Sementara Indra Frimawan menghasilkan penampilan yang paling mengecewakan.
Belajar dari Indra Frimawan
Indra Frimawan mulai dikenal luas penikmat stand-up comedy ketika mewakili komunitas Stand-Up Indo Jakarta Barat di Liga Komunitas Stand-Up Comedy. Dia membawa komunitasnya menjadi finalis. Ketika itu dia sempat memiliki jumlah LPM tertinggi dengan empat puluh dua kali. Pandji yang menjadi juri mengungkapkan rasa kagumnya dengan menyebut Indra komika yang bagus karena sangat fokus dalam penulisan materi. Dia bahkan sudah mendengar reputasi Indra yang punya LPM tinggi, meski belum sekali pun menyaksikannya berkomedi.
Kemudian SUCI 5 menjadi panggung selanjutnya bagi Indra. Kali ini dia menampilkan identitasnya sebagai komedian tunggal secara utuh, bukan lagi komika yang membawa embel-embel identitas kolektif. Saya mencatat, sejak show kelima Indra menunjukkan penampilan luar biasa. Kata ‘kompor gas’, rasanya tidak cukup menggambarkan kesuksesannya mengocok perut penonton. Standing-ovation berkali-kali penonton lakukan sebagai bentuk apresiasi yang besar.
Persona Indra sebagai orang aneh yang kelampau absurd berbeda dari komika yang punya persona demikian. Dia tidak sekadar bergaya aneh dengan bit yang membuat penonton berteriak “absurd” sambil tertawa. Indra mampu mengotak-atik diksi begitu asyik. Kekayaan yang istimewa. Setiap kalimat yang dia ucapkan adalah sesuatu yang dinantikan. Sebab, lelucon macam apa lagi yang bakal dia lontarkan yang membuat logika kita diputarbalikkan? Sialnya, dia selalu sukses mengacak-acak akal sehat penonton dengan kegembiraan.
Dalam level tertentu, Indra Frimawan menjadi simbol yang mewakili orang-orang introver yang dianggap aneh, pendiam, dan tidak menarik. Lebih dari itu, dia membuktikan jika orang introver adalah penyeimbang kehidupan sosial yang eksistensinya penting. Dirinya menunjukkan jika di balik kesunyian seorang introver terdapat pemikiran-pemikiran seru yang mampu menebar tawa bagi siapa saja.
Momen Grand Final SUCI 5 mestinya tidak pernah dia lupakan sepanjang hidupnya. Performa memukau komika persahabatan ini setiap minggu mendadak hilang entah kemana. Di sesi pertama, dia masih tampil sesuai seperti biasanya meski belum menyentuh standar final. Sesi kedua jelas buruk. Dia ngeblank yang diikuti dengan kemejanya yang terjatuh. Entah di sengaja atau tidak, tapi nampaknya dia tahu itu bukan sesuatu yang pantas menuai tawa.
[caption caption="Indra Frimawan tampil kedodoran di Grand Final SUCI 5"]
Dia memilih melewati sesi pamungkas dengan kegetiran. Dia yang tampil terakhir, menutup panggung SUCI 5 dengan kepasrahan, seolah sadar dia muskil juara. Awalnya terdengar sebagai lelucon, tapi ternyata rasa getir itu semakin menjadi-jadi karena dia memang hanya melontarkan kalimat tanpa set-up dan punch line. Sesi ketiga memang menuntut kelengkapan teknik berkomedi tunggal, hal yang sulit dilakukan dengan gaya komedi yang dia punya.
“Orang selalu beranggapan gue berbeda di kompetisi ini. Iya, gue sengaja karena kalau lu enggak bisa jadi yang terbaik, jadilah yang paling beda.” Kalimat Indra Frimawan di sesi ketiga ini mengandung pesan yang kelampau dalam. Kemudian dia beranalogi kalau dalam lomba lari yang bakal diperhatikan adalah peserta tercepat dan peserta yang berlari mundur. Ini berarti secara jelas, dia memilih menjadi peserta yang berlari mundur. Dia memilih tetap menjadi unik dengan mengambil segala risiko yang ada. Saat itu juga, dia sendiri yang memastikan dirinya tidak juara.
Masih misteri mengapa performa Indra begitu menurun. Mungkin karena beban status babak Grand Final yang tidak dia prediksi hadapi. Mungkin juga terlampau lelah dengan panjangnya masa kompetisi. Mungkin juga karena terlalu disibukkan dengan hal yang tidak berhubungan dengan penulisan materi. Sebagai khalayak, kita hanya menerka-nerka. Entah di dalam hati saja atau menyalurkannya dalam debat kusir di kolom komentar di Youtube.