Jika menista buku dan menghina Pustaka sudah sangat lazim dilakukan, maka eksistensi bangsa akan menuju kepada sebuah kematian.  Proses pembunuhannya telah kita lakukan sendiri, dengan sangat kejam.  Di balik sebuah buku dan produk-produk Pustaka, sesungguhnya tersimpan simpul-simpul neuron yang menyusun sebuah otak besar.  Otak besar inilah yang akan menjadi pusat kekuatan untuk membawa bangsa ini ke arah kemajuan.  Sayangnya, satu demi satu sel neuron ini mati dan tidak kita rawat.
   Indonesia yang sekarang adalah kalangan malas berpikir, reaktif dan emosional.  Doyan impor, netizen dengan kosa kata terkasar se Asia Tenggara, dan konsumen internet dengan jumlah pengakses pornografi salah satu yang terbesar di dunia.  Game online dan konten-konten tidak mendidik berisi gaya hidup hedonistik, pemborosan dan provokasi bertebaran di dunia maya dan semakin melemahkan kompetensi para pemuda. Semua ini tidak lain dari kebiasaan kita yang selalu meremehkan buku, malas membaca dan tidak menghargai pustaka. Â
Bangsa Indonesia memang tidak akan bubar secara konstitusi. Â Lambang Negara dan benderanya , Undang-Undang Dasar dan wilayah teritorialnya akan terus ada, namun eksistensinya sudah punah. Â Kita hari ini, bisa jadi sedang menyongsong keruntuhan dari "negara Indonesia," menjadi hanya sekedar "kecamatan Indonesia" di kancah percaturan internasional, tanpa peran dan posisi yang diperhitungkan selain sebagai penghasil tenaga kerja murah dan sumber daya alam yang dieksploitasi habis-habisan untuk kepentingan negara yang lebih kuat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H