Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mereka "Mengancam" Jokowi

15 Januari 2015   18:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:05 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, saya menulis

Tanggal 9 Januari 2015, Kompolnas mengusulkan lima nama kepada Presiden; dan merekalah yang akan ditunjuk oleh sebagai Kapolri [Baru]. Kelima Jenderal Polisi tersebut adalah

  1. Kabareskrim Komisaris Jenderal Suhardi Alius
  2. Kepala Lemdikpol Komjen Budi Gunawan
  3. Irwasum Komjen Dwi Priyatno
  4. Wakapolri Komjen Badrodin Haiti
  5. Kabaharkam Komjen Putut Eko Bayuseno

Dalam tempo singkat, dan tidak pakai lama, Presiden Jokowi langsung menunjuk Budi (yang juga mantan ajudan Megawati Soekarnoputri saat menjabat Presiden) sebagai calon tunggal Kapolri. Namun, kali ini naluri Jokowi salah besar. Naluri ketepatan memilih orang, misalnya seperti Menteri Susi dan Ignatius Johan,  yang biasanya “akurat,” kali ini jauh dari harapan.

Tetapi, beda dengan KPK; menurut KPK, Sang Kandidat itu menerima gratifikasi saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri periode 2003 – 2006 dan saat menduduki jabatan lainnya di Kepolisian Republik Indonesia.

Penetapan itu, tidak mebuat gentar Komisi III DPRS RI. Menurut kompas.com, “Komisi III DPR menyetujui Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi kepala Polri. Keputusan itu diambil secara aklamasi setelah Komisi III melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan atas calon tunggal kepala Polri yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan menurut Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsudin “Menyetujui surat Presiden dan secara aklamasi mengangkat Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai kapolri dan memberhentikan Jenderal (Pol) Sutarman. Keputusan tersebut akan dibawa dalam sidang paripurna.”

Agaknya, Presiden Jokowi, sekali lagi, sengaja melemparkan “kandidat pilihan dari orang lain” (siapa Si Orang lain itu!? Entah lah) ke ruang depat dan penialain publik.

KPK menyambut dengan dengan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka; dan ini sesuai harapan banyak pihak serta mereka mendukung langkah KPK. Sementara itu, Pihak Polri dan ndonesian Police Watch, IPW, tetap gigih membela Budi Gunawan; dan Komisi III DPR pun melakukan yang sama.

Kini, Presiden Jokowi berdiri di tengah-tengah; ia ada di antara sisi rakyat dan KPK, dan sebelalh lainnya ada  IPW dan Komisi III DPR.

[suplemen/kompasiana.com/opajappy] [caption id="attachment_390877" align="aligncenter" width="624" caption="kompas.com"][/caption]

Salah satu penolakan publik terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan datang dari para artis dan seniman yang tergabung dalam relawan "Konser Salam Dua Jari". Mereka mendesak Presiden Joko Widodo agar membatalkan pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri.

Bahkan menurut, koordinator Relawan Konser Salam Dua Jari, Abdee Negara

"Kami sebagai relawan 'Konser Salam 2 Jari' menyatakan akan turun ke jalan dan meminta KPK segera menuntaskan kasus pidana di balik rekening gendut.

Para relawan menyadari bahwa memilih Kapolri merupakan hak prerogatif presiden; tapi sosok yang dipilih Jokowi harus beritegritas dan memiliki rekam jejak yang baik. Pencalonan Budi Gunawan telah menafikan penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi.

Karena itu, kami meminta Bapak selaku penerima mandat rakyat agar mencabut atau membatalkan pencalonan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Kami percaya bahwa Bapak Jokowi sebagai presiden pilihan kami akan mendengarkan dengan hati dan tidak semata hanya dengan telinga. Kami percaya, Bapak masih punya hati untuk mendengarkan suara kami."

Sejumlah artis seperti dan seniman seperti Oppie Andaresta, Nia Dinata, Olga Lydia, Joko Anwar, Happy Salma, Indra Bekti, Goenawan Moehammad, Fadjroel Rachman, dan Glenn Fredly, ikut mendukung Abdee Negara. Dan menurut informasi, sejumlah seniman dan artis di daerah pun, ikut mendukung.

Itu suara seniman dan artis; dan jangan berpikir bahwa, "Cuma suara seniman dan artis, jadi tak penting, dan dianggap sebagai usaha dan upaya yang menjaring angin." Karena, sejak masa lalu, "jauh sebelum ada sejarah" seni (dan seniman) sangat berpengaruh pada hidup dan kehidupan masyarakat.  Hasil kerja seni dan senimanlah, maka kita, anda, dan saya menemukan serta bisa melihat "masa lalu;" mereka lah yang "paling berjasa" sehingga menyisakan banyak hal ke/pada orang modern. Mereka menyisakan tapak-tapak, gambar, patung, ikon, musik, lambang, goresan, manuscript di atas kain, kulit, gua, batu-batu dan lain sebagainya; dan semuanya itu menjadi warisan budaya serta peradaban.

Jadi, jika para seniman dan artis sudah mengancam dengan nada marah yang manis, maka Presiden Jokowi sebaiknya memikirkan ulang "pilihan terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan," sebab di Mabes Polri, masih banyak Jenderal; dan mungkin saja lebih berkualitas daripada BG.

Masa sich, sudah tak ada Jenderal yang bekelas, berkualitas, dan mempunyai kapasitas selain BG atau melebihi diirinya!? Itu pertanyaan sederhana "umat awani," yang jauh dari Trnunojo. Atau, mereka telah dipendamkan, dengan sengaja, agar tak tampil ke depan!?

SUPLEMEN

Polisi berasal politie (Latin, politia; Yunani, polis, politeia) bermakna warga kota atau pemerintahan kota. Di masa lalu,  pada dunia Helenis, Polis, merupakan negara kota yang otonom dan mandiri, tapi biasanya tergabung dengan aliansi (bersama) polis lainnya, sehingga terbentuk atau membentuk semacam Kerajaan.

Karena semakin kompleksnya sikon hidup dan kehidupan Polis, maka pemerintahan polis memerlukan orang-orang tertentu untuk menjaga keamanan masyarakat (dan mereka bukan tentara); oleh sebab itu dipilih dari antara penduduk. Mereka harus mengikuti kemauan - kehendak (policy, bahkan perintah pemerintah kota) untuk menjaga dan melayani masyarakat. Sehingga jika ada tindak kekerasan - kriminal dan lain sebagainya, masyarakat tak perlu melapor ke istana, tetapi cukup datang ke/pada petugas-petugas keamanan tersebut. Dan jika para petugas tersebut tiba di/pada tkp, masyarakat (akan) berkata, “polis sudah ada atau polis sudah datang,” dan lain sebagainya.

Dalam arti, petugas-petugas tersebut mewakili dan bertindak atas nama pemerintah kota/polis dalam/ketika menyelesaikan masalah.  Dalam kerangka itu, polisi merupakan petugas yang mewakili pemerintah untuk menciptakan rasa aman, tenteram, damai, serta ketertiban, dan lain sebagainya kepada rakyat. Sehingga, kehadiran dan sebutan untuk dan kehadiran para petugas polis tersebut, disamakan dengan kehadiran pemerintah yang menenangkan rakyat.

Lama kelamaan, mungkin pada abad pertengahan di Eropa, ketika pamor negara kota sudah tak ada, dan berganti dengan kerajaan, penyebutan policy-polis masih tetap dipergunakan; serta fungsinya sama seperti masa-masa sebelumnya; policy - polisi, sebagai orang diangkat dan mewakili pemerintah untuk memberikan ketenteraman kepada warga atau rakyat.

[Sejarah Polisi oleh Jappy Pellokila/Opa Jappy/http://jappy.8m.com/whats_new_2.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun