[caption id="attachment_376227" align="aligncenter" width="331" caption="urnalguruindonesia.8m.net"][/caption]
Seorang pendidik yang berpengaruh dari Amerika, David Reisman menyatakan bahwa, "Biarkan saya menceritakan kisah-kisah dan saya tidak peduli menulis buku teks; bercerita adalah agen sosialisasi; mereka, pencerita, membayangkan dunia anak-anak, dengan demikian memberi baik bentuk dan batas ke memori dan imajinasinya." Bercerita merupakan salah satu unsur budaya yang tertua, dan terus menerus dilakukan, sebagai bentuk pewarisan nilai-nilai kepada generasi berikut. Sejarah mengungkapkan bahwa bercerita mengalami penurunan setelah penemuan mesin cetak. Namun, sekitar 1900an, bercerita mengalami kebangkitan kembali, karena orang menyadari bahwa ada nilai-nilai terkandung di dalamnya. Cerita memiliki nilai yang membawa kesenangan, mengembangkan perasaan, persekutuan dengan masyarakat, memperbaiki sikap; cerita juga bisa sebagai perangkat yang mengatur kontrol sosial, membangkitkan antusiasme, imajinasi, dan instruksi.
Nilai Bercerita
Bercerita merupakan metode yang paling mudah dan diterima pada KBM karena membangkitkan minat, perhatian, fokus, informasi, informasi dan  kenikmatan. Cerita dapat membantu memenuhi kebutuhan manusia untuk mencintai, memiliki, dan rasa aman. Cerita memberikan pengalaman yang memungkinkan pendengar menempatkan dirinya ke dalam situasi cerita, sehingga mengalami kegembiraan.
Bila dilihat dari sisi perkembangan peserta didik, cerita menawarkan kesempatan untuk membangun kepribadian; cerita menanamkan cita-cita yang tepat dengan menunjukkan perilaku membawa kebahagiaan, dan pilihan lain menyebabkan hasil yang sebaliknya. Cerita juga membuat emosi terangsang, sehingga seseorang menentukan tingkah laku berikutnya; cerita juga bisa menjelaskan konsep-konsep yang tidak jelas.
Problem[1]
Cerita, bisa dikatakan, mudah dilakukan oleh guru, namun tanpa disadari, Â mereka salah melakukannya. Kesalahan itu menjadikan cerita menjadi kehilangan makna. Ada berbagai problem ketika guru bercerita, hal tersebut antara lain,
- Membaca cerita bukannya mengatakan
- Menggunakan bahasa yang tidak menjelaskan makna dalam cerita
- Memberikan banyak detail atau rincian
- Menekankan hal-hal kecil, namun mengaburkan pesan dari cerita
- Penyampaian cerita seperti hafalan dan otomatis
- Tidak bercerita tapi "berkhotbah" dengan aplikasi; dan membiarkan pendengar menemukan pesan dari cerita secara alami
- Bercerita pada saat peserta didik pasif dan bosan, bukan saat mereka antusias dan semangat
- Menggunakan alat bantu visual sebagai penopang cerita, bukan ekspresi wajah dan gerakan tubuh
- Penataan kronologis dan sistimatika cerita yang tak teratur
Prinsip
Cerita yang baik adalah penuh aksi dan kehidupan; dan mempunyai daya tarik pada peserta didik siswa, kemudian mampu menangkap pesan serta instruksi dari dalamnya. Cerita yang baik mempunyai prinsip sebagai berikut,
Persiapan. Jika cerita sebagai salah satu metode mengajar, maka sebelum bercerita, guru perlu melakukan persiapan. Persiapan tersebut meliputi memilih cerita yang tepat, mengetahui alur cerita, termasuk asal usul ataupun historis cerita, serta kaitannya dengan mata pelajaran atau bahasan, mengetahui sikon peserta didik atau pendengarnya, dan alokasi waktu yang akan digunakan untuk bercerita. Cerita, juga mempunyai kerangka atau baigi, walau tak disebutkan oleh guru, pencerita, dan dosen; kerangka tersebut meliputi pengenalan, tubuh utama, dan aplikasi.