Seorang ibu, sebagai sumber ilmu dan sekolah kepribadian bagi putra-putrinya benar-benar tidak boleh lagi berkata kasar, kecuali dia ingin anak-anaknya melakukan hal yang sama dan terlibat banyak masalah.Â
"Mulutmu, harimaumu", demikian pepatah terkenal tentang kejamnya hukuman sosial yang mungkin kita dapatkan saat tidak mampu menjaga tutur kata dan bahasa.Â
Bahkan saat memberi kritik, saran atau pandangan berbedapun, bahasa kita harus terjaga dengan baik dan kata-kata yang kita pilih seharusnya bukan dari golongan pemicu kemarahan dan sakit hati.
"Ajining dhiri saka ing lathi," (harga diri seseorang datang dari mulutnya (kata-kata) yang diucapkannya), demikian bunyi sebuah pepatah Jawa yang masih saya pegang teguh sampai kini.Â
Bagaimana dengan harga diri para ibu yang sudah melontarkan makian seperti dalam peristiwa-peristiwa itu? Tentu saja sudah jatuh ke tingkat yang paling rendah. Bahkan ajining dhiri saka ing lathi mendahului ajining raga saka busana, artinya, kebaikan ucapan bahkan mendahului kebaikan cara berpakaian.Â
Sebaik, serapi dan semahal apapun pakaian yang kita kenakan, akan membuat kita malu dan serasa telanjang mana kala mulut kita malah mengeluarkan kata-kata kasar.
Pakaian rapi dengan kerudung yang dikenakan oleh dua dari tiga ibu tersebut, seketika telah membuat sebagian orang memberikan stigma yang buruk pada Muslimah.Â
"Pakaian tidak sesuai dengan akhlaknya, buat apa? Lebih baik tidak berkerudung daripada mulutnya seperti comberan." Meskipun hal ini juga bukan pendapat yang baik, namun peristiwa ini membuat Muslimah harus lebih berhati-hati dan banyak menahan diri.Â
Setelah ini, tentu bukan perkara mudah mengembalikan citra Muslimah sebagai perempuan beradab, penyabar, cerdas dan salehah di beberapa kalangan.
Perenungan saya akhirnya bagaikan menemukan sebuah pola gunung es. Setiap hari di sekolah saya menemukan puluhan kasus kata-kata kotor dan makian yang dilontarkan secara verbal maupun non verbal (misalnya coretan di meja atau dinding toilet) oleh murid-murid saya.Â
Terbetik tanya dalam sanubari, "Siapakah yang mengajari anak-anak ini memaki? Apakah ibunya?". Namun pikiran buruk dan tuduhan itu saya tepis jauh-jauh selama bertahun-tahun. Tidak mungkin seorang ibu tega mengajarkan kata-kata makian yang kelak akan menjerumuskan anak-anaknya dalam masalah yang besar.Â