Mohon tunggu...
Ovie
Ovie Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Wiraswasta

Datar. Stabil.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Oleh-oleh Lebaran: "Pengalaman" tentang Rekayasa Lalu Lintas

2 Juli 2017   13:30 Diperbarui: 2 Juli 2017   13:46 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://print.kompas.com

Kebahagiaan selalu menyisakan kenangan yang indah, atau yang lucu, dan yang jelas sulit terlupakan. Demikian pula dengan Ied Mubaroq atau yang lebih familiar sebagai Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran.

Lebaran yang identik dengan kata 'mudik' ini ternyata membuka wawasan baru bagi saya di bidang transportasi, yakni mengenai istilah 'rekayasa lalu lintas'. Bukan hal baru memang, tetapi jarang-jarang saya temui sebelumnya di denyut nadi transportasi di ibukota.

Istilah ini akrab terdengar bagi pemudik via jalan darat, tentunya. Sangat spesial, karena rekayasa lalu lintas kali ini bisa saja berupa kombinasi dari berbagai metoda untuk mengurai kemacetan lalu lintas (lalin).

Kemacetan yang berpindah

Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala di awal perjalanan mudik kami sekeluarga. Bagaimana tidak, di Jakarta bertemu macet, ke luar kota pun masih juga dihadang macet. 

Perbedaannya hanya terletak pada latar belakang pemandangan dari kemacetan tersebut. Jika di ibukota, akrab dengan gedung bertingkat sebagai layar background; di sini kini yang tampak adalah nuansa hijau belaka, bukit kecil, entah itu di sisi kiri atau kanan sepanjang jalan tol, hamparan rumput, semak bunga liar, pepohonan, dan terkadang berupa sawah ladang penduduk setempat.

Kemacetan mudik ini memang dari tahun ke tahun terasa semakin parah, sehingga nge-top dengan istilah 'mengular'. Walau faktanya sih, barisan ular anaconda Amazon juga masih kalah panjang dengan antrian mudik ala Indonesia.

Di sisi lain, yakni dari sudut pandang ekonomi, para penjaja makanan yang bersliweran di kala barisan kendaraan tak bergerak - seperti tahu goreng, mangga yang telah dikupas, telur puyuh -- yang dijajakan oleh penduduk di sekitar area tersebut, dipercaya mampu membawa dampak sebagai pendistiribusi kemakmuran, sebagaimana efek dari aktivitas mudik itu sendiri bagi kampung masing-masing pemudik. Ini menurut berita yang saya baca lho.

Solusi: Rekayasa Lalu Lintas

Ada beberapa metoda, yang dipandang solutif utuk mengurangi kemacetan, dan diimplementasikan secara kombinasi atau berselang-seling, di antaranya adalah:

1. Contra Flow

Isitlah 'Contra flow' masih acap belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai 'melawan arus', misalnya. Plang (tanda) pengumuman atas diberlakukannya 'contra flow' memang jelas dipasang, yang juga ditambah dengan siaran pengumuman melalui pengeras suara dari kendaraan pak polisi yang patroli saat itu.

Akan tetapi, masih kurang informatif bagi para pengemudi, dari mana mulainya jalur contra-flow ini, dan dimana berakhirnya. Kesannya terasa untung-untungan, spekulatif hanya buat para pengguna lajur paling kanan, karena merekalah yang bakal akan dialihkan ke lajur contra flow, dimana akan tercampur dengan arus lalin kebalikannya.

Ada perasaan unik kala kemacetan di jalur normal melanda, yaitu timbul rasa keinginan/ cemburu (iri?) kepada mereka yang tengah mengarungi jalur contra flow, yang melaju dengan lancarnya. Ingin rasanya pindah ke jalur tersebut saat itu juga, jika saja situasi kondisi memungkinkan. Ah, sifat manusia.

Nah, lucunya, pada saat lajur contra flow tersebut dikembalikan ke jalur normal yang semula alias balik menggabung ke jalur kami, lalin akan tersendat merayap. Kembali kami menggerutu,"Ini gara-gara contra flow, keadaan jadi bottle-neck seperti ini."

Hihi, sifat manusia, jilid kedua.

2. Sistem buka tutup

Ini misalnya diterapkan di daerah Nagrek. Tetapi menurut pengalaman saya, sistem buka tutup yang prinsipnya memprioritaskan prinsip 'bergantian' ini akan diberlakukan secara urgent di kala emergency, misalanya kala terjadi kecelakaan. Karena sebuah bus yang memalang jalan akibat insiden lalin, maka metoda ini efektif untuk melanggengkan kelancaran lalin dua arah, walau toh akan terasa sangat padat merayap. Yang penting, kendaraan bisa jalan.

3. Sistem satu arah

Biasanya diberlakukan di daerah kota kecil. Yang sebelumnya adalah jalan dengan dua arah, kini disatukan, diperuntukkan bagi jalur arah mudik.

Sedangkan arah yang berlawanan dipandu agar memutar alun-alun, dsb.

4. Kuota atau penjatahan pada Rest Area

Ternyata pak polisi juga menjaga pintu masuk rest area, walaupun sudah ikut antri di belakang mobil-mobil lain yang ingin masuk ke rest area, jika di dalam sudah penuh, maka pak polisi sigap menghadang para pemudik.

Alamak, terpaksa dorongan perut lapar, atau haus, atau kebelet ke toilet, atau sekadar meluruskan kaki, berganti driver/ pengemudi, harus dibatalkan dengan alasan apa pun.

Bisa jadi, berkilo-kilo meter jauh sebelum rest areas, laju kendaraan pemudik sudah melambat dikarenakan keluar masuknya mobil-mobil dari rest area untuk kembali melanjutkan perjalanan ke jalur lalin.

5. Sebagai faktor komplementer dari kesemua itu, 

Patroli Polisi via kendaraan roda dua atau roda empat, juga rajin 'membersihkan baju jalan', dengan cara membunyikan suara sirine keras-keras, yang cukup membuat para pengemudi plus berikut para penumpangnya, menoleh mencari sumber suara.

Kekurangannya adalah, baru saja bahu jalan 'clear' namun beberapa belas menit kemudian, kembali dipenuhi mobil-mobil yang tidak disiplin.

  ````

Sebagai penutup, ijinkan saya menghaturkan terima kasih yang seluas-luasnya, buat para bapak/ ibu polisi yang begitu teguh membantu kelancaran aktifitas mudik kami semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun