Akhirnya mereka menikah dan menetap di Lombok. Awalnya mereka hidup sederhana di sana, sampai anak-anaknya remaja. Ketika pemerintah mengumumkan Lombok sebagai salah satu tujuan pariwisata internasional, mendadak harga tanah di sana melejit. Sebelum warga lain sadar, Kom Peng-tung sudah sigap merebut peluang. Dengan tabungan yang ada, ia membeli tanah di sana-sini sambil mendirikan guest house.
Kom Peng-tung bolak-balik ke Jakarta. Ia berusaha menjajakan lahan dan peluang investasi bidang pariwisata. Sambil bolak-balik Jakarta-Lombok, Kom Peng-tun cari-cari info tentang universitas buat salah seorang anaknya. Diperoleh keterangan tentang Kampus Hijau di pinggir Jakarta, yang didirikan oleh Yayasan Samudera.Buru-buru Kom Peng-tung mendaftarkan anaknya ke Kampus Hijau.
Semangatnya makin bernyala sewaktu ia ditawari kredit tanpa agunan (KTA) yang bisa digunakan buat pembiayaan anaknya selama berkuliah. Mata Kom Peng-tung langsung berbinar melihat peluang. Kebetulan anaknya tertarik buat berkuliah di pinggir Jakarta.
***
Kom Pung-an sudah tiga tahun tinggal di sekitar Kampus Hijau. Ayahnya, Kom Peng-tung, sering datang dari Lombok, membawakan masakan ayam taliwang kesukaannya. Kompeng-tung selalu berusaha menurunkan jurus-jurus kehidupan kepada putranya.
Di Kampus Hijau, Kom Pung-an yang belajar tentang ilmu komputer. Di kampus dia diajari algoritma dan logika informatika. Setiap saat ia menalar premis atau sebuah pernyataan, kemudian berselancar dengan kendaraan argumen guna mencari kebenaran dari premis dan mengupayakan konklusi atau kesimpulan.
Jika sedang berada dekat dengan Kom Pung-an, setiap saat Kom Peng-tung mengajari aplikasi falsafah hidup agar anaknya bisa cerdik seperti ular dan tulus seperti landak. “Nak, kamu harus mampu bersikap wise as snakes and innocent asprecupines. Sehingga kamu bisa mengendus, menciptakan dan memanfaatkan manfaatkan setiap peluang,” fatwa sang ayah.
***
Pelajaran kehidupan masa kecil di Pasar Pagi betul-betul dihayati dan diamalkan Kom Peng-tung dalam hidupnya. Penciumannya sangat tajam, sehingga ia selalu mampu mengendus peluang dalam setiap peristiwa yang dianggap orang lain sebagai halangan atau kesulitan. Cerdik membawa diri, pintar bicara dan mampu mengendus peluang, membawanya berkenalan dengan Datuk Musang Pebisnis dan Lord Serigala Pelatih.
Di kala Yayasan Samudera mengalami kesulitan keuangan dalam pembiayaan Kampus Hijau, hadirlah Datuk Musang Pebisnis dan Lord Serigala Pelatih. Keduanya muncul seakan dewa penolong. Musang dan Serigala merombak organisasi sumberdaya manusia di Kampus Hijau. Mereka berdua bikin aturan buat menata irama kerja para karyawan. Lalu memanipulasi agar para orangtua mahasiswa ikut berpartisipasi dalam perbaikan manajemen kampus.
“Kampus ibarat kapal yang sudah bocor dan hampir tenggelam, sehingga kita harus siapkan kapal lain,“ ujar Datuk Musang Pebisnis. Hidung Kom Peng-tung segera kembang-kempis dan penciumannya mengendus peluang besar. Dia berpikir jauh ke depan dan merancang kepemilikan kampus tanpa harus susah-payah mendirikan badan pendidikan. Pada saat yang sama, Datuk Musang berkhayal menjadi tokoh yang berkesempatan memindahkan kuncir para mahasiswa bertoga dalam prosesi wisudah sarjana. Sedang Lord Serigala melihat kesempatan besar buat menerapkan model pelatihannya. Klop sudah peluang, mimpi dan khayalan ketiga orang itu.