Mohon tunggu...
Rahman
Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Menulis apa yang saya suka, siapa tahu kamu juga suka. Twitter: @oomrahman.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Prancis Tidak Perlu Meyakinkan Anda untuk Bisa Tampil di Laga Final

15 Juli 2018   03:04 Diperbarui: 15 Juli 2018   08:33 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemain legendaris Christophe Dugarry menyebut Prancis minim karakter, mental, dan determinasi. Kolomnis The Guardian, Adam White menganggap tim asuhan Didier Deschamps mirip Inggris era Sven-Goran Eriksson yang sulit tampil meyakinkan meski punya banyak pemain bintang. Katanya juga, sepanjang enam tahun kepemimpinan Deschamps, Les Bleus tidak punya identitas jelas.

Penulis buku The Big Pang Theory dua jilid, Pangeran Siahaan, sampai 30 Juni 2018 masih beranggapan, "Prancis ketemu lawan yang skuatnya decent dan taktiknya mumpuni juga bakal megap-megap". Setelah Prancis menggasak Argentina 4-3, managing editor Kumparan, Rossi Finza Noor berpikir, "Prancis emang enggak luar biasa, kalau saja ketemu lawan yang lebih firm pasti kerepotan mereka."

Prancis menang di laga pembuka versus Australia dengan cara kontemporer. Satu gol penalti Antoine Griezmann hasil teliti VAR (video assistant referee) pertama kali dalam sejarah Piala Dunia dan tambahan gol bunuh diri Aziz Behich berkat koreksi teknologi garis gawang yang baru berumur empat tahun. 

Prancis tidak stabil sepanjang laga, terlebih setelah Samuel Umtiti menyentuh bola dengan tangan di kotak penalti seakan bersiap dipilih pada NBA Draft 2018, sehingga Mile Jedinak menyamakan kedudukan.

Trisula cepat berisi Griezmann, Kylian Mbappe, dan Ousmane Dembele tidak kohesif sampai nama terakhir digantikan Olivier. Corentin Tolisso tidak terlalu memberi kenyamanan mengontrol ritme laga di lini tengah, memaksa pemain kawakan Blaise Matuidi perlu mengambil alih perannya.

Laga kedua, Peru yang kalah tipis dari Denmark terpaksa melakoni laga hidup mati di Piala Dunia pertama pasca 36 tahun absen. Serangan bertubi-tubi penuh tenaga kebut lewat 10 kali tembakan beserta keunggulan penguasaan bola Paolo Guerrero, cs. tetap tidak bisa menyamakan skor setelah cocoran Mbappe beri keunggulan semata wayang Prancis.

Tuduhlah Prancis bermain mata untuk skor kacamata dengan Denmark. Pergantian enam pemain starting-XI, kepastian lolos, dan Australia yang malah keok dari Peru, membawa Denmark menemani Les Tricolores.

Argentina datang menghadang untuk menghadirkan beragam pose sedih Lionel Messi, sepakan voli indah Benjamin Pavard, aksi sepak bola paling penting Mbappe sepanjang 19 tahun hidupnya, dan unjuk ketenangan Prancis menghadapi ketertinggalan. 

Selanjutnya giliran tetangga Argentina, Uruguay minus Edinson Cavani dikalahkan dengan dua gol tanpa balas, margin skor terbesar Prancis di turnamen. Sedangkan Belgia dibuat kecele lewat skema tendangan sudut berakhir gol tandukan kepala Umtiti sebagai momen pembeda.

Tim Ayam Jantan kerap kali menang tipis untuk tampil di final Piala Dunia 2018. Foto: FIFA.com.
Tim Ayam Jantan kerap kali menang tipis untuk tampil di final Piala Dunia 2018. Foto: FIFA.com.
Gelagat pragmatisme Prancis (dalam bahasa Eden Hazard dan Thibaut Courtois nantinya, yakni 'anti-football') semestinya kadung terendus setidaknya pada laga versus Peru. Daya tahan menggalang pertahanan mereka sangat diuji untuk tidak goyang. 

Setelah dari sana, semua tampak jelas. Mereka sengaja pasang garis pertahanan rendah, pasif tanpa bola, menunggu lawan hilang posisi, patahkan penyerangan di waktu tepat, serangan balik kilat, umpan lambung langsung ke depan mengakali kalah kreativitas di lini tengah, dan memberdayakan kemampuan individual penyerang untuk meraup gol.

Dikutip dari buku Simulakra Sepak Bola, pragmatisme berasal kata bahasa Yunani "pragma" punya arti perbuatan atau tindakan. Ini menyoal benar/salahnya teori dan gagasan hanya bisa diketahui setelah terbukti membawa hasil bagus.

Pragmatisme sepak bola bukan soal main bertahan, tapi menggunakan taktik apapun (selagi sah) yang diyakini sepenuh hati membuahkan kemenangan. Brasil pragmatis dengan jogo bonito membuahkan lima juara Piala Dunia, Spanyol dengan tiki-taka bermuara kejayaan 2008-2012, Italia dengan cattenacio, dll.

Deschamps jelas punya sumber daya pemain mumpuni untuk menciptakan tim Prancis menghibur dengan operan pendek cepat nan racak, gocekan magis berkat olah bola nomor satu yang semua orang tahu, dan berhilir hasil akhir gelontoran banyak gol. 

Melimpahnya opsi pemain Deschamps bisa tergambarkan bahwa sejak melatih timnas pada 2014 hanya ada enam dari gerbong pemain Piala Dunia 2014 dan sembilan pemain dari skuat Euro 2016 yang tersisa di tim. Hanya kapten Hugo Lloris, Griezmann, Giroud, Matuidi, dan Paul Pogba di skuat saat ini yang tampil pada dua turnamen terdahulu.

Dengan rataan umur skuat 26 tahun, biarkan Deschamps menunjukkan pragmatisme demi bintang kedua di atas logo ayam jantan. Marcell Desailly mengenal pragmatisme rekan sejawatnya itu sebagai wujud perjuangan mengeluarkan yang terbaik di setiap situasi, melengkapi ketangguhan dan wawasan luasnya memimpin secara utuh.

Dia plot Pavard yang kesehariannya sebagai bek tengah di Stuttgart sebagai fullback kanan Les Bleus. Bek 22 tahun ini melanjutkan performa ciamik di klub dengan capaian pertahanan terbaik kedua di Bundesliga musim lalu.

Koleganya di sisi kiri pertahanan, Lucas Hernandez jelas terbiasa pakem serupa setelah sepanjang musim ditempa cholismo di Atletico Madrid. Jenaka mengingat Hernandez diomeli Griezmann karena masih saja meminta bola di sepertiga akhir lapangan karena tengah unggul 4-2 dari Argentina. 

Sedangkan Umtiti dan Raphael Varane menjadi duet jantung pertahanan kombinasi tim El Clasico paling menarik, setelah Sergio Ramos dan Gerard Pique mendapati Spanyol tidak lagi sama.

Pragmatisme tambah wajar tatkala lini tengah diisi N'Golo Kante, gelandang bertahan terbaik di dunia sejak 2015. Bersamanya, Paul Pogba tampak serius, tidak banyak dab, karena ada dua gol Prancis berbuntut dari curian bolanya. Ketika keduanya memulai laga bersama, Prancis tidak pernah kalah dalam 18 laga.

Matuidi tampil bagus saat tim bertransisi dengan ataupun tanpa bola, memberi rasionalitas mengapa dia terus ada di tim rezim Deschamps. Giroud tampil seksi secara fisik, mental, dan permainan. Memberi ketahanan penguasaan bola, menyajikan ruang eksploitasi memanjakan kecepatan Mbappe dan kecerdikan Griezmann.

Ajaran cholismo Diego Simeone juga yang memungkinkan Griezzi menempel Messi dan Hazard di masing-masing laga. Menyimak kiprah mereka, maka jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda.

Meninggalkan Dimitri Payet, pemain Prancis paling menghibur pada Euro 2016 (dua kali man of the match plus membuat Cristiano Ronaldo cedera di laga final) bisa pula dilacak sebagai salah satu langkah awal Deschamps bakal menyajikan sepak bola negatif. Bahkan malah sebetulnya semenjak Prancis menunjuknya sebagai pelatih, pragmatisme seperti ini bisa diramalkan.

Dijuluki Eric Cantona sebagai porter d'eau alias si pengangkut air saat masih merumput, Dede (sapaannya) bertanggung jawab melakukan laku ikhtiar perbuatan kotor. Memotong aliran bola, mengganjal langkahnya, atau apapun yang bertujuan merusak ritme serangan rival. 

Selepas sukses atas tugasnya, Dede memberikan bola kepada pemain-pemain bertalenta menyusun peluang gol. Dia kapten pada tim juara Piala Dunia pertama dan Piala Eropa kedua Les Bleus. Melengkapi raihan dua trofi Liga Champions dalam total 13 trofi kompetisi elite yang dia menangi.

Sebagai pelatih, pria bertubuh mungil 169 cm ini ialah kontributor pemberi final Liga Champions absurd yang mementaskan Monaco arahannya melawan Porto asuhan Jose Mourinho pada 2004. Capaian tertinggi terakhir tim Prancis di kasta sepak bola Eropa level klub. Dia memasang muka tebal membantu Juventus juara Serie-B. Sempat memberi double winners kepada Marseille pada 2010, sebelum bangsawan Qatar mengubah konstelasi dari Paris.

Didier Deschamps berpeluang menjadi sosok ketiga yang juara Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih, setelah Mario Zagallo (Brasil) dan Franz Beckenbauer (Jerman). Foto: FIFA.com.
Didier Deschamps berpeluang menjadi sosok ketiga yang juara Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih, setelah Mario Zagallo (Brasil) dan Franz Beckenbauer (Jerman). Foto: FIFA.com.
Pada kesempatan ketiga turnamen besar ajang antarnegara, Deschamps tidak ada pilihan selain juara. Menyelesaikan turnamen sebagai finalis sebaiknya cukup sekali dia kecap dua tahun silam. Apalagi, mereka kalah dari Portugal, tim yang hanya duduk di peringkat ketiga tanpa sekalipun menang pada fase grup, mencetak delapan gol dari delapan laga, dan juara berkat gol Nene, penyerang tidak terkenal baik sebelum ataupun sesudah kompetisi.

Berbeda dengan Prancis yang punya tanggung jawab moral menghibur publik, mereka menceploskan 13 gol, lupa kalah sebelum final, dan punya Griezmann sebagai top skor dan pemain terbaik turnamen. Pembedanya justru terletak pada persoalan paling penting.

Lagi pula tidak perlu melongok terlalu jauh untuk menemukan negara relatif sukses di Piala Dunia yang berpragmatisme ria, sekaligus mengkhianati filosofi sepak bola bangsanya. Belanda mendapati final keduanya di Piala Dunia pada 2010, saat Bert van Maarwijk mengedepankan sepak bola bertahan setelah bertahun-tahun memeragakan totaalvoetbal yang kalau ukurannya trofi, hanya sukses pada Piala Eropa 1988. 

Pilihan moral van Maarwijk saat itu menghasilkan debat tiada berkesudahan dan bisa dilanjutkan sampai sekarang, terlebih memang Der Oranje tetap belum pernah juara.

Finalis edisi 2014, Argentina pun selalu menang tipis, tidak pernah unggul lebih selisih satu gol sepanjang turnamen. Peragaan semakin menjadi-jadi saat Messi cenderung tidak menonjol pada fase gugur lewat dua kemenangan 1-0 dan adu penalti di babak semifinal. Berbeda dengan sang juara Jerman yang punya catatan kemenangan bombastis 7-1 atas Brasil di Maracana.

Pilihan Deschamps semakin masuk akal merujuk sulitnya negara-negara unggulan meraih kemenangan sedari babak grup. Jerman tersingkir secara dini, operan Spanyol buntu menembus pertahanan Rusia, Brasil dan Argentina hampir segendang sepenarian perihal berjuang untuk menang di fase grup, dan Inggris bersiasat mencari gol lewat bola mati. Nyaris tiada yang benar-benar menghegemoni dari segala penjuru mata angin soal permainan beriring mantapnya kemenangan.

Take the trophy, Les Bleus!. Foto: FIFA.com.
Take the trophy, Les Bleus!. Foto: FIFA.com.
Griezmann tidak peduli torehan golnya lebih sedikit daripada saat Piala Eropa 2016 dan senang-senang saja Prancis 'menang jelek' selagi nanti juara Piala Dunia. Pogba ogah teledor lagi seperti final Piala Eropa 2016, karena dia ingin teguk manisnya kemenangan di laga final.

Giroud membolehkan siapapun menyamakan dirinya dengan penyerang inti Prancis di Piala Dunia 1998, Stephane Guivarc'h sebagai faute de mieux (si kurang bagus) yang tidak mencetak sebutir golpun. Sedangkan Mbappe tidak berpikir soal Ballon d'Or, karena dia kesengsem tidur seranjang dengan trofi World Cup.

Selang 20 tahun setelah juara Piala Dunia sebagai kapten, Deschamps berkesempatan melakukannya lagi di Moskow. Tersisa Kroasia di hadapan. Tim terakhir yang menguji karakter, mental, determinasi, dan kejelasan identitas Prancis pimpinannya. Tim yang mungkin saja skuatnya decent, bertaktik mumpuni untuk bikin megap-megap, dan lebih firm untuk bisa bikin repot Les Bleus.

Sebab sampai final belum ada tim seperti itu atau sebetulnya memang tidak ada tim seperti itu. Sebab Prancis juga tidak perlu meyakinkan semua pihak untuk tiba di laga final. Fiers de tre Bleus, bangga menjadi biru!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun