"Anak sekarang cengeng, sedikit-sedikit lapor. Â Jaman saya, dilempar penghapus sampai benjol sama guru saja kalau ngadu sama orang tua malah ditambahin!", demikian cukilan opini yang sempat terungkap. Â
Alangkah menyedihkan bahwa dari kalimat tersebut, kita mengetahui ternyata selama ini, pendidikan kita di sekolah dan di rumah (oleh orang tua) cenderung mengakomodasi tindakan kekerasan. Â Kalau sudah begini, perilaku Pak Kapolres yang sudah dituliskan di bagian awal merupakan sebuah konsekuensi yang niscaya dan sebuah akibat yang memang sudah dapat diprediksikan. Â Kekerasan pendidikan diwariskan, dan akan terus dilampiaskan saat kesempatan itu ada.
Tentu kita tidak bisa begini untuk seterusnya. Â Tidak boleh lagi ada jiwa yang rusak karena kita melestarikan Posisi Kontrol yang salah. Â Penghukum dan Pembuat Rasa Bersalah memang beda kemasan, namun isinya sama, merusak dan membuat anak menyimpan dendam. Â
Pembuat Rasa Bersalah, sangat diwakili dengan kalimat "Kamu ngga kasihan lihat usaha Bapak/Ibu untuk membuat kamu menjadi...", memang sekilas tampak lembut dan baik. Â Namun akibatnya anak akan cenderung berpikir buruk tentang dirinya. Â Mulai akan terbentuk konsep diri negatif dan lahirlah serangkaian tindakan yang juga negatif.
Guru harus mulai segera berpindah menjadi Pemantau atau Manajer. Â Pergeseran bisa terjadi dengan Posisi Kontrol sebagai teman, namun jika dilakukan terlalu sering, siswa tidak akan lagi memiliki respek pada gurunya dan terbiasa dengan kemudahan sepihak. Â
Posisi Pemantau dan Manajer, menuntut kematangan emosi dan kestabilan jiwa. Â Itu semua berasal dari perubahan paradigma dan pemahaman terhadap motivasi serta kebutuhan dasar yang sedang ingin dicapai oleh anak/siswa.
Jika kita para guru sudah mulai memandang proses yang terjadi lebih penting daripada hasil kuantitas, maka kita akan lebih mudah berinteraksi dengan siswa-siswa kita. Â Perasaan berharga telah menjadi bagian dalam fase kehidupan seorang manusia, akan membuat guru berusaha menorehkan hal-hal yang berkualitas. Â
Perilaku yang baik, support yang efektif, dan pendampingan yang bermakna lewat Posisi Kontrol yang baru dipercaya akan berdampak, bagaikan sebuah episentrum gempa. Â Hanya saja, dampaknya bukan merusak, melainkan berupa getaran yang mampu dirasakan sampai radius yang cukup jauh.Â
Episentrum-episentrum ini terjadi di setiap sekolah atau area (misalnya dalam satu kabupaten) dan harus segera dikoneksikan. Pembiasaan para guru menjalankan praktik baik, merekam dan merefleksikan, serta menguploadnya di media sosial adalah sebuah upaya interkoneksi. Â
Kami di Program Guru Penggerak dituntut untuk mengimbaskan dampak praktik itu kepada lingkungan terdekat, kepada siswa dan segera melaporkan progresnya pada komunitas atau publik yang lebih luas.
Tidak pernah ada kata terlambat untuk sebuah perubahan. Â Mari kita menyadari, perubahan paradigma dan sikap kita di lapangan sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Â Guru harus segera bertransformasi. Â Tidak lupa melengkapi dirinya dengan keterampilan-keterampilan teknis khas IT. Â Jika perlu, guru menjadi konten kreator dadakan atau editor meski dalam level kelas amatir.