Mohon tunggu...
Ony Jamhari
Ony Jamhari Mohon Tunggu... profesional -

Ony Jamhari adalah Entrepreneur, Travel Writer, and Educator FB Page: Travel with Ony Jamhari Instagram and Twitter: @ojamhari or @alsjuice

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kedamaian di Kota Yangon, Myanmar

26 Februari 2015   14:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:29 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan singkat ke Yangon, Myanmar pada tanggal 6-11 Januari 2015 menyisakan beberapa kenangan dan harapan. Sebelum berangkat ke Yangon, saya sempatkan membaca beberapa literatur mengenai kota ini serta diskusi dengan kembaran saya yang sudah pernah berkunjung di sini pada tahun 2012. Mulai tahun lalu warga Indonesia tidak perlu mengurus visa jika pergi ke Myanmar untuk jangka waktu 14 hari. Kunjungan ke Myanmar merupakan bagian dari proses penjajakan kerja sama antara universitas tempat saya bekerja dengan universitas dan sekolah di Myanmar.

[caption id="attachment_399536" align="aligncenter" width="518" caption="Shewdagon Pagoda, Myanmar"][/caption]

Pesawat Asiana OZ 769 mendarat mulus di Yangon International Airport tepat tengah malam pada hari Kamis 7 Januari 2015. Udara kala itu mencapai 22 derajat celcius, sangat berbeda dengan udara di Korea Selatan yang mencapai -5 derajat ketika saya berangkat dari bandara Incheon International Airport. Saya dan satu orang rekan kerja saya yang berasal dari Jepang segera mengganti baju tebal kami dengan baju biasa.

Mr. Mo yang mengatur program kami selama di Myanmar sudah siap di depan pintu kedatangan. Sebuah mobil Toyota Alphard menghampiri kami. Kami sedikit tertegun melihat ini. Saya kemudian bertanya kepada Mr. Mo tentang harga mobil dan bensin di sini. Menurutnya harga mobil tidaklah terlalu mahal karena banyak mobil di sini adalah mobil bekas yang berasal dari Jepang dan Singapura. Namun demikian untuk bensin lumayan mahal untuk standar hidup orang Myanmar.

Mr. Mo sendiri adalah orang Korea. Beliau menikah dengan orang Myanmar. Sesudah pensiun dari pekerjaan beliau di Korea Selatan, Mr. Mo pindah dan menetap di Myanmar. Beliau mendirikan usaha bisnis berkaitan dengan investasi luar negeri ke Myanmar. Perusahaan-perusahaan konsultan seperti ini sekarang sedang berkembang pesat di sini. Sesudah sampai di hotel, kami kemudian beristirahat untuk memulai aktifitas kami keesokan hari.

Kota Yangon yang Indah

Pagi harinya kami mulai kegiatan kami di kota Yangon. Ada pemandangan lain yang dapat saya rasakan dan lihat di kota Yangon. Kota ini sangat hijau, rapi, bersih, dan teratur. Saya baru sadar bahwa di kota Yangon tidak ada motor. Masyarakat menggunakan kereta api, taksi, dan bus sebagai alat transportasi. Pemandangan yang paling umum adalah bis-bis selalu terisi penuh oleh penumpang. Motor-motor hanya ada di luar atau pinggiran kota.

Kota Yangon sendiri adalah kota terbesar di Myanmar dan pernah menjadi ibu kota Myanmar sebelum dipindahkan ke Naypyidaw yang berjarak 320 km dari Yangonpada tahun 2006. Penduduknya mencapai kurang lebih 8 juta dari total 50 juta penduduk. Kebanyakan mereka bekerja di sektor informal. Namun demikian dalam dua tahun terakhir kota ini berkembang dengan pesat. Kota Yangon menjadi pusat bisnis di Myanmar.

[caption id="attachment_399537" align="aligncenter" width="525" caption="Transportasi Umum di kota Yangon "]

1424910931335523935
1424910931335523935
[/caption]

Mr. Mo menjelaskan bahwa setelah Myanmar dibuka dalam dua tahun ini banyak negara asing yang berinvestasi ke sini. Jepang, China, Thailand, dan Korea adalah negara-negara dengan investasi yang sangat besar. Karena ekonomi yang tumbuh, harga properti menjadi sangat mahal di sini. Jangan heran jika harga tanah atau rumah di pusat kota Yangon bisa lebih mahal dari pada di Paris atau New York saat ini.

Bangunan-bangunan tinggi termasuk hotel-hotel juga mulai menjamur di sini. Tahun lalu jumlah turis yang datang mencapai 3 juta. Jumlah kamar di hotel tidak mencukupi. Saat ini hotel-hotel memasang tarif yang cukup tinggi karena kurangnya jumlah kamar. Hotel-hotel berbintang mematok tarif lebih dari USD 150 per malam. Rekan saya yang kebetulan dua tahun lalu pergi ke sini mengatakan bahwa harga menginap di hotel yang sama naik 100%.

Setelah negara ini membuka diri memang banyak sekali turis yang datang ke sini. Potensi pariwisata di sini juga sangat menjanjikan. Selain Yangon, tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh wisatawan adalah Bagan dan Mandalay. Jumlah wisatawan juga diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dimana perdagangan bebas akan dimulai di negara ASEAN.

Di hari pertama jadwal kami sangat padat karena kami  harus berkunjung ke beberapa universitas seperti Yangon Institute of Economics, Yangon Technological University, dan Yangon University of Foreign Languages. Universitas-universitas ini adalah universitas terbaik di negara ini. Ada kurang lebih 166 perguruan tinggi dan semuanya di bawah pemerintah. Uang belajar di universitas disubsidi oleh pemerintah dan mereka hanya perlu membayar kurang lebih US 20 dolar per tahun.

[caption id="attachment_399538" align="aligncenter" width="525" caption="Kunjungan ke kota Myanmar "]

14249109851395993591
14249109851395993591
[/caption]

Di Myanmar saat ini masih menggunakan K-10 (10 tahun belajar di sekolah tinggal dasar dan menengah). Kemudian mereka melanjutkan keHigher Education Diploma(dua tahun)dan ke universitas. Perlu waktu enam tahun untuk belajar di tingkat sarjana. Peraturan ini akan berubah mulai tahun ini dan diperkirakan akan ada banyak sekolah swasta baru di sini tahun ini. Saat ini ada beberapa universitas swasta tetapi mereka tidak diakreditasi oleh pemerintah Myanmar.

[caption id="attachment_399543" align="aligncenter" width="560" caption="Kota Yangon "]

1424911265836412695
1424911265836412695
[/caption]

Kampus-kampus di Myanmar juga sangat indah. Bangunan-bangunan tua peninggalan dari Inggris berdiri kokoh di sini. Myanmar sendiri pernah dijajah oleh Inggris kurang lebih 100 tahun dan merdeka pada tahun 1948. Tidaklah mengherankan bahwa sistem pendidikan yang dipakai di sini adalah sistem pendidikan Inggris. Di hari pertama saya lebih banyak belajar mengenai sistem pendidikan di Myanmar dan mengenal lebih dalam tentang kota Yangon.

Ada yang menarik ketika kami berkunjung di beberapa universitas di sini. Semua pejabat memakai sarung dan sandal (bukan sandal jepit) ketika menyambut kami. Sarung dan sandal ternyata merupakan bagian dari tata cara berpakaian orang Myanmar baik dalam kegiatan resmi maupun tidak resmi. Sarung-sarung ini juga berwarna-warni. Hanya saja kalau diperhatikan warnanya lebih kalem dan tidak mencolok. Selain itu dalam setiap kunjungan mereka selalu menyajikan satu cangkir teh, kopi, dan roti manis.

Hari kedua kami sempatkan pergi ke beberapa sekolah internasional di sini. Sekolah internasional dimiliki oleh beberapa pengusaha lokal. Murid yang belajar di sana kebanyakan adalah anak warga negara asing yang bekerja di sini. Warga negara asing biasanya bekerja di lembaga atau badan internasional. Sedangkan bisnis di sini lebih dikuasai oleh pebisnis dari Asia seperti Jepang, China, dan Korea. Sesudah selesai acara kunjungan ke sekolah kami berkunjung ke Shwedagon Pagoda.

The Golden “Shwedagon” Pagoda

Banyak orang mengatakan bahwa Myanmar adalah negeri seribu Pagoda. Di mana-mana kita akan mudah menjumpai Pagoda. Bahkan karena saking banyaknya beberapa orang mengatakan bahwa tidak boleh diijinkan lagi membangun Pagoda di Myanmar. Kebanyakan orang Myanmar beragama Budha. Namun demikian ada juga yang beragama lain seperti muslim. Umumnya mereka berada di bagian utara perbatasan dengan India.

[caption id="attachment_399541" align="aligncenter" width="518" caption="Shewdagon Pagoda "]

1424911148662324043
1424911148662324043
[/caption]

Salah satu Pagoda yang menjadi icon negara ini adalah Shwedagon Pagoda. Pagoda yang memiliki tinggi kurang lebih 99 meter ini berlokasi di bukit Singuttara. Orang asing yang masuk perlu membayar 8,000 Kyats atau sekitar USD 8. Para pengunjung tidak diperkenankan untuk memakai sepatu. Kebesaran dan kemegahan Pagoda ini sudah dapat kami rasakan ketika berada di luar. Bangunan tinggi menjulang berwarna emas sudah terlihat jelas di pintu masuk.

Ketika kami sampai di sana waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Cuaca sedikit mendung kala itu. Ratusan orang terutama turis sudah berada di dalam Pagoda ketika kami sampai di dalam. Selain itu nampak juga orang lokal dan para biksu Budha yang datang ke pagoda untuk bersembahyang. Menurut legenda, Shwedagon adalah pagoda paling suci dan tertua di seluruh dunia. Umurnya mencapai 2,600 tahun.

[caption id="attachment_399542" align="aligncenter" width="567" caption="Patung Budha di Swedagon Pagoda"]

1424911218846504597
1424911218846504597
[/caption]

Saya mulai menyusuri Pagoda Shwedagon yang ternyata sangat luas. Patung-patung Budha di pagoda ini memang begitu indah. Sejarah dan cerita Budha dapat kita pelajari dari bangunan di sini. Seseorang menanyakan tentang tanggal lahir saya. Hal ini tidak lain karena saya bisa berdoa di depan patung shio yang ada di sekitar pagoda.  Tepat pukul tujuh lampu-lampu di sekeliling pagoda mulai menyala. Lampu-lampu ini menyoroti pagoda-pagoda ini dan membuat suasana menjadi sangat indah.

Entah mengapa saya merasakan kedamaian di negara ini. Myanmar yang baru terbuka untuk umum memang sangat berbeda dengan negara-negara di Asia Tenggara yang pernah saya kunjungi. Di sini akses internet sangat terbatas, orang-orang tidak tergesa-gesa dan mereka juga penuh perhatian. Selain itu di tempat wisata para pedagang juga tidak pushy menawarkan dagangangnya ke pengunjung.

Jika selama ini kita selalu disuguhi  berita tentang demonstrasi dan kaum militer yang ada di jalan-jalan hal tersebut tidak saya temukan di sini. Menurut Mr. Mo dulu banyak kaum militer dengan senjata yang ada di jalan-jalan. Dalam dua tahun terakhir hal tersebut sudah tidak ada lagi. Ini menandakan bahwa Myanmar sedang bertransisi untuk menjadi negara yang demokratis. Pemilihan umum sendiri dijadwalkan akan berlangsung pada akhir tahun 2015.

Berkunjung ke pagoda ini juga memberikan energi positif bagi saya terutama belajar tentang perbedaan dan toleransi antar umat beragama. Hal ini sangat penting karena di Myanmar sendiri banyak terdapat etnis yang berbeda. Permasalah sering muncul karena banyak orang yang tidak dapat menghargai perbedaan. Tidak terasa hampir dua jam saya menghabiskan waktu di sini sebelum kembali ke penginapan.

Di hari terakhir di Myanmar saya sempatkan untuk menikmati makan siang di The Thiripyitsaya Sky Bistro. Restauran ini terletak di lantai 20 di salah satu gedung di pusat kota Yangon. Di sini kami dapat menikmati panorama kota Yangon dan melihat keindahan Shwedagon Pagoda dari jauh. Banyak sekali orang asing yang di sana. Selain menikmati makanan Myanmar mereka ingin mengambil foto dari sini.

[caption id="attachment_399546" align="aligncenter" width="567" caption="Umat Budha Bersembahyang di Shewdagon Pagoda"]

1424912345491600368
1424912345491600368
[/caption]

Akhirnya tiba saatnya kembali ke Korea. Kunjungan singkat ke Myanmar tidak saja mengesankan tetapi juga memberikan harapan akan perkembangan negara ini ke depan. Saya yakin bahwa Myanmar akan menjadi negara yang berkembang ekonominya dalam beberapa tahun ke depan. Semoga saya bisa kembali lagi dan menjelajahi kota-kota lain di Myanmar.

Edited artikel ini terbit di harian SINDO, Jumat, 20 Februari 2015

(Daejeon, 26 Februari 2015, FB Page: Travel with Ony Jamhari)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun