Mohon tunggu...
Kopral Jabrik
Kopral Jabrik Mohon Tunggu... Dosen - diisi apa?

Menjadi wartawan sejak pertengahan dekade 1970an. Mulai dari reporter Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, di bawah bimbingan Hadjid Hamzah (almarhum). Sempat aktif di Gelora Mahasiswa (UGM), menulis di Majalah Q (Bandung), Majalah Psikologi Anda (Jakarta), menjadi wartawan Kompas (tahun 1980an, dibimbing oleh AM Dewabrata), redaktur pelaksana Harian Jayakarta, kepala biro Harian Suara Pembaruan (dekade 1990an), produser pemberitaan di SCTV, dosen jurnalistik dan manajemen di Universitas Sahid, Universitas Pelita Harapan dan Universitas Bhayangkara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korea Selatan dan Indonesia

13 Agustus 2015   17:19 Diperbarui: 13 Agustus 2015   17:19 2286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membandingkan Indonesia dengan Korea Selatan bisa dilakukan melalui banyak hal. Bisa dari penetrasi atau terobosan ekonomi, dilihat melalui banyaknya perusahaan Indonesia yang masuk ke Korea Selatan dan dibandeingkan dengan jumlah perusahaan Korea Selatan yang beroperasi di Indonesia. Bisa juga dari upaya belajarnya, dilihat dari banyaknya mahasiswa Indonesia peminat studi Korea dibandingkan dengan mahasiswa Korea Selatan yang meminati studi Indonesia. Atau yang paling gampang, dilihat dari pendapatan per kapita masing-masing. Ternyata pendapatan per kapita bangsa Indonesia 4.700 dolar AS per tahun (2014) dan pendapatan per kapita Korea Selatan sekitar 30.000 dolar AS (2014).

Memang Indonesia dan Korea Selatan merdeka hanya berselisih dua hari. Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, sedang Korea merdeka pada tanggal 15 Agustus 1945. Korea (Selatan) yang dulu lebih miskin dari Indonesia, sekarang menempati papan atas sebagai negara maju. Banyak buktinya, di Jakarta saja ada sejumlah jejak keberhasilan bisnis pengusaha Korea. Setidaknya, berbagai gerai Lotte yang menggantikan Makro, membuktikan keperkasaan ekonomi negeri semenanjung itu dibandingkan dengan negeri kepulauan kita.

Kita bisa lihat betapa Bangsa Korea tidak merayakan peringatan kemerdekaan seperti kita memperingati 17 Agustus di Indonesia. Mereka cuma mengibarkan bendera, tanpa umbul-umbul, spanduk, maupun lomba-lomba yang meriah. Tapi orang Korea sangat cinta negaranya. Mereka memasang bendera negaranya. "Siapa pun presidennya, negaraku tetap Korea," kira-kira begitu semboyan orang Korea.

Perang Saudara

Setelah kemerdekaan dari Jepang, dalam dekade 1950-an Korea melewati fase perang saudara sehingga pecah menjadi Korea Utara (yang berkiblat ke Soviet atau Rusia dan Tiongkok) dan Korea Selatan (yang berkiblat pada Amerika Serikat). Sampai tahun 2015 ini, upaya reunifikasi kedua Korea itu masih belum sepenuhnya berhasil.

Sewaktu memulai pembangunannya, masyarakat Korea amat miskin sehingga mereka harus bekerja keras. Bahkan sempat dikisahkan betapa kaum wanita Korea memanjangkan rambut agar potongan rambut tersebut bisa dijual. Hasil kerja keras masyarakat Korea Selatan sejak dulu, kini sudah terbukti.

Presiden Korea saat itu, Park Chung-he, berpesan: “Let’s work harder and harder. Let’s work much harder not to make our sons and daughters sold to foreign countries.” (Mari kita bekerja lebih keras dan lebih keras. Mari kita bekerja lebih keras untuk tidak membuat anak2 kita dijual ke luar negeri)

Dia juga menekankan: “We promise that we will hand over a good country to our sons and daughters, we will give you the country worthy to be proud as well.” ("Kita berjanji bahwa kita akan menyerahkan sebuah negara yang baik untuk putra dan putri kita, kita akan memberikan negara yg layak untuk dibanggakan.")

Konsep Maslow

Sebetulnya Indonesia di awal kepemimpinan Presiden Soeharto banyak meniru Korea Selatan dalam membangun negara ini. Pemerintahan Orde Baru di Indonesia dan pemerintahan Park Chung-he di Korsel sama-sama rejim militer, yang mementingkan pembangunan ekonomi daripada pengembangan politik dan sosial.

Indonesia juga mendasarkan pembangunan jangka panjang maupun Pelita (pembangunan lima tahun) pada teori Maslow, seperti ketika Park Chung-he mulai meletakkan dasar-dasar pembangunan ekonomi Korea Selatan seusai perang saudara di sana. Sayangnya di tengah perjalanan, kita di Indonesia rada mlenceng dan banyak pejabat kita yang memperkaya diri.

Pendidikan di Indonesia boleh dibilang karut-marut dan selalu berubah-ubah konsepnya. Dari pola pendidikan yang berkiblat ke Eropa, tahun 1970an beralih menjadi sistem pendidikan yang kompatibel dengan pola pendidikan di Amerika. Selain itu, pendidikan di Indonesia dibebani berbagai titipan program pemerintah. Para siswa dan mahasiswa harus belajar belajar tentang Pancasila, kewiraan, pendidikan agama, kewirausahaan, sampai soal koperasi dan ekonomi syariah.

Celakanya, semua kesimpangsiuran itu, selama beberapa dekade belakangan ini, diimbuhi dengan abu-abunya implementasi dan penegakan hukum. Terapan hukum selama sektiar 40 tahun menjadi wilayah sangat abu-abu yang dijadikan ajang cari duit oleh (hampir semua) penguasa. Mulai dari perizinan sampai peradilan dan eksekusi hukum, semua bisa dipasangi bandrol yang tidak ada kalibrasi atau ukurannya.

Korupsi

Di Korea Selatan, banyak mantan presiden masuk penjara gara-gara terbukti korupsi, apalagi para menterinya. Mantan Presiden Chun Do-hwan (pensiunan jenderal), misalnya, masuk penjara sewaktu Presiden Roh Tae-woo berkuasa. Padahal, Roh Tae-woo juga pensiunan jenderal yang menjadi presiden karena dukungan Chun Do-hwan.

Di Indonesia, katanya korupsi diberantas. Sejak zaman Ismail Saleh menjadi Jaksa Agung, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi berkiprah saat ini, sudah banyak pembabatan korupsi secara ‘tebang-pilih’. Nyatanya, sampai pertengahan Agustus 2015 ini, masyarakat yang ambil SIM masih harus pakai calo walau sudah ada Dirlantas Polri yang dipidana karena terbukti korupsi. Tidak bakal ada efek jera terhadap pelaksanaan korupsi, wong koruptor tetap bisa hidup nyaman di dalam lembaga pemasyarakatan. Semua penegak hukum maupun para anggota parlemen juga tahu soal itu, tapi tidak pernah ada perubahan.

Anyway, di Indonesia kita memajang foto presiden dan wakilnya di kantor-kantor pemerintahan maupun kantor-kantor pendidikan. Sedang masyarakat Korea tidak memajang foto kepala negaranya, mereka hanya menyanyikan lagu kebangsaan sebelum film-film di bioskop diputar.

Kapan kita bisa maju seperti Korea Selatan? Mungkin kita bisa seperti mereka kalau para pejabat tidak lagi bertindak sebagai penguasa, penegakan hukum bisa hitam-putih, pendidikan mengutamakan riset dan keilmuan, serta ada niat bersama secara nasional buat memperbaiki negara dan bangsa ini.

Dan politik bukan sekadar piranti buat memolitiki teman, melainkan buat pembangunan Indonesia.
Merdeka!

ak-bintaro-150813

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun