[caption caption="Buka bersama akhir Juni 2015 ternyata merupakan pertemuan terakhir dengan Fahmi Myala."][/caption]
Minggu 4 Oktober 2015 pagi, saya tersentak membaca pesan pendek dari nomor sahabat lama saya, Fahmi Myala, wartawan senior Kompas. Isinya: “….Saya Fadel, anaknya Pak Fahmi Myala, ayah meninggal hari Minggu 4 Oktober pk01.30…...” Saya tersentak, karena akhir Juni lalu sebelum pulang ke Makassar, Fahmi berjanji akan ke Jakarta lagi medio Agustus.
[caption caption="Info dari Fadel, putera bungsu HaJi Fahmi Myala"]
Pertemuan saya terakhir dengan Fahmi berlangsung Selasa 30 Juni 2015 petang. Waktu itu Fahmi dan istri berkunjung ke Jakarta guna menghadiri peringatan ulangtahun Harian Kompas. Saya dan Fahmi belakangan sering berkomunikasi, baik lewat pesan singkat maupun melalui telepon dan WasApps. Dalam kunjungannya ke Jakarta akhir Juni 2015, Fahmi dua kali berbuka puasa dengan saya. Saya ajak Fahmi dan sejumlah teman pensiunan Kompas berkumpul, mumpung mereka masih di Jakarta. Acara kumpul-kumpul itu gagal, karena teman-teman lain berhalangan. Akhirnya hanya saya dan Fahmi yang kluyuran. Fahmi hanya ditemani anak bungsunya yang bernama Fadel, sedang istrinya tidak ikut karena keesokan paginya mereka harus terbang pulang ke Makassar.
[caption caption="Kata Fahmi, beberapa teman tidak jadi berbuka bersama dengan kami di akhir Juni 2015."]
Sehabis makan malam di salah satu mal di Senayan, saya tawarkan kepada Fahmi dan putranya buat berkeliling melihat Ibu Kota di waktu malam. Sudah belasan tahun Fahmi tidak pernah melihat kehidupan Jakarta di waktu malam. Saya ajak mereka menelusuri Jalan Thamrin, Monas, Harmoni, Hayamwuruk, Stasiun Kota, Gadjahmada, Istana, lalu kembali ke Kalibata melalui Jalan Sudirman. Esok paginya, Fahmi dan istri pulang ke Makassar. “Wah, beda jauh. Dulu saya masih kluyuran pakai Vespa,” tutur Fahmi mengenang masa tahun 1980an.
[caption caption="Pesan Fahmi awal Juli 2015 sebelum pulang ke Makassar sehabis mengikuti perayaan HUT Kompas."]
Saya kenal Fahmi sejak awal dekade 1980-an, ketika saya masih menjadi reporter Kompas dan Fahmi berjabatan Kepala Biro Kompas di Makassar (ketika itu masih disebut Ujungpandang). Fahmi atau ‘fm’ adalah pria yang amat penyabar. Saya (dulu bernama panggil ‘ak’) kenal putra-putrinya sejak mereka masih balita, terutama si sulung Farah dan adiknya Fatah yang dulu pernah saya gendong-gendong. Awal Desember tahun 2014, Fahmi berkirim pesan singkat berkabar bahwa Fatah sedang berada di Jakarta: “Saat tinggalkan Mks ’87, ada anak sy sgt dekat dgn ‘ak’: Fatahillah, disapa Fatah……”
Dua-tiga hari kemudian saya jumpai Fatah. Bocah gendut yang dulu sangat lucu, kini telah tumbuh menjadi lelaki muda yang terampil. Kami ngobrol panjang lebar di salah satu mal di Jakarta Selatan. Selama berada di mal itu, Fatah banyak mengumpulkan informasi tentang berbagai event. Ternyata ia bekerja sebagai staf building management di salah satu mal di Makassar. Saya tahu bahwa pemilik mal itu adalah tokoh di Sulawesi Selatan yang kini jadi petinggi negara dan dulu sering jadi narasumber Fahmi. “Tapi bapak itu tidak tahu bahwa saya anak Fahmi Myala,” tutur Fatah.
Fahmi adalah orang pertama yang mengajak saya makan sop konro di pinggir lapangan karebosi pada awal dekade 1980an. Saya beberapa kali ke Makassar setelah itu. Ia juga yang mengajak saya makan ikan bakar di pinggir Pantai Losari, di kedai nelayan 'Tumbak Kayu Bangko' yang buka dari pagi sampai larut malam. Kami sering berkirim kabar satu dengan lain. Saya lakukan hal itu dengan sejumlah teman-teman lama dari Kompas. Sampai kini, setiap berkunjung ke daerah selalu saya usahakan bertemu dengan konco-konco lawas yang kebanyakan sudah pensiun.