Aboebakar Alhabsy, Anggota DPR dari Fraksi PKS
Bareskrim Polri harus membebaskan MA, meski penahanan memang hak prerogatif Polri, namun sebaiknya Polri bersikap arif dan bijak. Daripada ruang tahanan digunakan untuk menahan tersangka karena persoalan kecil seperti ini, lebih baik digunakan untuk menahaan para mafia gas, mafia perpajakan, para pelaku illegal logging atau penjahat kelas kakap lainnya.
Suryadharma Ali, Politikus PPP
Sangat disesalkan, tindakan yang terburu-buru dan terkesan otoriter; media sosial adalah tempat setiap orang untuk berekspresi dan menyatakan pendapat. Dan tindakan menggugah foto/gambar di media medsos adalah biasa, dan kebebasan seperti itu tidak usah dihalang-halangi.
PDI Perjuangan.
Melalui Eva Sundari, “Iya kita laporkan sebelum pilpres karena membuat konten pornografi antara Pak Jokowi dengan Ibu Megawati. Pelaporan itu berawal saat mendapat laporan dari para relawan bahwa tersebar gambar bugil hasil editan dengan wajah Jokowi dan Megawati Soekarnoputri di Facebook. Lalu, menunjukkan gambar itu ke Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo.
Pak Sekjen bilang ini sudah tidak pantas dan harus dilaporkan ke polisi.
Namun, Jokowi dan Megawati tidak tahu menahu soal pelaporan kasus tersebut. Mereka tidak tahu. Sebetulnya kalau hanya dibully lewat kata-kata saja tidak masalah. Tetapi ini foto hubungan seks sangat tidak pantas.”
Penjelasan Dirtipideksus Mabes Polri Brigjen Pol Kamil Razak,
“Muhammad Arsad sendiri yang membuat dan mengedit foto seronok Jokowi dan Megawati Soekarnoputri; Arsad kemudian menyebarnya melalui Facebook bernama Arsyad Assegaf.
MA ditangkap karena dia memuat, menyebarkan dan memperbanyak gambar pornografi (Jokowi-Megawati).
Atas perbuatannya, ia melanggar UU Pornografi dengan Pasal Pornografi sesuai UU Nomor 44 Tahun 2008 dengan ancaman 12 Tahun Penjara. Tak hanya itu Polri juga melapisi dengan UU KUHP Pasal 310, 311 soal pencemaran nama baik.
Fadli Zon, tadinya pembela MA; setelah menadapt info dari Mabes Polri, sekarang tak setuju dengan tindakan MA, dan meminta ia dihukum.
Doc Divisi Humas Mabes Polri/Mitra Humas
Muhammad Arsyad, jadi terkenal; mungkin ia adalah tukang sate yang paling terkenal di Indonesia; termsyur bukan karena sedap dan enaknya racikan bumbu sate, namun ketrampilan unggah foto porno ke Facebook. MA yang, menurut arrahman.com. yang mengutip poskotanews,
Kuasa hukum MA Irfan Fahmi mengatakan, MA hanya lulusan SMP. Dia aktif di salah satu majelis taklim yang ada di Jakarta. Ibunya buruh lepas di Pasar Kramat Jati.
MA memposting sesuatu yang dianggap menghina Jokowi saat masa kampanye Pilpres Juli 2014. Dia biasa mengakses internet melalui warung internet yang tak jauh dari rumahnya. Saat musim Pilpres itu dia dimasukan ke dalam grup yang isinya saling membully antara capres A dengan capres B. Dia memposting baik berupa teks maupun gambar yang sudah beredar di media sosial.
Karena tergabung dalam grup yang saling membully tersebut, maka MA juga melakukan hal yang sama. Karena terjebak dalam situasi seperti itu, maka dia ikut-ikutan membully dan posting saling serang.
Tukang sate tersebut disergap oleh empat penyidik Mabes Polri berpakaian sipil. Dia dilangsung dibawa ke Mabes Polri, dan dalam waktu 1×24 jam langsung dilakukan penahanan.
Dia dilaporkan tanggal 27 Juli 2014 berdasarkan dokumen yang saya lihat. Kemudian prosesnya bergulir terus dari penyelidikan, penyidikan hingga sekarang.
Semua ringkasan info di atas, sduah menyebar luas di media cetak, pemberitaan, penyiaran, dan terutama medi sosial; dan bersamaan dengan itu, muncul juga gelombang pembelaan terhadap MA. Bahkan adan media penyiran publik, yang berusaha membangun opini publik, dari sudut humaniora, bahwa pada dasarnya MA adalah Siorang Kecil, rakyat biasa, oleh sebab itu "tak perlu dihukum;" dan apa yang ia laukan adalah sesuatu yang tak sebanding dengan nama besar korbannya. Ya, karena MA orang kecil maka ia "boleh" dibebaskan dari jeratan hukum!?
Selain itu, ada gelombang pembelaan publik, yang justru "membenarkan" tindakan MA sebagai suatu ekspresi di media sosial, dan suatu kebenaran. Membenarkan tindakan MA, dan sah-sah jika seseorang melakukan hal yang sama dengan MA. Publik, pembela MA, melihat MA sebagai sosok tak berdaya, jika diperhadapkan dengan "raksasa" yang ia hina, yaitu Joko Widodo dan Megawati.
Agaknya, karena yang menjadi korban adalah Mantan Presiden RI, Megawati dan Presiden RI, Joko Widodo (waktu kajadian Joko Widodo, masih sabagai Kandidat Presiden), maka apa-apa yang diklakukan oleh MA adalh sesuatu yang benar, serta perlu dibela. Pembelanya, tak lain, tak bukan, adalah mereka yang menjadi lawan politik Jokowi-Mega atau anti Mega, serta sangat tidak setuju jika Joko Widodo menjadi Presiden RI. Bagi para pembela MA, apa yang iakuan sudah tepat, benar, wajar-wajar saja.
Jika seperti itu, bagaimana jika sosok yang diedit MA tersebut, bukan Megawati, tidak pula Joko Widodo; katakanlah, yang MA lakukan adalah, para pemuka agama, Pendeta, Pastor, Kyai, Ustad, Nabi, Rasul, dan/atau sosok-sosok lainnya, yang mempunyai massa serta berpengaruh pada masyarakat!? Apakah MA juga mendapat pembelaan yang sama dari para umat beragama yang pemukanya diperlakukan tak bermartabat!?
Pertanyaan yang tak sulit dijawab, karena belum terjadi.
Selain hal-hal di atas; kemarin, ketika menelusuri arsip Dumay, melalui beberapa search machine, ternyata para pembela MA, nyariis 90 % adalah mereka yang anti Jokowi, PDIP, dan Megawati; dan lebih detail lagi, muncul pembelaan di beberapa situ, blog, dan FB Fanspage, yang mudah ditebak berasal dari kalangan anti pemerintah, nati Pancasila, Anti Demokrasi, media provokatif, rasis, menebar sentimen SARA.
Sesuatu yang aneh; biasanya dari kalangan tersebut, hal-ahl yang bersifat pornografi, dituding sebagai kerjaan setan, iblis, dan tak agami; namun kini membela ketrampilan MA. Mengapa!? Ya, karena sasaran MA adalah Megawaiti dan Jokwi, jadi sah sah saja.
Selain itu, bagiku, kasus MA, juga mendatang berkah tersendiri; berkah tentang siapa-siapa yang selama ini sebagai penikmat pornografi. Sebab, semakin keras mereka berseru dan membela MA, akan terlihat bahwa, itulah si dia penikmat yang sebenarnya. Dalam arti, bagi para penikmat pornogarfi, biarkanlah MA, dan orang-orang sejenis dengan dia melakukan aksi menebarkan foto-foto seronok di media sosial, karena merupakan pelengkap sarapan pagi, makan siang, makan malam, serta tontonan dikala sendiri maupun bersama-sama orang lain.
Coba kita perhatikan, Bocoran Edward Snowden di huffingtonpost.com
National Security Agency AS berencana untuk membongkar kebiasaan konsumsi pornografi kaum radikal di internet. NSA menyadap perilaku internet para propaganda kaum radikal dengan bukti-bukti perbuatan kemunafikan.
NSA melakukan hal tersebut berdasar hasil penelitian SIGINT (sinyal intelijen) yang menunjukkan bahwa kaum radikal (yang memegang kekuasaan atau mereka yang sebagai pemimpin dan pengambilan keptusan) mempunyai perilaku pribadi dan sosial tidak tidak konsisten. Mereka, para pemimpin kaum radikal tersebut, mempunyai kebiasaan melihat materi seksual yang eksplisit secara online atau menggunakan bahasa persuasif seksual eksplisit ketika berkomunikasi dengan gadis-gadis muda yang belum berpengalaman.
Apakah para pembela MA, penikmat pronografi di Nusantara, termasuk mereka yang dimaksud huffingtonpost.com!? Entahlah.
Namun, dari hasil yang didapat, ketika menelusuri arsip Dumay, melalui beberapa search machine, maka tak berlebihan, jika saya katakan bahwa para pembela MA adalh mereka juga yang penikmat pornografi, dan sekaligus datang kalangan radikal; atau yang bersimpati dengan kaum radikal.
Selain itu, "trend pembelaan terhadap MA," juga mencerminkan bahwa ada sangat banyak orang yang melihat pornografi adalah sesuatu yang biasa, wajar, dan normal; dan arti biarkanlah tetap ada, karena suatu kebutuhan. Mungkin anda berpikir, itu berlebihan; namun "fakta" seperti itu. Banyak orang tidak lagi memandang pada apa dan siapa yang melakukan dan yang menjadi korban; yang penting membela, membela, dan membela.
Saya melihat #SaveMuhammadArsyad, sebagai upaya pembelaan publik terhadap MA, tanpa melihat isi atau konten perbatannya; dan dampak sosial dari kelakuan MA. Mereka, #SaveMuhammadArsyad, hanya sekedar upaya populeritas, dan perlawanan terhadap hukum serta membully Presiden Joko Widodo. Suatu tindakan yang justru memalukan; membela dan membenarkan yang salah; dan mencela yang menjadi korban.
Pembelaan seperti itu, akan berujung pada pembiaran; sehingga pada waktu lain, akan muncul lagi manusia-manusia sejenis MA. Dan, akan mendapat pembelaan. Pembelaan yang dilakukan oleh para penikmat pornografi.
Salam
dari
Bukan pembela Muhammad Arsyad
dan juga bukan berpihak pada Megawati dan Presiden Joko Widodo
Opa Jappy - Jawa Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H