Mohon tunggu...
Ony Jamhari
Ony Jamhari Mohon Tunggu... profesional -

Ony Jamhari adalah Entrepreneur, Travel Writer, and Educator FB Page: Travel with Ony Jamhari Instagram and Twitter: @ojamhari or @alsjuice

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Upaya Memersatukan Bangsa ala Pertamina

25 Agustus 2017   20:27 Diperbarui: 7 November 2017   14:19 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan panjang Jakarta -- Surabaya -- Makassar -- Timika -- Tembagapura selama kurang lebih 10 jam dengan moda transportasi udara dan darat pada tahun 2002 adalah perjalanan panjang pertama saya di Indonesia. Lamanya perjalanan kali ini sama seperti saya harus menjalani seleksi masuk kerja di perusahaan tambang ini. Usaha dan "energi" yang sudah saya kerahkan rasanya terbayar sudah. Bekerja di sebuah perusahaan multi nasional/international adalah dambaan anak muda pada kala itu termasuk saya. Lepas dari ini semua, Saya dapat merasakan dan membuktikan sendiri bahwa wilayah Indonesia begitu luas.

Motivasi bekerja di perusahaan multi nasional muncul pertama kali ketika kakek dan nenek saya yang selalu bercerita tentang keberhasilan paman saya yang bekerja di perusahaan yang bernama Pertamina. Contohlah Paman kamu yang bekerja di Pertamina, "Hidupnya terjamin".Bagi mereka Pertamina menjadi simbol "kesuksesan" seseorang. Namun demikian apakah Pertamina hanya menjadi sebuah simbol "kesuksesan" seseorang? Rasanya terlalu sempit dan tidak adil jika kita melihat Pertamina dari sisi itu saja.

Waktu begitu cepat berlalu dan sudah lima belas tahun ini saya tidak bekerja dan tinggal di Papua. Kalaupun saya pergi ke Papua itu karena untuk pekerjaan atau karena traveling. Namun demikian banyak hal yang selalu menganjal di hati saya. Dari dulu dan bahkan sampai sekarang jika saya berpergian ke luar pulau selain Jawa bukan sekali atau dua kali teman-teman mengeluh dan membandingkan saya yang berasal dari Jawa dengan mereka. Masyarakat di Jawa ini sangat beruntung dibandingkan dengan kami yang berasal dari daerah khususnya Papua. Akses kami dalam segala hal sangat terbatas dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di pulau Jawa.

Hal ini mengakibatkan kami sedikit tidak well-informed dan kurang "maju" dibandingkan dengan penduduk Jawa. Akibatnya dalam segala hal kita selalu kalah dengan mereka. Kamu juga dapat melihat banyak ketidakadilan di sini. Harga-harga barang sangat mahal dan bahkan harga BBM juga berbeda sekali. Coba bandingkan harga premium di Kecamatan Ilaga, Papua harga per liter mencapai Rp 50.000 -- 100.000 atau harga solar di Kecamatan Anggi, Papua Barat, yang harganya mencapai Rp 15.000 -- 30.000. Memang itulah kenyataannya bahwa masih banyak ketimpangan dan ketidakadilan yang dapat kita lihat dan rasakan di negeri ini.

Ketika mendengar dan melihat itu semua hati saya sebenarnya sangat "sedih". Namun demikian saya tidak bisa berbuat banyak selain meyakinkan mereka bahwa ada saat di mana nanti masyarakat di luar pulau Jawa akan merasakan hal yang sama dengan masyarakat di Pulau Jawa.

Sayapun selalu menyemangati mereka untuk selalu berpikir positip bahwa semuanya perlu proses. Kita tidak dapat membandingkan Indonesia dengan negara maju lainnya seperti Singapura atau Korea. Wilayah Indonesia yang sangat luar dengan berlatar belakang suku yang berbeda menjadi tantangan tersendiri bagi siapa yang memimpin negara ini.

Sebenarnya masih banyak masyarakat yang hanya bisa menyalahkan pemerintah tanpa mengetahui alasan mengapa harga BBM di Papua sebelumnya berbeda dengan harga BBM di Pulau Jawa. Hal itu tidak lepas dari jaringan distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia yang tergolong rumit.

Negara Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dan terbentang dari Sabang sampai Merauke menjadikan arus distribusi menjadi panjang dan merupakan tantangan tersendiri bagi Pertamina, sebagai penyalur BBM. Moda transportasi untuk mendistribusikan BBM ke Papua mengabungkan moda transportasi darat, laut dan udara. Hal inilah yang mengakibatkan harga minyak di Papua menjadi mahal.

Sumber: banjarmasin.tribunnews.com
Sumber: banjarmasin.tribunnews.com
Angin segar muncul ketika pada akhir tahun lalu (2016) pemerintah mencanangkan untuk membuat sebuah kebijakan BBM satu harga yang akhirnya terealisasi tahun ini dan diundang-undangkan lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan Secara Nasional. Pemerintah pun menugaskan Pertamina untuk menjadi lembaga penyalur di 148 kabupaten/kota hingga 2019 untuk menyukseskan program BBM Satu Harga.

Secara hitungan bisnis rasanya memang tidak masuk akal jika harga BBM dapat sama. Namun demikian ini bukan menjadi alasan bahwa Pertamina tidak dapat menjalankan program pemerintah ini. Berbagai usaha terus dilakukan Pertamina untuk mendistribusikan energi ke pelosok negeri melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas sarana sekaligus fasilitas. Hal ini tentunya sejalan dengan program besar di Pertamina yang ingin menjadikan perusahaan energi nasional dengan menjalankan bisnis minyak dan gas bumi (migas) yang terintegrasi dari hulu sampai hilir.

Berdasarkan data dari Pertamina (www.pertamina.com), saat ini Pertamina mempunyai prasarana penunjang meliputi 6.454 SPBU, 2.856 mobil tangki (sampai 2016), 227 kapal tanker (sewa dan milik sendiri), 116 terminal BBM, 66 depot pengisian pesawat udara (DPPU), serta 6 unit kilang yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Pertamina juga melakukan efisiensi dan efektivitas sarana sekaligus fasilitas. Mulai dari darat, laut, hingga udara upaya optimal terus dikembangkan demi Indonesia. Di sini Saya melihat bahwa Pertamina secara serius ingin menjadi perusahaan yang profesional.

Lewat program ini saya juga dapat melihat bahwa Pertamina mempunyai peran tidak saja untuk menyalurkan energi ke pelosok negeri tetapi juga menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia. Masyarakat luar Jawa yang sering kali mempunyai prasangka yang mungkin kurang baik lama kelamaan akan memahami bahwa saat ini semua elemen dari tingkat pemerintah sampai masyarakat ingin melihat dan merasakan bahwa semua program pemerintah harus bisa mensejahterahkan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Konsep seperti ini harusnya benar-benar dipahami oleh semua yang punya kepentingan. Jargon Energi Berkeadilan yang sering kita dengar harusnya benar-benar dapat dilaksanakan dari tingkat atas sampai bawah. Memang rasanya terlambat bahwa kita baru melaksanakan program ini saat ini. Namun demikian, It's better late than never.

Ke depannya Pertamina diharapkan dapat terus berinovasi supaya keberlanjutan energi terutama minyak dan gas terjaga. Bagi masyarakat juga diminta untuk lebih dapat memanfaatkan energi dengan lebih efisien. Keadilan Energi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah maupun Pertamina tetapi juga kita sebagai pengguna energi tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun