Sudah hampir dua minggu kompetisi Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI) musim kelima di Kompas TV usai. Namun, masih ada perasaan yang mengganjal di hati saya. Sebagai penonton yang tidak menjagokan kontestan tertentu dan murni menonton untuk kesenangan, SUCI 5 begitu menghibur. Saya sempat merasa kompetisi Stand-Up Comedy Indonesia Kompas TV musim kelima adalah gelaran kompetisi yang terbaik bila dibandingkan dengan musim-musim sebelumnya. Mungkin anggapan saya memang sedikit berlebihan. Mungkin juga benar adanya.
Kualitas enam belas peserta teramat mumpuni membuat tingkat persaingan tinggi. Komika yang tampil di panggung Gedung Pertunjukan Usmar Ismail sudah matang. Hampir setiap komika punya persona kuat sebagai senjata dalam menceritakan kegelisahaan yang kemudian menjadi bahan tertawaan. Mereka memang kebanyakan bergabung dengan komunitas stand-up comedy yang mengasah talenta anggotanya berkomedi tunggal. Sekali saja menampilkan performa di bawah standar, saat itu juga komika bisa close- mic alias tersingkir.
Terasa sekali juga penilaian dewan juri yang semakin ketat dan objektif. Ridho, komika asal Medan yang tampil di panggung SUCI 5 karena juara Liga Komunitas Stand-Up Comedy Kompas TV 2014 sudah pulang di umur kompetisi yang masih dini. Sementara Dicky Diffie, yang juga lolos langsung karena kepesertaannya di Liga Komunitas, tersingkir pada show kesembilan akibat alpa soal teknik. Padahal, Dicky sebelum-sebelumnya selalu menampilkan performa maksimal yang ‘pecah’ banget.
Sering kali penonton di studio tertawa terbahak-bahak yang di akhiri dengan standing ovation. Rasanya, frekuensi soal ini lebih tinggi ketimbang yang ada pada gelaran kompetisi terdahulu. Kompetisi SUCI 5 membuat Kamis malam menjadi begitu menyenangkan dan tetap tidak hilang pada Minggu sore saat tayangan ulang.
Hingga akhirnya babak Grand Final tiba. Untuk pertama kalinya, babak final diisi tiga kontestan, yaitu Rigen, Rahmet, dan Indra. Final yang ideal menilik konsistensi mereka bertiga setiap minggu. Dalam kadar tertentu, saya melihat ketiganya berulang kali sudah menampilkan performa rasa ‘final’ bahkan sebelum tiba di sana. Rigen kelewat hebat urusan roasting atau manas-manasin objek komedi. Rahmet tergolong komika berteknik lengkap dengan membawa persona anak STM. Sementara Indra datang dengan karakter komedi orisinal, penghasil laugh per minute (LPM) tinggi, kuat dalam one-liner, dan absurd.
Setelah diselingi episode komika persahabatan dan uncensored selama dua pekan, babak final akhirnya dimainkan. Ekspektasi penikmat stand-up comedy melambung, karena dari musim pertama sampai keempat, babak ini selalu memberi tontonan terbaik. Seolah sudah menjadi tradisi kalau babak final menjadi klimaks kompetisi.
Sayangnya tidak begitu. Tiga komika menampilkan penampilan yang jauh dari harapan. Ternyata tidak saya sendiri yang merasa hal tersebut. Kompasianer Fathurrahman Helmi juga menuliskan kekecewaannnya soal Grand Final SUCI 5 lewat analisis komunikasi visual di sini. Di media sosial pun banyak yang merasa demikian, berikut beberapa di antaranya.
Rahmet seperti tidak menemukan dirinya yang biasanya. Bahkan saat penjurian di sesi pertama, Raditya Dika menangkap betul rasa grogi Rahmet. Di sesi kedua, dia sukses menuai panen tawa karena memvisualisasikan apa yang selama ini dia bicarakan. Sayang, apiknya konsep buyar begitu saja karena nafas yang terengah-engah akibat gugup. Feni Rose bahkan memberinya tips menghindari hal tersebut yang seharusnya tidak terjadi di babak final. Sementara di babak terakhir, Rahmet menutup aksinya dengan ucapan khas “Gue Rahmet, selamat malam!” yang biasanya dengan antusias karena sukses ‘meledak’, tapi kali ini tidak dengan antusiasme yang sama. Tanda ada yang salah padanya malam itu.
Sementara Indra Frimawan menghasilkan penampilan yang paling mengecewakan.
Belajar dari Indra Frimawan
Indra Frimawan mulai dikenal luas penikmat stand-up comedy ketika mewakili komunitas Stand-Up Indo Jakarta Barat di Liga Komunitas Stand-Up Comedy. Dia membawa komunitasnya menjadi finalis. Ketika itu dia sempat memiliki jumlah LPM tertinggi dengan empat puluh dua kali. Pandji yang menjadi juri mengungkapkan rasa kagumnya dengan menyebut Indra komika yang bagus karena sangat fokus dalam penulisan materi. Dia bahkan sudah mendengar reputasi Indra yang punya LPM tinggi, meski belum sekali pun menyaksikannya berkomedi.
Kemudian SUCI 5 menjadi panggung selanjutnya bagi Indra. Kali ini dia menampilkan identitasnya sebagai komedian tunggal secara utuh, bukan lagi komika yang membawa embel-embel identitas kolektif. Saya mencatat, sejak show kelima Indra menunjukkan penampilan luar biasa. Kata ‘kompor gas’, rasanya tidak cukup menggambarkan kesuksesannya mengocok perut penonton. Standing-ovation berkali-kali penonton lakukan sebagai bentuk apresiasi yang besar.
Persona Indra sebagai orang aneh yang kelampau absurd berbeda dari komika yang punya persona demikian. Dia tidak sekadar bergaya aneh dengan bit yang membuat penonton berteriak “absurd” sambil tertawa. Indra mampu mengotak-atik diksi begitu asyik. Kekayaan yang istimewa. Setiap kalimat yang dia ucapkan adalah sesuatu yang dinantikan. Sebab, lelucon macam apa lagi yang bakal dia lontarkan yang membuat logika kita diputarbalikkan? Sialnya, dia selalu sukses mengacak-acak akal sehat penonton dengan kegembiraan.
Dalam level tertentu, Indra Frimawan menjadi simbol yang mewakili orang-orang introver yang dianggap aneh, pendiam, dan tidak menarik. Lebih dari itu, dia membuktikan jika orang introver adalah penyeimbang kehidupan sosial yang eksistensinya penting. Dirinya menunjukkan jika di balik kesunyian seorang introver terdapat pemikiran-pemikiran seru yang mampu menebar tawa bagi siapa saja.
Momen Grand Final SUCI 5 mestinya tidak pernah dia lupakan sepanjang hidupnya. Performa memukau komika persahabatan ini setiap minggu mendadak hilang entah kemana. Di sesi pertama, dia masih tampil sesuai seperti biasanya meski belum menyentuh standar final. Sesi kedua jelas buruk. Dia ngeblank yang diikuti dengan kemejanya yang terjatuh. Entah di sengaja atau tidak, tapi nampaknya dia tahu itu bukan sesuatu yang pantas menuai tawa.
[caption caption="Indra Frimawan tampil kedodoran di Grand Final SUCI 5"]
Dia memilih melewati sesi pamungkas dengan kegetiran. Dia yang tampil terakhir, menutup panggung SUCI 5 dengan kepasrahan, seolah sadar dia muskil juara. Awalnya terdengar sebagai lelucon, tapi ternyata rasa getir itu semakin menjadi-jadi karena dia memang hanya melontarkan kalimat tanpa set-up dan punch line. Sesi ketiga memang menuntut kelengkapan teknik berkomedi tunggal, hal yang sulit dilakukan dengan gaya komedi yang dia punya.
“Orang selalu beranggapan gue berbeda di kompetisi ini. Iya, gue sengaja karena kalau lu enggak bisa jadi yang terbaik, jadilah yang paling beda.” Kalimat Indra Frimawan di sesi ketiga ini mengandung pesan yang kelampau dalam. Kemudian dia beranalogi kalau dalam lomba lari yang bakal diperhatikan adalah peserta tercepat dan peserta yang berlari mundur. Ini berarti secara jelas, dia memilih menjadi peserta yang berlari mundur. Dia memilih tetap menjadi unik dengan mengambil segala risiko yang ada. Saat itu juga, dia sendiri yang memastikan dirinya tidak juara.
Masih misteri mengapa performa Indra begitu menurun. Mungkin karena beban status babak Grand Final yang tidak dia prediksi hadapi. Mungkin juga terlampau lelah dengan panjangnya masa kompetisi. Mungkin juga karena terlalu disibukkan dengan hal yang tidak berhubungan dengan penulisan materi. Sebagai khalayak, kita hanya menerka-nerka. Entah di dalam hati saja atau menyalurkannya dalam debat kusir di kolom komentar di Youtube.
Terlepas dari hal tersebut, Indra Frimawan memberikan pelajaran yang penting bagi kita. Soal bagaimana kita menghargai diri sendiri untuk tidak berpura-pura hanya untuk mencapai tujuan tertentu. Dia tunjukkan lewat pilihan ‘berlari mundur’. Soal mengkhayati esensi dari apa yang kita jalani. Komedi soal membuat orang lain tertawa, merasa bahagia, menghapus kesedihan, dan bukan yang lain, kan?
Dia pun mengingatkan kita untuk sadar dengan batas kemampuan yang kita punya. Bahwa melewatinya memang bukan kemustahilan, tapi menjadi bersyukur sama sekali bukan kesalahan. Dia membuka mata kita untuk melakukan sesuatu dengan penuh kesenangan dan jangan pernah berbohong kepada diri sendiri. Dia pun mengingatkan kita tetap saja bisa gagal dalam momen penting, meski sudah menyiapkan segalanya.
Dia juga seolah memberi tahu bahwa kalah menang bukan yang utama, melainkan karya. Kita mesti menyikapi kepayahan dan kekalahan dengan cara yang paling elegan. Hidup kita masih berjalan dan ada peluang untuk bangkit. Indra Frimawan menunjukkannya lewat permohonan maaf sebagai ucapannya yang terakhir di panggung SUCI 5. Mungkin dia bisa menutup aksinya selama ini lewat lawakan yang menghasilkan ledakan tawa terbesar, tapi dia justru memilih memohon maaf karena gagal memberi penampilan maksimal. Hanya mereka yang berjiwa besar yang mau mengucapkan maaf dan dia salah satunya.
Pantas jika Raditya Dika saat penjurian terakhirnya untuk Indra memilih berterima kasih atas segala yang dia bawa ke panggung SUCI 5. Selain lelucon, Indra membawa karakter dan pelajaran yang mahal.
sumber gambar utama: twitter.com/standupkompastv
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H