Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pembelajaran "Self Dignity" ala Orangtua Saya

3 Mei 2021   20:00 Diperbarui: 6 Mei 2021   13:16 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harga diri (dignity) mungkin sudah menjadi benda yang langka di zaman sekarang. Begitu banyak kelakuan orang-orang yang dengan mudah melepaskan kehormatannya, rela dibeli untuk melakukan hal-hal yang kurang terpuji, termasuk dalam hubungan pertemanan.

Sekarang, asalkan kita punya segepok uang, teman akan mudah kita dapatkan. Pola pikir memanfaatkan dan "mumpungisme" memang merebak di mana-mana.

Tentu saja masih ada orang yang menjunjung tinggi harga dirinya. Menjaga agar tidak meminta-minta atau melacurkan diri. Namun yang seperti ini tentu sekarang sudah sangat jarang. Bahkan sikap bermartabat dengan tidak mau menggantungkan diri dari pemberian atau selalu menjunjung tinggi kejujuran, sekarang malah dicap sebagai sikap sok suci, munafik dan hipokrit. Sesuatu yang benar, distempel menjadi salah, sebaliknya yang salah malah dibenarkan hanya karena banyaknya pelaku yang mempraktekannya.

Semua hal yang membentuk karakter seseorang dalam menjalani kehidupannya tentu tidak bisa dilepaskan dari didikan orangtua di rumah. 

Sebagai sekolah pertama dan utama bagi seorang anak, orangtua bagaikan perpustakaan hidup yang menjadi tempat seseorang mengambil berbagai rujukan. Bukan hanya pada fase-fase awal kehidupannya, namun hingga si anak telah menjadi orangtua sekalipun. 

Harga diri yang diajarkan oleh orangtua bisa saja kuat atau lemah, tergantung dari karakteristik dasar dan latar belakang pendidikannya. Namun pada beberapa kasus, para orangtua dengan latar belakang cukup mampu dan tingkat pendidikan yang tinggi justru kerap luput mengajarkan konsep harga diri pada anak-anak mereka. Dengan tanpa malu-malu mereka memberikan teladan bahwa untuk mendapatkan apapun, bisa dengan jalan pintas, menyuap atau memberikan sejumlah uang, misalnya saat masuk ke sekolah favorit atau membuat SIM.

Pada banyak kasus, saya mendapatkan pengalaman bahwa keluarga kurang mampu dengan latar belakang pendidikan minimal, malah jauh lebih berhasil menanamkan tumbuhnya sikap harga diri pada anak-anaknya. Bisa jadi hanya dengan sikap konsisten dan bermartabat sebagaimana konsep manusia seutuhnyalah, yang membuat segala kekurangan hidup tidak dirasakan sebagai hal yang mempermalukan.

Pendidikan harga diri yang didapatkan pada saat saya kanak-kanak dahulu sebenarnya sederhana. Meskipun demikian, justru makna dan rasanya tertancap kuat hingga sekarang. Kedua orangtua saya selalu mengajarkan beberapa hal yang penting bagi saya selaku anak-anak.

"Jika kamu sedang bermain ke rumah teman, jangan menerima ajakan keluarganya untuk makan. Pulanglah pada jam-jam makan dan istirahat."

Mungkin terdengar ekstrim, namun itulah yang terjadi. Sejak kecil, saya diajarkan tidak boleh menerima pemberian makanan atau apapun dari orang lain pada saat bermain ke rumahnya.

Saya masih ingat ibu saya memarahi saya habis-habisan karena ketahuan ikut makan siang di meja makan bersama keluarga tetangga.

"Kenapa kamu tidak buru-buru pulang dan bilang, saya sudah dipanggil juga oleh ibu untuk makan siang?", kata ibu dengan galak saat itu. 

Karena kejadian itu, saya jadi tidak terbiasa nikmat makan pemberian orang lain. Saya lebih suka membeli atau memasak sendiri.

Dalam berbagai acara makan bersama pun, saya tidak mengambil banyak. Rasanya kurang enak, seolah saat saya makan banyak, puluhan mata mengawasi dan menandai sikap rakus saya.

Belakangan setelah menjelang dewasa dan menua, saya baru merasakan manfaatnya. Di kantor tempat saya bekerja, ada sekelompok pegawai yang suka membawa bekal makanan yang cukup banyak dan berbasa-basi menawarkannya ke kanan dan ke kiri. Namun begitu kita mengambil tawaran itu dan memakannya, dia akan menceritakan kelakuan kita di belakang dan memberikan label si culamitan. Kalau sudah begini, saya jadi ingat pelajaran dari orangtua saya, dan tentunya sangat bersyukur.

"Berjalan kaki itu lebih baik, dibanding mengharapkan tumpangan dari siapapun. Bayar angkot atau ojek kalau punya uang, jangan mau menumpang teman. Satu lagi, jangan pinjam kendaraan orang (mobil/motor) dengan alasan apapun. Risikonya besar dan lebih baik kamu tidak bisa naik motor sampai kamu beli motor dan belajar pakai motor kamu sendiri."

Pelajaran ini begitu melekat dalam ingatan saya. Mungkin sudah tidak banyak orangtua yang mengajarkannya di zaman sekarang.

Namun setelah saya merantau dan menjadi tua, saya merasakan betapa menyebalkannya seseorang yang selalu menyindir-nyindir kita untuk memberi tumpangan, baik itu motor ataupun mobil. 

"Saat kamu memberi tumpangan pada seseorang dan ternyata terjadi kecelakaan, maka kamu juga harus bertanggung jawab pada kerugian nyawa atau cacat yang terjadi pada orang itu," begitu hal yang pernah diucapkan suami saya. Selaras dengan ajaran orangtua saya, orang yang selalu mencari tumpangan memang tidak menyenangkan. 

Saya pernah dahulu menjadi orang yang sok ramah menawarkan jok motor atau mobil saya pada teman-teman yang tidak mau berusaha belajar berkendara. Alhasil, seorang teman pernah membonceng dengan posisi kurang tepat dan terjungkal bersama saya.

Kaki saya robek dan berdarah, tentu saja enam jahitan lumayan nyeri. Motor saya rusak, sedangkan dia tidak tergores, hanya sedikit sedikit terkilir di bagian jempolnya karena tertimpa badannya sendiri. Namun apa yang terjadi?

Selama bertahun-tahun dia selalu menyebut-nyebut lukanya dan keseleonya yang katanya mengakibatkan persendiannya terasa tidak seperti dahulu. Duh, sialnya nasib saya. Sejak saat itu saya hampir tidak pernah menawarkan tumpangan lagi, kapok. 

Bagi seseorang yang gemar meminjam mobil atau motor juga tidak kalah menyebalkan. Mobil apik yang tidak pernah terkena asap rokok, mendadak jadi berbau nikotin saat dipakai seorang rekan. Dengan mengomel dan mengeluarkan biaya ekstra, akhirnya kami pergi ke bengkel dan melakukan prosedur kuras AC. 

Serupa dengan hal tersebut adalah saat anak saya yang kuliah semester awal, pulang dengan sepeda motor yang bannya sudah gundul dan lampu pecah di sana-sini. Shockbreaker mati dan seperti habis dibawa narik beronjong padi. Dia bilang, semua karena ulah teman-temannya yang dengan santai main pinjam dan pakai motornya. Bensin sudah kosong, ban sudah kempes, dan barulah motor dikembalikan ke pemiliknya. Saat-saat seperti itu, sungguh saya sangat teringat ajaran harga diri yang pernah disampaikan oleh orangtua dahulu. 

Sebetulnya banyak hal yang disampaikan oleh orangtua saya dahulu tentang konsep harga diri. Namun dua hal ini yang sungguh tak pernah lepas dari ingatan dan ingin saya bagikan.

Saya merasa perlu mengajarkan juga hal ini kepada anak saya, supaya dia memiliki keterampilan menghadapi kehidupan dan punya attitude yang baik.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam parenting. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun