Jadi, Tuan Menteri Agama tak perlu memberi pernyataan agar umat Kristen berjiwa besar jika tak mendapat ucapan Natal; emangnya kami butuh!?Â
Tidak, Pak Menteri.
Oleh sebab itu, Wahai Tuan Menteri, "Nguruslah mereka-mereka yang sibuk bertengkar tentang boleh tidaknya Selamat Natal. Mereka yang perlu belajar dan diajari bagaimana menghargai serta menghormati iman orang lain; didiklah mereka yang selalu usil dengan hal-hal diimani oleh orang lain.
Coba Pak Menteri lihat di Media Sosial, Cetak, Pemberitaan, adakah ucapan dan pernyataan pemimpin umat, Gereja, atau tokoh agama Kristen, yang "meminta agar orang lain memberi ucapan selamat Natal ke/pada umat Kristen!?Â
Adakah permintaan yang keluar dari mulut mereka agar semua umat beragama dan tak beragama memberi Salam dan Ucapan Natal ke/pada Si Kristen dan Sang Katolik!?Â
Tidak ada, sekali lagi tidak ada; dan sekali lagi, tidak ada seperti itu.
Pak Menteri, justru yang ada adalah,Â
"Gue yang Natalan, sana yang ribut; dan mengajak orang lain ikut tidak memberi ucapan Selamat Natal.Â
Kemudian, di sana juga yang saling debat, boleh tidaknya dan haram halalnya ucapkan Natal." Sementara, umat Kristen dan Katolik, yang (akan) merayakan Natal, cuma menjadi penonton setia; setia  menonton perdebatan antara sesama mereka di sana."
So, janganlah "bertengkar" tentang boleh tidak ucapkan Natal, karena itu tak bermanfaat dan tak berguna, malah hanya menunjukkan "ketidaksukaan" terhadap hal-hal yang ada pada orang lain; dan selain itu, memalukan.
Memalukan karena, "Gue yang Natalan, malah lue yang ribut!"