Meninggalkan Dimitri Payet, pemain Prancis paling menghibur pada Euro 2016 (dua kali man of the match plus membuat Cristiano Ronaldo cedera di laga final) bisa pula dilacak sebagai salah satu langkah awal Deschamps bakal menyajikan sepak bola negatif. Bahkan malah sebetulnya semenjak Prancis menunjuknya sebagai pelatih, pragmatisme seperti ini bisa diramalkan.
Dijuluki Eric Cantona sebagai porter d'eau alias si pengangkut air saat masih merumput, Dede (sapaannya) bertanggung jawab melakukan laku ikhtiar perbuatan kotor. Memotong aliran bola, mengganjal langkahnya, atau apapun yang bertujuan merusak ritme serangan rival.Â
Selepas sukses atas tugasnya, Dede memberikan bola kepada pemain-pemain bertalenta menyusun peluang gol. Dia kapten pada tim juara Piala Dunia pertama dan Piala Eropa kedua Les Bleus. Melengkapi raihan dua trofi Liga Champions dalam total 13 trofi kompetisi elite yang dia menangi.
Sebagai pelatih, pria bertubuh mungil 169 cm ini ialah kontributor pemberi final Liga Champions absurd yang mementaskan Monaco arahannya melawan Porto asuhan Jose Mourinho pada 2004. Capaian tertinggi terakhir tim Prancis di kasta sepak bola Eropa level klub. Dia memasang muka tebal membantu Juventus juara Serie-B. Sempat memberi double winners kepada Marseille pada 2010, sebelum bangsawan Qatar mengubah konstelasi dari Paris.
Berbeda dengan Prancis yang punya tanggung jawab moral menghibur publik, mereka menceploskan 13 gol, lupa kalah sebelum final, dan punya Griezmann sebagai top skor dan pemain terbaik turnamen. Pembedanya justru terletak pada persoalan paling penting.
Lagi pula tidak perlu melongok terlalu jauh untuk menemukan negara relatif sukses di Piala Dunia yang berpragmatisme ria, sekaligus mengkhianati filosofi sepak bola bangsanya. Belanda mendapati final keduanya di Piala Dunia pada 2010, saat Bert van Maarwijk mengedepankan sepak bola bertahan setelah bertahun-tahun memeragakan totaalvoetbal yang kalau ukurannya trofi, hanya sukses pada Piala Eropa 1988.Â
Pilihan moral van Maarwijk saat itu menghasilkan debat tiada berkesudahan dan bisa dilanjutkan sampai sekarang, terlebih memang Der Oranje tetap belum pernah juara.
Finalis edisi 2014, Argentina pun selalu menang tipis, tidak pernah unggul lebih selisih satu gol sepanjang turnamen. Peragaan semakin menjadi-jadi saat Messi cenderung tidak menonjol pada fase gugur lewat dua kemenangan 1-0 dan adu penalti di babak semifinal. Berbeda dengan sang juara Jerman yang punya catatan kemenangan bombastis 7-1 atas Brasil di Maracana.
Pilihan Deschamps semakin masuk akal merujuk sulitnya negara-negara unggulan meraih kemenangan sedari babak grup. Jerman tersingkir secara dini, operan Spanyol buntu menembus pertahanan Rusia, Brasil dan Argentina hampir segendang sepenarian perihal berjuang untuk menang di fase grup, dan Inggris bersiasat mencari gol lewat bola mati. Nyaris tiada yang benar-benar menghegemoni dari segala penjuru mata angin soal permainan beriring mantapnya kemenangan.