Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Natasya E Sitorus, Relawan Anak-anak Penderita HIV/AIDS

3 Desember 2014   06:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:11 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_414379" align="aligncenter" width="500" caption="doc pribadi"][/caption]

Gadis manis dalam foto di atas, bernama Natasya Evalyne Sitorus; Boru Sitorus, kelahiran Tembagapura Papua. Kontak pertama antara saya dengan Tasya, biasa ia dipanggil, sekian belas tahun yang lalu. Ketika itu, Tasya dan Rina (salah satu sahabatnya dari Papua) masuk dan belajar di Lab School Rawamangun; dan saya adalah salah satu guru dan sekaligus pembina kerohaniannya. Hingga saat ini, kami selalu berhubungan, sebagai bapak dan anak. Setiap saya ulang tahun, Tasya pasti paling awal memberi ucapan selamat, Karena jika saya HUT 26 Agustus, maka besoknya, 27 Agustus adalah HUT Tasya. Hingga kini, kami selalu kontak, bukan sekedar say hello, namun saling membagi tentang nilai-nilai hidup dan kehidupan.

Tasya, termasuk anak yang brilian dan idealis, dan perhatiannya pada kemanusian, di atas rata-rata teman sebayanya. Ketika itu, saya sudah memperhatikannya dengan khusus. Pada suatu waktu, saya bertanya kepadanya, tentang "Kemana setelah SMA!? Jika tak salah ingat, ia menjawab dengan sederhana, "Akan ke Psikologi!? Saya kembali bertanya "Alasan dan Motivasinya!? Jawaban Tasya cukup membuatku kaget; ia menjawab, Karena mau seperti Bapak, maksudnya Bapak Jappy; idealis dan perhatian kepada nilai-nilai kemanusiaan dan pengembangan kepribadian. "

Dan memang benar, ketika lulus dari Lab School, teman-temannya berlomba ke Fakultas dan Jurusan favorit dan maha, Tasya, dengan pasti masuk ke Psikologi; pilihanynya adalh Fak Psikologi Unika Atmajaya. Di Atmajaya, menurut pengakuan teman-temannya dan Ayah-Ibu Tasya, ia mulai menunjukan aktivas dan perhatian ke/pada teman-teman kecil yang menderita HIV/ADIS.

Mereka membentuk Lentera Anak Pelangi; dan kini Tasya sebagai Manajer Advokasi dan Psikososial Lentera Anak Pelangi – Pusat Penelitan HIV Unika Atma Jaya.

Bagi Tasya, panggilan dan pelayanan terhadap anak-anak yang menderita HIV/ADIS, muncul karena adanya Diskriminasi Terhadap Anak Dengan HIV. Suatu waktu, Tasya mengirim image dan tulisan  tentang pengalamannya

Mata Nenek Arni berkaca-kaca. Perlakuan diskriminatif terhadap cucunya, Rahmat, yang ditolak bersekolah karena berstatus HIV positif, selalu membuat ia menangis. Padahal kejadian itu sudah enam tahun berlalu. “Nenek selalu dihantui rasa bersalah karena menceritakan penyakit Rahmat waktu itu kepada kepala sekolah. Sejak itu, Nenek sebisa mungkin merahasiakan status HIV-nya kepada siapa pun,” tuturnya.

Nenek Arni tidak sendirian. Saya percaya ada banyak kasus diskriminasi lainnya di lingkungan sekolah akibat status pengidap HIV. Ke depan, kasus semacam ini bisa lebih banyak lagi karena orang dengan HIV positif terus meningkat. Saat ini saja jumlah anak dengan HIV yang dilaporkan di Indonesia mencapai 3.408 orang, sedangkan jumlah orang dewasa dengan HIV positif adalah 134.042 orang (Ditjen P2PL, 2014).

Perlakuan diskriminatif itu niscaya justru membuat anak-anak dengan HIV dan keluarganya kian sulit mendapatkan hak-hak mereka sebagai anak-anak. Mereka bahkan bisa membahayakan orang-orang di sekitarnya tanpa disadari. Akibat trauma atas perlakuan yang didapat Rahmat, misalnya, Nenek Arni menyembunyikan status HIV cucunya, bahkan dari sang anak sendiri. Ia tidak pernah menceritakan status HIV itu kepada Rahmat, yang sekarang sudah masuk SMP, dan cucu ketiganya, Hafidz, 7 tahun, yang juga berstatus HIV positif.

Rahmat dan Hafidz hanya tahu bahwa mereka harus minum obat 12 jam sekali, setiap hari dan seumur hidup. Mereka tak tahu obat itu adalah anti-HIV. Yang mereka ketahui, obat yang diminum itu adalah obat jantung, asma, anemia, atau bahkan obat cantik. Kepada guru kelas Rahmat, Nenek Arni juga terpaksa berbohong, bahwa cucunya sakit jantung sehingga pasti akan ada satu hari-Selasa atau Jumat setiap bulan-ketika Rahmat harus izin tidak masuk sekolah untuk berobat ke rumah sakit. Orang tua lainnya, dalam catatan kami, juga terpaksa melakukan hal yang sama.

Ini jelas tak boleh dibiarkan. Nenek Arni tidak pernah tahu sampai berapa lama ia akan menutupi status HIV cucunya. Tapi ia tahu, dia dan cucunya belum siap untuk tahu soal HIV. Mungkin tak akan pernah siap. Karena itu, negara harus turun tangan membantu.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya. Prof dr Fasli Jalal, PhD-saat itu menjabat Wakil Menteri Pendidikan Nasional-menyampaikan dalam film berjudul Berikan Kami Harapan, sebuah film dokumenter yang dibuat oleh Lentera Anak Pelangi pada 2010, bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan tidak boleh ada diskriminasi terhadap setiap anak dalam mendapatkan hak-hak pendidikannya.

Sayangnya, sikap pemerintah yang terang-benderang ini belum terimplementasi dengan baik di sekolah, bahkan di sekolah yang tak jauh dari Ibu kota. Agaknya, upaya penyuluhan serta advokasi tentang HIV kepada sekolah, guru, dan orang tua murid belum cukup meresap. Lantas kapan kemerdekaan yang sesungguhnya bisa dirasakan anak-anak dengan HIV?

Kisah nyata tersebut, semakin membuat dirinya seakan terpatri kuat untuk memperjuangkan kelansungan anak-anak yang menderita HIV

[caption id="attachment_380064" align="aligncenter" width="640" caption="doc pribadi"]

14175348211085779077
14175348211085779077
[/caption]

Kemarin ketika 1 Desember, saya sempat teharu membaca posting di akun FBnya, Tasya menulis,

"Hari ini dunia beramai-ramai memasang pita merah di mana-mana. Sekali setahun menunjukkan kepedulian mereka akan HIV dan AIDS. Perusahaan-perusahaan besar mengadakan berbagai acara mulai talk show, gerak jalan, bagi-bagi macama-macam.

Hari ini saya ingin mengheningkan cipta sejenak mengenang anak-anak yang harus kehilangan nyawa mereka karena penyakit yang disebabkan HIV. Juga mengenang beberapa teman yang juga kehilangan nyawa mereka oleh sebab yang sama.

Saya juga mau mengajak semua orang, untuk jangan peduli HIV maupun orang yang hidup dengannya hanya pada 1 Desember. Karena orang dengan HIV hidup 365 hari dalam setahun. Mari peduli setiap hari.

In memoriam: Bintang, Bayu, Tegar, Safina, Sindi, Erlangga, Eka, Desta, Saipul, Renaldi, Kartini, Alika, and all the children. [Siapa mereka!? Mereka adalah anak-anak yang lebih dulu menghadap Sang Pencipta; mereka menderita HIV sejak dalam kandungan ibunya.]

Ada yang ingin tahu dan kenal lebih jauh dengan Natasya, monggo ke Unika Atmajaya atau inbox saya; bukan sekedar ingin tahu dan mengenal, namun ambil bagian dalam Lentera Anak Pelangi.

Selamat bekerja dan melayani, Tasya, Giatlah selalu dalam pelayananmu, jerih payahmu, tidak sia-sia.

Opa Jappy - Jakarta Selatan

[caption id="attachment_380066" align="aligncenter" width="554" caption="Dok Natasya E Sitorus"]

14175353111113014108
14175353111113014108
[/caption]

Pada Desember 2013, Tasya pernah menulis catatan pendek di laman FBnya,

Haruskah adek memakai topeng ke sekolah?

4 Desember 2013 pukul 17:50

Beberapa hari sebelum Hari AIDS Sedunia 2013, seorang nenek memutuskan untuk berbicara pada dua orang cucunya tentang penyakit apa yang sebenarnya diidap oleh cucunya yang bontot. Sore itu setelah bangun tidur, si nenek memanggil dua cucunya dan mulai bercerita pada si kakak dan si adek. Nenek menjelaskan mengapa selama ini dia terkesan lebih mempedulikan kesehatan di adek daripada si kakak. Si nenek berkata, “ Di dalam darah adek ada virus. Virusnya bisa bikin sakit. Makanya harus terus minum obat teratur, supaya virusnya tetap tidur. Kalau tidak minum obat, virusnya akan bangun dan adek gampang sakit.” Si nenek berpesan, “Ini hanya rahasia kita bertiga ya, jangan cerita-cerita ke orang lain. Kita harus saling mengingatkan dan saling menguatkan.” Sore hingga malam itu, entah apa yang beterbangan dalam benak si adek dan si kakak.

Dua hari setelah itu, si nenek diminta dokter untuk datang ke rumah sakit  bersama si adek untuk pemeriksaan tambahan. Hari itu si adek ada ujian, tetapi dokter meminta si nenek untuk memohonkan ijin ke sekolah. Siang itu, si nenek datang ke sekolah dan pamit dengan guru yang mengawasi ujian. Si guru bertanya, “Si adek emang sakit apa Nek harus ke RS?”dan nenek menjawab, “Si adek sebenarnya sakitnya HIV. Dia tertular dari ibunya.” Si guru mengijinkan si nenek dan si adek untuk pergi, tapi entah apa yang tersisa di benak si guru. Sepulang dari RS, si nenek mampir ke rumah salah satu orangtua teman sekelas si adek, hendak mengambil bahan fotokopian untuk ujian besok. Si ibu bertanya, “Nek, emang adek sakitnya apa mesti sering ke RS?” dan lagi nenek menjawab, “si adek sakit HIV”. Si ibu cukup terkejut, dan bertanya bagaimana seorang anak kecil bisa terinfeksi HIV, dan nenek menjelaskan dengan bercerita bahwa si adek dari kecil menyusu dari ibunya yang sudah terinfeksi HIV. Setelah itu si nenek pulang. Lagi, entah apa yang beterbangan dalam benak si ibu.

Keesokan harinya, sepulang sekolah, si adek melapor pada nenek, “Nek, kok teman-teman adek di sekolah pada aneh ya? Mereka ga mau maen sama adek, pada bisik-bisik katanya adek ada virusnya.” Dan si nenek terkejut sambil berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya, menghibur adek, “Sabar ya dek, kalo mereka ga mau maen sama adek, biarin aja. Adek yang kuat yah. Kalo ga diajak maen bola, adek jadi supporter aja”, sambil mengusap air matanya yang tidak lagi bisa ditahan. Sore itu juga si nenek menghubungi kami, bercerita soal kejadian itu.  Apa yang harus dilakukan?

Jumat siang, si nenek hendak mengantarkan makan siang ke sekolah adek saat salah satu teman kami mampir ke sana. Si teman akhirnya mengantarkan nenek ke sekolah. Si teman sekalian ingin bertemu dengan si adek. Bukan si adek yang ditemui, tetapi ketua komite sekolah dan pihak sekolah yang diwakili oleh kepala sekolah yang muncul dan memanggil si nenek, mencoba meminta penjelasan tentang kabar bahwa si adek terinfeksi HIV. Si nenek meminta si teman untuk membantunya menjelaskan. Si teman kami berupaya senetral mungkin dalam menjelaskan pada komite sekolah dan kepala sekolah. Jumat sore itu akhirnya muncul permintaan dari pihak sekolah untuk sesegera mungkin mengadakan penyuluhan bagi orangtua murid yang sudah semakin mendesak sekolah untuk mengeluarkan si adek karena mereka ketakutan anak-anaknya akan ketularan HIV.

Setelah berdiskusi, Lentera Anak Pelangi pun memutuskan untuk mempersiapkan sebuah langkah advokasi dan edukasi bagi orangtua murid di sekolah tersebut. Kepala sekolah meminta agar penyuluhan diberikan pada hari Selasa, 3 Desember 2013 pukul 9 pagi di aula sekolah, dan kepala sekolah telah mengundang 100 orangtua murid.

Selasa, 3 Desember 2013 kami menuju sekolahan. Pagi itu aula sekolah yang adalah sebuah ruang serbaguna (juga digunakan sebagai lapangan indoor) sudah dialasi karpet, sekitar 50 orangtua murid duduk di atas karpet merah itu. Peralatan penyuluhan sudah kami siapkan, dan beberapa selebaran informasi HIV sudah kami bagikan untuk dibaca. Pukul 9.30 kami memulai. Acara dibuka oleh kepala sekolah dengan mengatakan bahwa di sekolah tersebut ada anak yang diketahui berstatus HIV, sehingga orangtua perlu dikumpulkan untuk diedukasi lebih lanjut. Pagi itu materi dibawakan oleh seorang rekan dokter dari KPAP DKI Jakarta. Seperti diduga, banyak orangtua yang sama sekali tidak mengetahui bagaimana HIV bisa menular. Mereka banyak  bertanya. Si teman dokter dengan bersemangat menyampaikan pesan-pesan bahwa HIV tidak mudah menular, dan tidak ada benarnya sama sekali untuk mendiskriminasi anak dengan HIV. Setelah hampir 1,5 jam, materi pun selesai disampaikan berikut dengan diskusi dan tanya jawab. Sebelum ditutup, seorang teman lagi dari Dikdas Jakarta yang juga hadir menitipkan pesannya untuk tidak mendiskriminasi, walaupun ternyata si ibu tidak memiliki informasi yang tepat juga tentang penularan HIV.

Setelah acara itu kami bersalam-salaman dengan orangtua murid. Senang mendengar komentar mereka, “Terima kasih yah untuk informasinya, kami jadi tahu sekarang bagaimana penularan HIV..” . Tak lupa kami berpesan untuk tidak lagi mendiskriminasi anak yang terinfeksi HIV dan membiarkan anak-anak itu secara normal bermain seperti teman-temannya yang lain. Kami juga berterima kasih kepada kepala sekolah atas kesempatan yang diberikan untuk bisa masuk dan menyampaikan informasi HIV itu kepada orangtua murid. Kami pamit dan melanjutkan perjalanan ke rumah si nenek.

Siang itu hujan, kami tiba di depan rumah nenek. Si adek sedang tidur-tiduran di lantai, sementara si kakak baru selesai mandi, sedang bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Kami duduk di lantai, dan mengajak si adek untuk duduk bersama-sama kami. Si adek ceria sekali. Kami mulai bertanya, bagaimana dengan teman-teman di sekolah. Katanya sebagian teman-teman, terutama teman yang perempuan tidak mau ngobrol dengan si adek, hanya teman-teman laki-laki saja yang sudah mau main lagi. Lalu kami mulai bertanya kepada si adek, apa yang dia rasakan saat nenek bercerita tentang penyakit adek. “Panik”, itu jawabnya. Sebenarnya kami tidak mengerti kenapa dia berkata reaksinya panik dan meminta si adek bercerital. Si adek hanya cengengesan, tampaknya tidak paham betul apa yang barusan dia katakan. Si adek kemudian mulai bercerita ketika kami tanya, apa yang dikatakan nenek  tentang penyakit adek. “Kata nenek, di badan adek ada virus. Namanya HIV. Kalau adek teratur minum obat, virusnya akan terus tidur, tapi kalau tidak minum obat, virusnya akan bangun dan adek akan gampang sakit.” Kami tersenyum.

Lalu nenek bercerita bahwa beberapa hari lalu itu, si adek meminta nenek untuk membelikannya topeng. “Katanya biar ga malu, jadi pake topeng saja”, jelas si nenek. Si adek mengambil topengnya, dan dengan bangga memakai dan memamerkannya pada kami. Miris, seorang anak 8 tahun yang belum terlalu mengerti tentang HIV dan diskriminasi di baliknya bisa merasa malu dan ingin bersembunyi di balik topeng itu.

Setelah kami berbincang, kami permisi pulang. Perjalanan pulang kami diisi dengan pertanyaan yang melayang-layang dalam kepala : apakah besok si adek akan kembali bisa bermain dengan teman-temannya? Apakah orangtua benar-benar dengan komitmen mereka untuk tidak mendiskriminasi? Apakah kasus-kasus seperti ini harus terjadi lagi di sekolah lain pada anak lain? Apakah kementerian pendidikan tidak punya langkah untuk mencegah ini terjadi? Ini tanggung jawab siapa?

Tak terbayangkan jika si adek benar-benar pergi sekolah dengan menggunakan topeng itu. Mungkin di dalam hatinya dia merasa nyaman bahwa orang tak perlu melihat wajahnya. Tapi itukah yang dia harapkan  dari sebuah lingkungan bernama sekolah!?

Tasya ......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun