Kemarin, saya menulis tentang Malu dan tak tahu malu. Malu bermakna merasa sangat tidak enak hati, hina, rendah, tak mampu, karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya); segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat; merasa renda karena berada  di tengah-tengah orang penting.Â
Sedangkan, tak tahu malu adalah kebalikan dari malu. Tidak tahu tahu malu tak sederhana itu, melainkan datang dari dalam jiwa/diri seseorang. Tak tahu malu bisa dan biasanya dikategorikan ke dalam
- tak tahu malu sesaat - sementara
- tak tahu malu karena gangguan medis atau penyakit fisik
- tak tahu malu karena gangguan jiwa
Selanjutnya klik Malu dan Tak Tahu Malu. Saya memang sengaja menulis tentang malu dan tak tahu malu, sebagai "pintu masuk" kedalam hal lain yaitu Tak Tahun Malu Politik, dan Politik Tak Tahu Mali Politisi Tak Tahun Malu.
Tak tahu politik, bagaimana bentuknya!? Jika tidak tahu malau dan politik digabungkan, maka, menurutku, cukup sulit menemukan paduan yang cocok, sehingga bisa membangun makna atau maksud "Tak Tahu Malu Politik dan Politik Tak Tahun Malu.
Namun, faktanya, tak tahu malu politik dan politik tak tahu malu, telah menjadi bagian dari Tak Tahu Malu; melengkapi kategori Tak Tahu Malu yang sudah ada (lihat di atas).
Dengan demikian, ini hanya suatu usulan, maka Tak Tahu Malu Politik adalah "Perbuatan yang tak seharusnya terjadi (karena tidak baik, cacat, penuh kekurangan) pada bidang politik (politik berarti seni pemerintah memerintah; ilmu memerintah; cara pengusaha menguasai).Â
Pada sikon itu, terutama politisi dan parpol, jika tetap saja melakukannya, maka yang terjadi adalah Politik Tak Tahu Malu. Selanjutnya, para politisi yang melakukannya disebut Politisi Tak Tahun Malu
Nah, jika diperhatikan secara mendalam, maka dengan mudah, anda dan saya, akan menemukan Politisi Tak Tahu Malu Politik, yang melakukan Politik Tak Tahu Malu.
Mereka bisa ada di mana-mana, terutama Parpol; yang memerintah maupuj tidak. Misalnya, politisi yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kedudukan serta kekuasaan.Â
Dan ada juga pemuka agama (organisasi keagamaan) yang memakai trik-trik politik untuk mencapai dan mempertahankan kepemimpinan terhadap umat.
Jika politisi menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kedudukan serta kekuasaan politik, maka hal itu menunjukkan ketidakmampuan dan ketidaktrampilan berpolitiknya.
Ia hanya mempunyai motivasi untuk mencari untung dari kedudukan serta kekuasaan politik, dalam rangka memperkaya diri sendiri sekaligus mencari nama.Â
Politisi seperti itu, tidak mempunyai kepekaan terhadap permasalahan dan pergumulan umat manusia atau masyarakat luas. Jika ada yang ia perjuangkan, maka hanya akan memperhatikan atau demi kepentingan orang-orang tertentu seperti mereka yang seagama dengannya.
Politisi Tahu Malu Politik, juga seringkali melupakan rakyat yang memilih dirinya sehingga menjadi anggota Parlemen; sehingga merasa diri hebat, jago, dan mempunyai kekuasaan parlementer.Â
Dengan itu, ia seenakanya mengeluarkan penyataan yang justru tidak bermartabat dan sesuai etika politik.
Selain itu, Politisi Tak Tahu Malu Politik juga lebih suka tampil (terutama melalui pernyataan-pernyataan) beda dari gari politik parpolnya atau pemerintah.Â
Mereka lebih suka memberikan pernyataan yang melawan arus, tanpa fakta dan data yang akurat, yang penting bunyi dan berbeda, sehingga "menjadi dikenal;" mereka mungkin saja ikuti pakem basi, "melawan orang terkenal, agar terkenal."
Politisi Tak Tahu Malu Politik, selalu ada di semua rezim; mereka bisa muncul sebagai oposisi semu terhadap rezim yang berkuasa, atau pun sebagai duri dalam daging pada rezim yang memerintah. Mereka, tak bisa dihilangkan, selalu ada dan muncul pada saat yang tepat dan tak terduga.
Kini, di Negeri tercinta, era Jokowi-JKa, adakah Politisi Tak Malu Politik!? Kita, anda dan saya, tak bisa menuding dan menuduh, namun, dari "bunyi, suara, dan baunya" bisa terlihat siapa dia; ia ada, dan hanya memperkeruh suasana.
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
🎇🎇🎇🎇🎇🎇
SUPLEMEN
Politik, politic, (Inggris) adalah padanan politeia atau warga kota (Yunani,polis atau kota, negara, negara kota); dan civitas (Latin) artinya kota atau negara;siyasah (Arab) artinya seni atau ilmu mengendalikan manusia, perorangan dan kelompok. Secara sederhana, politik berarti seni pemerintah memerintah; ilmu memerintah; cara pengusaha menguasai. Makna politiknya semakin dikembangkan sesuai perkembangan peradaban dan meluasnya wawasan berpikir. Politik tidak lagi terbatas pada seni memerintah agar terciptanya keteratuaran dan ketertiban dalam masyarakat polis; melainkan lebih dari itu.
Dengan demikian, politik adalah kegiatan (rencana, tindakan, kata-kata, perilaku, strategi) yang dilakukan oleh politisi untuk mempengaruhi, memerintah, dan menguasai orang lain ataupun kelompok, sehingga pada diri mereka (yang dikuasai) muncul atau terjadi ikatan, ketaatan dan loyalitas (walaupun, yang sering terjadi adalah ikatan semu; ketaatan semu; dan loyalitas semu).
Dengan itu, dalam politik ada hubungan antar manusia atau sesama manusia, perorangan dan kelompok yang memunculkan menguasai dan dikuasai; mempengaruhi dan dipengaruhi karena kesamaan kepentingan dan tujuan yang akan dicapai. Ada berbagai tujuan dan kepentingan pada dunia politik, dan sekaligus mempengaruhi perilaku politikus.
Politik juga memunculkan pembagian pemerintahan dan kekuasaan, demokrasi (dalam berbagai bentuk), pemerataan dan kesimbangan kepemimpian wilayah, dan lain sebagainya. Hal itu menjadikan pembagian kekuasaan (atau pengaturan?) legislatif (parlemen, kumpulan para politisi); eksekutif (pemerintah); dan yudikatif (para penegak hukum); agar adanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H