Saya,
Aku tiba di stasiun poncol ketika petang telah menyelimuti langit kota Semarang dengan bulan purnama menerangi sepenjuru angkasa. Hari ini bukan weekend maupun masa liburan, tapi area stasiun nampak padat dengan orang yang lalu lalang di sekitar peron stasiun. Sebuah taksi yang mengantarku dari rumah di daerah ngaliyan berhenti di drop off area. Supir taksi dengan kumis tebal dan topi bertuliskan agen miliknya duduk di kursi supir membalikkan badan seraya mengatakan bahwa kami sudah tiba. Aku yang sedang asyik bermain telepon seluler tak menggubrisnya. Supir taksi mencoba mendapatkan perhatianku untuk kedua kalinya dengan nada sedikit lebih keras. Aku terperanjat dan meminta maaf karena tidak sengaja menghiraukan si supir. Supir taksi mengangguk dan tersenyum maklum. Setelah memberikan upah kepada si supir, aku melangkahkan kakiku keluar mobil seraya menggendong tas ranselku yang bermuatkan perlengkapanku untuk pergi mendatangi sebuah acara di bandung. Sebelum memasuki peron khusus penumpang, aku pergi membeli camilan dan segelas cappucino di minimarket stasiun.
Satu jam setengah ke depan kereta yang kutumpangi baru akan tiba. Tapi memang aku lebih memilih menunggu lama daripada terlambat barang sedetik. Karena dengan terlambat, bukan hanya uang yang terbuang untuk membeli tiket kereta selanjutnya, tapi ada waktu yang terbuang untuk menunggu. Toh kalau ada kereta lagi, kalau tidak? Dengan menunggu, hanya waktu yang
terbuang, itupun bisa kita isi dengan mendengar musik atau membaca buku, atau aktifitas yang lebih bermanfaat lainnya.
Setelah menemukan kursi untuk duduk, aku membuka ponselku untuk membaca buku Garis Waktu karya Bung Fiersa versi digital. Aku larut dalam berbait -- bait tulisan si penulis. Tulisan didalamnya bukan berupa cerita layaknya novel, tapi sebuah puisi -- puisi yang ditulis dalam tempo hari yang kemudian di rangkum selang beberapa tahun berlalu.
Braakk
Kursi tempatku bergoyang, menumpahkan cappucino yang kuletakan di sebelah tempatku duduk. Kukira gempa sedang melanda, ternyata ada seorang wanita yang tampaknya seumuran denganku dengan rambut panjang dan kulit putih nya yang kemerahan seperti turis asing, tapi mata, hidung, dan bibirnya yang samar - samar tertutup rambut panjangnya masih menyiratkan bahwa dia seorang pribumi, meski bukan dari tanah jawa.
"Aduuh, maaf ya, ga sengaja" Ucapnya dengan nada meminta maaf. Diambilnya beberapa helai tisu dan berusaha untuk menghilangkan bercak kopi di kursi sebelahku. Entah mengapa, suaranya terdengar familier di telingaku, seperti suara sesosok yang tertinggal di masa lalu. Aku yang awalnya terdiam, terperanjat dan berusaha memindahkan tas ranselku yang tadi kuletakan di bawah kursi tempatku duduk menuju kursi di depan yang terbebas dari tumpahan kopi.
"Udah gausah, biar CS-nya aja yang beresin" Aku mencengkram tangannya dengan perlahan, menariknya dari lantai yang sedari tadi dia bersihkan. Dia memandangku, wajahnya yang tadi nampak samar karena tertutup rambut kini terlihat jelas. Mata kami saling bertemu, membuat waktu serasa membeku tak berlalu. Jagatku berhenti sejenak, hanya ada aku dan dia. Pikiranku lalu - lalang mengumpulkan puing -- puing secarik kertas kenangan yang telah kurobek dan telah kubuang entah kemana. Tangan nya yang berada dalam genggamanku, tak jua terlepas, kendati genggamanku telah jauh melemah.
"Adista?" Ucapku memastikan bahwa dia benar adalah seseorang yang kupikirkan.
"Iya? Sia.. Astaga! Wira?" Balasnya dengan riang.
"Kok kamu ada di Semarang?" Tanyaku keheranan. Wajahnya menimbulkan kesan kebingungan "Kan dari dulu aku memang di Semarang, kamu tuh yang anak Bandung ngapain disini?". Ingatanku tentangnya belum pulih betul saat itu, sampai -- sampai aku lupa dia memang tinggal di kota ini sejak lama.
"Aku mendapat pekerjaan di sini, di pembangkit tanjung emas sana, sekitar setahun yang lalu" Tukasku dengan melepaskan genggaman tanganku darinya.
"Wih keren banget"
"Dibandingkan sama dokter kayak kamu ga ada apa -- apanya kali" Ucapku dengan mengangkat tangan untuk
memanggil seorang cleaning service yang sedang membersihkan lantai di seberang ruangan. Umurnya dua kali lebih tua dariku. Baju biru yang dikenakan sangat lusuh karena sudah digunakan sepanjang hari lamanya. Di sekeliling lingkar pinggangnya tergantung berbagai macam alat kebersihan. Tangannya yang tak lagi kuat menggenggam sebuah sapu sebagai alat dia bekerja. Dia menangkap panggilanku dan lekas berjalan menuju ke tempat duduk yang bercecer tumpahan kopi. Wajahnya terlihat mangut dibarengi dengusan nafas yang tak enak didengar saat melihat ke arah lantai yang kotor. "Maaf ya pak" Kataku berusaha untuk sopan.
"Pindah kesana yuk dhis" Jemariku menunjuk sebuah bangku kosong yang terletak empat meter dari tempat kami sekarang. Adhista mengangguk dan berjalan di belakangku.
Aku kembali ke tempat kami tadi duduk. Mulai membuka telepon genggam dan kembali tenggelam dalam bait -- bait yang termaktub dalam buku garis waktu. Di bawah tas ransel miliku, ada sebuah buku kecil bersampul warna merah jambu. Aku mengambil dan membukanya untuk mencari tahu kepada siapa buku mungil itu DIMILIKI. Pada lembar pertamanya tertulis 'Adhisti'. Kubuka lembaran demi lembaran buku itu setelah beberapa detik pikiran berperang antara penasaran dan blabla. Sebagian besar buku menceritakan tentang ke hidupanmu di kampus, betapa kau berusaha untuk lulus dengan nilau
terbaik hanya untuk membanggakan kedua orang tuamu. Pandanganku seolah tak percaya dengan apa yang dilihat oleh mataku, pada beberapa halaman menjelang akhri buku catatanmu tertulis namaku. Bukan satu, mungkin belasan atau puluhan, entahlah aku tak meghitungnya.
Kamu,
Semesta selalu hadirkan yang tak terduga di sela -- sela kehidupan kita, layaknya pertemuan kita di awal kisah lalu yang mana ku tak menduga bahwa kepada hatimulah hatiku memilih untuk jatuh. Di lain waktu, semesta mengatur segalanya menuju pertemuan itu, pertemuan singkat yang memaksaku untuk membuka kembali kenangan di masa lalu. Saat mataku menangkap ragamu, hatiku berontak untuk saling bertukar sapa. Pikiran berusaha mencegah supaya luka tak kembali menganga. Langkah kaki memilih berpihak pada hati, mendekatkan jarak antara kau yang duduk di sebuah kursi tunggu dan aku yang kini berdiri disampingmu. Aku tak pandai melempar sapa, dalam benakku juga timbul pertanyaan apakah kau masih mengingatku?
Ah sudahlah, rindu tak pernah tahu malu. Tunggu, memangnya aku rindu?
Dengan sengaja aku menabrakan kaki ke kursi tempatmu duduk. Segelas cappucino yang bertengger di sebelahmu tumpah ruah di permukaan lantai. Kau terperanjak kaget, dalam hati, aku bahagia bisa melihat tingkah lakumu yang lugu seperti dulu. Aku berusaha menyembunyikan wajah di balik rambut panjangku seraya membersihkan lantai dengan secarik tisu. Kau mencengkeram tanganku, dan detik itu pula mata kita saling tertuju. Betapa aku lupa bahwa kau memiliki mata cokelat yang berkilau ketika diterpa seberkas cahaya putih. Namun, pandanganmu tak sama seperti dulu, ada sesuatu bagian yang hilang dari
jiwamu. Secercah harapan yang selalu direfleksikan oleh tatap matamu kian memudar, meninggalkan tatapan kosong yang tak memiliki rasa. Genggaman tanganmu masih sama seperti sedia kala, saat setiap malam tanganku terjatuh di telapak tanganmu. Aku harap pegangan tanganmu tak pernah kau lepaskan seperti saat yang terjadi di hari itu.
"Adista?" Ucapmu dengan heran. Suaramu terdengar merdu layaknya kidung lama yang telah lama tak mengetuk telingaku. Syukurlah kau ingat padaku.
Jantungku berdebar kencang saat itu, tak menahu harus berkata apa, tapi aku memilih untuk ikut berlagak kaget dalam melengkapi skenario yang telah dimulai. Kita berbincang perihal kehidupan kita masing -- masing setelah persimpangan yang memisahkan jalanan kita.
Semenjak kau memblokir akun instagram milikku dua tahun silam, aku tak tahu bagaimana jalan yang kau lalui. Tak disangka kita berada di bawah satu atap kota yang sama tanpa sekalipun bertukar sapa dalam satu tahun terakhir. Kau yang selama ini merajut jalan hidupmu di kota Bandung dan aku yang terus terbelenggu di kota yang sama semenjak kecil, ditakdirkan untuk bertemu kembali di bawah langit kota yang sama saat Tuhan menyatukan hati kita sebelumnya. Aku tak begitu mengerti akan maksud Tuhan kali ini, benarkah untuk memberiku kesempatan untuk mengulang ataukah hanya mengingatkan kembali akan pelajaran yang pernah aku dapatkan.
"Eh, emangnya kamu mau kemana?" Tanyamu penasaran. Aku menjawab dengan menunjukan selembar tiket dari kantung jaketku. "Oh, mau ke Jakarta ya, bentar lagi keretamu datang tuh"
Astaga!
Sebentar lagi kereta akan sampai, dengan kata lain, pertemuan ini akan segera berakhir, Oh Tuhan, bisakah kau membuat kereta itu terlambat barang sedikit saja? Apapun caranya aku tak peduli. Aku hanya ingin melewati detik -- detik yang lebih panjang dengan dirinya.
"Oh iya, berarti kamu di Semarang sepanjang tahun dong" Ujarku memastikan.
"Tidak juga, bisa saja aku sewaktu -- waktu dipindahtugaskan keluar kota, toh aku masih karyawan baru" Jawabnya dengan aku yang mengangguk menimpali
"Kalau kamu? Sampai kapan di Semarang terus? Ga bosen?" Lanjutmu
Tentu aku bosan hidup di kota ini tahun demi tahun, tapi apalah daya, aku tak bisa memilih kemana aku akan pergi.
"Sesekali pasti bosan, kadang jalan keluar kota saja cukup, tapi aku yakin setelah masa dokter mudaku selesai, aku mau merantau ke kota lain, Jogja contohnya"
Kau tertawa, menampakan gigi yang kuingat dulunya putih bersih, sekarang memudar berganti rona kuning, menandakan dirimu adalah seorang perokok atau jika
tidak, hanya sekedar pecandu kopi hitam. Tapi tentang tawamu, tak ada satupun yang berubah, bahkan lesung pipi di sudut kanan bibirmu.
"Masa cuman ke jogja sih, kurang jauh kali" Ucapmu meledekku.
"Ya bukan soal jarak, tapi jogja selalu punya suasana yang ramah dan menurutku cocok untuk dokter sepertiku"
"Semarang juga sekarang bagus kok, sebentar lagi bakal nyusul jogja"
"Ga ah, Semarang terlalu banyak menyakiti" Kata -- kata keluar begitu saja dari mulutku entah bagaimana. Betapa kuingin menarik kembali kalimat yang telah terucap itu. Wajahmu keheranan mendengar perkataanku barusan. Aku terdiam kecuriaan kata.
"Kota ga pernah menyakiti kamu, orang -- orangnya lah yang menyakiti kamu" Ucapmu yang berusaha menghiburku. Aku hanya tersenyum.
Waktu memang berengsek, saat kita sedang melalui saat -- saat berduka, ia berlalu begitu lambat. Saat kita sedang diambang bahagia, ia terlewar sangat cepat. Pantas saja Einstein berteori kalau waktu itu relatif.
Sebuah pemberitahuan bergema di sepenjuru peron stasiun. Kereta yang akan kutumpangi akan tiba. Kau berdiri dengan mengangkat koper milikku kemudian memanggil seorang tukang panggul untuk membawakannya ke dalam kereta untukku "Itu keretamu
kan? Lekaslah masuk agar tidak berdesakan nantinya" Senyum seketika terhapus dari garis bibirku. Kau mulai berjalan di depanku menuntun menuju tempat boarding.
"Hati -- hati di jalan ya, sukses selalu untuk kedepannya" Ucapmu dengan mengacak -- acak rambutku. Aku melemparkan ekspresi cemberut. "Eh ga boleh ya? Maaf" Kau melepaskan tanganmu dari helai rambutku. Padahal maksudku bukan tidak boleh, tapi aku berusaha menyiratkan bahwa aku tak ingin berpisah denganmu untuk saat ini. "Iya, kamu juga hati -- hati di jalan".
Aku berjalan memasuki rangkaian gerbong kereta. Mengintipmu dari ruas -- ruas jendela kereta. Kau berdiri tegak dengan sedikit memincingkan mata entah mencariku atau apa. Tanganku melambai berusaha menunjukan posisiku saat itu. Kau ikut melambaikan tanganmu setelah matamu akhirnya menangkap lambaian tanganku. Senyum yang terlukis di wajahmu saat itu, aku yakin tak akan terhapus dari ingatanku berbulan -- bulan kedepan.
Di luar jendela terhampar banyak pematang sawah, barisan bukit nan tinggi, dan hamparan luas laut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H