Mohon tunggu...
Rahman
Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Menulis apa yang saya suka, siapa tahu kamu juga suka. Twitter: @oomrahman.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Duduklah dan Merendah, Jerman

29 Juni 2018   14:59 Diperbarui: 29 Juni 2018   15:11 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gol Korsel menit 90+2 hancurkan asa Jerman. Foto: Getty Images (FIFA.com).

Empat dari lima juara bertahan terakhir Piala Dunia gagal lolos dari babak grup pada turnamen berikutnya. Salah satu dan paling terbaru, Jerman.

Juara Piala Dunia 2014 ini finis di urutan paling buncit pada Grup F Piala Dunia 2018. Tragedi yang terjadi akibat ditekuk 0-2 Korea Selatan di Arena Kazan, Rabu (27/6). Jerman yang kalah 0-1 dari Meksiko di laga perdana dan menang 2-1 atas Swedia mesti merelakan tempat 16 besar untuk El Tri dan Blagult. Jerman finis terakhir, hanya buat dua gol dari 72 tembakan ke gawang, sehingga banyak turbulensi terjadi.

Betapa getir dan pilu kekalahan ini kalau menengok sepak terjang Die Mannschaft pasca 2002. Sejak Piala Dunia Korsel-Jepang, Jerman minimal selalu tembus sampai semifinal. Dua kali masuk final, serta sekali meraih juara di Brasil 2014. Dalam konteks luas, Jerman mencapai 12 semifinal pada 16 turnamen Piala Dunia terakhir dengan empat di antaranya membuahkan juara dari delapan kali laga final. Memasukkan pencapaian juara Piala Konfederasi 2017, tambah membuat Toni Kroos, dkk. tampak gagah.

Sayang sejuta sayang, rekam jejak mentereng tersebut berubah menjadi kutukan, bukan lagi anugerah. Pencapaian brilian di masa lampau terpaksa mengendap setelah tragis kalah. Memang tidak ada yang bisa selamanya menang. Sebab hidup juga tidak sepenuhnya soal senang. Giliran Jerman terpuruk merana sekarang.

Terasa pening kepala pelatih, Joachim Loew lewat tuturan, "Kekecewaan mendalam di diri saya. Tidak bisa dibayangkan kami kalah dari Korea Selatan". Jerman tidak juara jelas terprediksikan, serta kalah lalu tersingkir dari turnamen juga bisa muncul dalam bayangan. Namun angkat koper dengan cara seperti ini sulit diterima. "Kejutan besar, berawai dahsyat, memberikan saya dan para kolega perasaan hampa sepenuhnya. Ini bukan Jerman yang biasanya," tulis eks pemain Thomas Hitzlsperger pada kolomnya di The Guardian.

Pasca juara Piala Dunia 2014 dengan komprehensif, Jerman beberapa kali diterpa isu arogansi. Ketika menang 8-0 atas tim San Marino yang diisi pemain amatir, Thomas Mueller berkomentar pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018 itu tidak ada hubungannya dengan sepak bola profesional. Sebaiknya tidak perlu dilangsungkan, karena berpeluang memberikan cedera di tengah agenda padat kompetisi klub. Komentarnya ditanggapi melalui 10 poin balasan juru bicara San Marino lewat kiriman di Facebook.

Duet Mueller pada serial video komedi 'ThoMats', yakni Mats Hummels juga diterpa tuduhan arogan. Setelah pemain muda terbaik Premier League 2017-18, Leroy Sane dicoret dari daftar skuat Jerman untuk Piala Dunia 2018, Hummels berkomentar Sane memang tidak setara dengan pemain senior macam Mueller dan Mesut Oezil. Baginya pemain muda generasi kekinian punya perilaku berbeda, seperti tampak pada aktivitas bermedia sosial, yang memengaruhi mentalitas saat membela tim nasional.

Duo ThoMats menyebut komentar keduanya sukses dipelintir media. Lewat kiriman sanggahan, mereka mengklarifikasi maksud asli yang tercerabut konteksnya. Memang ada kemungkinan bahasa Jerman yang mereka pakai saat berkomentar bisa berujung salah diterjemahkan ke dalam bahasa lain seperti Inggris. Apalagi beragam media berbahasa Inggris yang kerap menjadi rujukan, berasal dari negara rival.

Lantas alasan masuk akal apa yang bisa diajukan saat arogansi Jerman tampak pada perayaan gol kemenangan melawan Swedia? Staf pelatih Jerman berselebrasi di depan bangku cadangan lawan, Oliver Bierhoff berkonfontrasi dengan pelatih Janne Anderson, dan pemain senior Jerman buat gestur mengejek memantik pertikaian terjadi.

Kurang seminggu, Swedia lantas lolos sebagai juara grup sekaligus berhak tertawa di akhir. Juru gedor Marcus Berg mensyukuri karma yang ada, kapten Andreas Granqvist tergelak, dan bek Mikael Lustig merasa sangat menyenangkan mendengar Jerman tersingkir.

Tertarik mengikuti saksama kiprah Swedia? Maka jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda.

Kacau Luar-Dalam

Isu panas lain mendekati penyelenggaraan Piala Dunia, Oezil dan Ilkay Guendogan berfoto bersama Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan di London. Guendogan memberikan kaus Manchester City bertuliskan namanya menuliskan ucapan, "Kepada Presidenku, dengan segala hormat".

Kejadian ini berelasi dengan konstelasi politik di negera leluhur mereka. Mengingat pada Mei itu, Erdogan tengah mengikuti Pemilu Presiden Turki demi melanjutkan kekuasaannya selama 15 tahun. Erdogan cerdik memanfaatkan situasi meski dilarang berkampanye langsung kepada sekitar 1,2 juta warga keturunan Turki yang punya hak pilih di Jerman.

Tindakan itu seperti membuka api dari sekam. Isu nasionalisme dan kewarganegaraan ganda terus digoreng partai nasionalis sayap kanan Alternative fuer Deutschland yang bahkan pada tahap tertentu menuntut kedua pemain ditarik dari tim. Jangankan AfD, federasi sepak bola Jerman DFB dan juru bicara Kanselir Angela Merkel juga tidak menyetujui pendekatan Erdogan kepada keduanya.

Kondisi makin runyam khususnya bagi Oezil tatkala aksi masterclass-nya tidak sekalipun berbuah hasil positif. Jerman selalu kalah saat dia tampil dan malah menang saat dia tidak mentas. Ketika kalah dari Meksiko, aksi turun ke pertahanannya tidak menghalangi Hirving Lozano mencetak gol. Ketika tumbang dari Swedia, Oezil untuk pertama kalinya tidak masuk susunan pemain pemulai laga. Ketika tumbang dari Korsel, dia sempat kehilangan bola yang berujung tendangan tepat sasaran ke gawang.

Sama seperti di Arsenal, Oezil di timnas Jerman juga menjadi samsak kritik eks pemain. Mario Basler dengan tajam mengkritik bahasa tubuh eks pemain Schalke ini seperti 'kodok mati' setelah kalah dari Meksiko.

Segalanya tambah buruk saat gagal total. Sport Bild menyebar isu kalau tim terbagi dalam beberapa kubu yang saling berebut pengaruh. Ada kubu Bavaria berisi Manuel Neuer, Toni Kroos, Hummels, dan Mueller versus kubu 'bling-bling' berkomposisi Oezil, Jerome Boateng, Sami Khedira, dan Julian Draxler. Irisan lainnya menghasilkan kubu Piala Konfederasi yang merasa dianggap remeh para pemain juara Piala Dunia 2014. Isu semacam ini lazim berhembus dari tim yang terguncang, seperti Prancis pimpinan Raymond Domenech untuk PD 2010 Afrika Selatan.

Jika konflik itu nyata, persoalan Fuhrungsspieler atau kepemimpinan di lapangan memang bisa menjadi bukti. Tiada lagi kapten Philipp Lahm dan Bastian Schweinsteiger bisa jadi penyebab. Juga sosok seperti Per Mertesacker dan Lukas Podolski yang lazim merekatkan tim yang dibela lewat rangkulan kepemimpinan humoris.

Mueller tampak mencoba mengajak rekan-rekannya tetap tenang saat memastikan tambahan waktu enam menit selepas Korsel cetak gol. Nyatanya sepanjang turnamen kehadirannya sama sekali tidak terasa. Tiada tambahan gol untuknya di Piala Dunia sekalipun menjadi top skor di PD 2010 dengan lima gol dan jumlah sama untuknya empat tahun berselang. Peran penafsir ruang atau raumdater khas Mueller hanya bisa berfungsi saat ada gol tercetak. Sialnya, sejak Bayern Munchen dilatih Carlo Ancelotti, Mller hilang produktivitas mirip kucing disterilisasi.

Pahlawan Jerman pada laga melawan Swedia, Kroos tidak lepas dari kesalahan fatal. Dua kali dia melakukan eror berbuah gol lawan, satu saat kehilangan bola pada gol Ola Toivonen dan sodoran bola untuk Kim Young-gwon yang batal offside setelah revisi VAR.

Gol Korsel menit 90+2 hancurkan asa Jerman. Foto: Getty Images (FIFA.com).
Gol Korsel menit 90+2 hancurkan asa Jerman. Foto: Getty Images (FIFA.com).
Urusan berbuat eror, tiada lagi yang lebih komikal daripada Neuer pada gol kedua Korsel. Bayangkan, seorang kiper profesional kehilangan bola di daerah permainan lawan! Kejadian penting untuk mendefinisikan ulang relevansi peran sweeper-keeper, karena Pep Guardiola bukan pelatih Jerman.

Reus yang menjalani debut Piala Dunia tampak tampil paling baik lewat sumbangan satu gol dan satu asis, tapi gagal signifikan di momen krusial. Khedira pasti tahu dia pergi ke Rusia bukan untuk jogging saat bertanding. Joshua Kimmich terlalu sering berkelana ke depan hanya untuk meninggalkan lubang di pertahanan. Jerome Boateng berurusan dengan kedisiplinan, sementara leher Hummels setelah cedera lagi tidak tajam di depan gawang. Jonas Hector harus diakui tidak sebaik Lahm, sedangkan Timo Werner jelas bukan Miroslav Klose.

Dari segala kegaduhan, tanggung jawab akhir ditujukan kepada Loew. Diakuinya, Nationalmannscaft layak pulang dari Rusia. Pilihannya percaya pada Neuer padahal absen selama 8 bulan akibat cedera, bukan pada Marc-Andre ter Stegen yang prima di Barcelona, berbuah kekeliruan fatal. Tiadanya pemain jangkar di lini tengah guna mengantisipasi serangan balik ialah prakondisi kebobolan-kebobolan dengan cara konyol. Meninggalkan Sane terus memantik debat sekalipun torehan sebutir asis dalam 12 laga cukup menunjukkannya tidak masuk skema.

Kali ini, tiada istilah Turniermannschaft, tim yang performanya membaik seiring berjalannya turnamen. Sebab Jerman keburu kehilangan kelas.

Auf wiedershen!

Loew sebetulnya baru memperpanjang kontrak pada Mei dengan status pelatih timnas bergaji tertinggi sekitar 3,3 juta paun. Dengan tragedi ini, kemungkinan besar dia segera mundur atau dipecat. Pelatih Jerman terdahulu dengan pencapaian minimal babak delapan besar saja, mesti tanggal jabatan. Apalagi sebatas fase grup? Belum lagi dorongan budaya malu bagi pimpinan telodor tanggung jawab, seperti CEO Volkswagen Martin Winterkorn pasca skandal emisi gas ataupun pimpinan parpol setelah hasil buruk pada pemilu.

Apakah sekarang waktu untuk Loew pergi?. Foto: FIFA.com via Getty Images.
Apakah sekarang waktu untuk Loew pergi?. Foto: FIFA.com via Getty Images.
Kegagalan maju ke fase berikutnya untuk pertama kali setelah Piala Dunia 1938 perlu menjadi bahan introspeksi. Toh negara lain lebih dulu menelannya. Italia dan Cile tidak ada di Rusia. Belanda juga tidak masuk pandangan sejak Piala Eropa 2016. Prancis sedang bangun ulang kondusifitas setelah konflik internal pada 2010.

Inggris gagal tampil di Piala Eropa 2008, sembari ulang-ulang kisah kejayaan 1966. Argentina era Lionel Messi gagal di final Piala Dunia dan dua final Copa America. Brasil sempat terguncang hebat kala tunduk 1-7 di Maracana oleh sang juara dunia. Uruguay belum segemilang era awal Piala Dunia. Sedangkan generasi emas Belgia baru bangkit dan butuh pembuktian.

Apakah kegagalan ini membuat Jerman butuh perombakan ulang atau "Das Reboot"? Memulai lagi tata kelola sepak bola seperti saat pasukan tua mereka melapuk di Piala Eropa 2000. Tampaknya melakukan perombakan drastis seperti itu terasa radikal. Toh kualitas dan kuantitas pemain tetap melimpah, juga belum sepenuhnya habis era tulang punggung timnas Piala Dunia 2014.

Sekarang waktunya bagi mereka untuk duduk dan merendahkan hati. Rehat sejenak dari obsesi berujung cercaan arogan. Berupaya pulih dari pedihnya kekalahan. Lekas kembali bertarung tangguh nan dominan, Jerman!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun