih Jusuf Kalla (JK). Sejumlah anggota MPR/DPR dikabarkan bakal memboikot dengan tidak menghadiri pelantikan pada 20 Oktober.
Selain itu, akur, kehangatan, dan manisnya hubungan Prabowo-JK, bisa-bisa menjadikan luluhnya sikap politik Gerindra terhadap Jokowi-JK, sehingga tak menjadi oposisi, maka akan melemahkan parpol-parpol lain, yang menjadi pesaing Parpol pengusung Jokowi-JK. Itu, berarti kekuatan mereka menjadi berkurang. Mereka tak bisa lagi mendorong Prabowo untuk menjadi corong perlawanan melalui orasi-orasi, sehingga harus lakukan sendiri.
Parpol seperti Golkar, PKS, Demokrat, dan PAN, karena “kehilangan Prabowo yang sudah damai dengan Jokowi” harus mencari dan menemukan “pusat di luar kekuasaan” yang menjadi “poros opisisi dan perlawanan” terhadap Jokowi-JK. Pada sikon itu, orang-orang dari Golkar, PKS, Demokrat, dan PAN, akan saling menarik pengaruh di Parlemen untuk kekuatan utama sebagai oposisi.
Bagaimana dengan kelompok garis keras dan para Jokowi Haters, yang menharapkan Prabowo sebagai “Panglima Perang Umat!?” Misalnya, dalam siaran persnya Progres 98 menyatakan, “Tidak ada yang istimewa dari pertemuan Jokowi - Prabowoi. Hanya sebuah pertunjukan yang lumrah dalam dinamika politik, dan tidak mempengaruhi sikap rakyat untuk terus melancarkan perlawanan terhadap rezim boneka aseng.”
Tentu, orang-orang yang ada di Progres 98, akan kehilangan kiblat perlawanan terjadap Jokowi-JK. Mereka berharap, tampilnya Prabowo yang berseberangan dengan Jokowi-JK, menjadi bahan untuk terus menerus menebar serta menyebarkan kebencian terhadap Jokowi-JK. Ternyata, mereka salah hitung, Prabowo akur dan damai dengan Jokowi. Mereka kehilangan poros untuk terus melawan. Lalu, dalam rangka terus melawan Jokowi-JK, siapa yang akan mereka pilih lagi!? Agaknya, akan sulit menemukan sosok seperti Prabowo.
Selain itu, mungkin masih ada para penjilat, abs, pencari keuntungan dari dompet Prabowo, dengan alasan ini dan itu, misalnya untuk membangun opini negatif terhadap Jokowi-JK, akan kehilangan sumber dana, termasuk mereka yang suka demo dan berseru-seu menolak Jokowi-JK. Rugi, karena Prabowo tak mau lagi mendanai hal-hal yang sepert itu.
Mungkin saja masih ada yang lain; yang rugi ketika Prabowo dan Jokowi akur!?
Opa Jappy - Jakarta Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H