Sayangnya, sikap pemerintah yang terang-benderang ini belum terimplementasi dengan baik di sekolah, bahkan di sekolah yang tak jauh dari Ibu kota. Agaknya, upaya penyuluhan serta advokasi tentang HIV kepada sekolah, guru, dan orang tua murid belum cukup meresap. Lantas kapan kemerdekaan yang sesungguhnya bisa dirasakan anak-anak dengan HIV?
Kisah nyata tersebut, semakin membuat dirinya seakan terpatri kuat untuk memperjuangkan kelansungan anak-anak yang menderita HIV
[caption id="attachment_380064" align="aligncenter" width="640" caption="doc pribadi"]
Kemarin ketika 1 Desember, saya sempat teharu membaca posting di akun FBnya, Tasya menulis,
"Hari ini dunia beramai-ramai memasang pita merah di mana-mana. Sekali setahun menunjukkan kepedulian mereka akan HIV dan AIDS. Perusahaan-perusahaan besar mengadakan berbagai acara mulai talk show, gerak jalan, bagi-bagi macama-macam.
Hari ini saya ingin mengheningkan cipta sejenak mengenang anak-anak yang harus kehilangan nyawa mereka karena penyakit yang disebabkan HIV. Juga mengenang beberapa teman yang juga kehilangan nyawa mereka oleh sebab yang sama.
Saya juga mau mengajak semua orang, untuk jangan peduli HIV maupun orang yang hidup dengannya hanya pada 1 Desember. Karena orang dengan HIV hidup 365 hari dalam setahun. Mari peduli setiap hari.
In memoriam: Bintang, Bayu, Tegar, Safina, Sindi, Erlangga, Eka, Desta, Saipul, Renaldi, Kartini, Alika, and all the children. [Siapa mereka!? Mereka adalah anak-anak yang lebih dulu menghadap Sang Pencipta; mereka menderita HIV sejak dalam kandungan ibunya.]
Ada yang ingin tahu dan kenal lebih jauh dengan Natasya, monggo ke Unika Atmajaya atau inbox saya; bukan sekedar ingin tahu dan mengenal, namun ambil bagian dalam Lentera Anak Pelangi.
Selamat bekerja dan melayani, Tasya, Giatlah selalu dalam pelayananmu, jerih payahmu, tidak sia-sia.
Opa Jappy - Jakarta Selatan