Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meloloskan Pelarian

15 April 2021   23:44 Diperbarui: 16 April 2021   00:10 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini, aku masih ingat hari dan tanggalnya dengan jelas.  Kamis, 20 Mei 1982.  Sudah dua hari aku menginap di kota Cilacap, di rumah anakku yang nomor enam.  Aku punya tiga orang anak yang merantau di kota kecil itu.  Cilacap  diberkahi dengan sebuah benteng alami bernama Nusakambangan.  Kalau tidak ada pulau angker itu, Cilacap sudah lama hilang dari peta dunia karena tergerus ganasnya gelombang samudera Hindia. 

Sebagai seorang veteran perang, badanku ini tidak mau kuajak diam.  Naluri untuk selalu menyatukan diri dengan irama alam, masih tertanam kuat dalam diriku.  Aku penyuka ruang terbuka.  Gunung, hutan, padang pasir dan laut selalu tampak sebagai taman bermain yang menyenangkan bagiku.  Seperti sore ini, alangkah nikmatnya.  

Seorang kenalan meminjamkan sampan mewah lengkap dengan mesin tempelnya untuk kupakai memancing di laut.  Kali ini aku ingin memandangi pulau Nusakambangan yang begitu misterius.  Lebatnya hutan yang menutupinya, membuatnya tak lagi berwarna kehijauan, malainkan cenderung hitam.   Mataku yang masih sangat awas, bisa memindai dengan jelas beberapa pohon kayu plahlar  (Dipterocarpus litoralis) yang ketinggiannya jauh meninggalkan pucuk-pucuk pohon lain dengan diameter kayunya yang hanya cukup dilingkari oleh sembilan pasang lengan orang dewasa.

Pulau Nusakambangan bermakna pulau bunga-bungaan.  Di sinilah tempat terakhir bagi bunga endemik Wijayakusuma, sejenis bunga yang mekar hanya sekali pada malam hari, berwarna putih dan sangat harum.  Namun pulau ini tidaklah seindah bunga.  Inilah kuburan besar bagi siapapun yang terkurung di dalamnya.  Para narapidana kelas berat, penyelundup dan bandar narkoba serta tahanan politik jarang ada yang berhasil keluar hidup-hidup sebelum batas waktu hukumannya habis.  

Kalaupun mereka berhasil lari dari penjara, maka para sipir dan pasukan bersenjata lengkap akan mengejar tanpa ampun.  Mau lari ke dalam hutan?  Bersiaplah pada kegelapannya yang dipenuhi nyamuk malaria tertiana dan ular serta puluhan jenis hewan berbisa seperti kelabang, kalajengking dan lipan.  Bukan seperti ukuran pemukiman, hewan berbisa di hutan ini berukuran besar-besar.  Aku pernah duduk di atas perut seekor anaconda yang sedang kekenyangan.  Dia tidak menyerang dan tadinya kupikir dia adalah sebuah balok kayu sebesar bok tronton pipa minyak.  Masih kurang?  Macan kumbang hitam pekat (Panthera pardus melas) akan dengan senang hati menerkam dan mencabik-cabik tubuh sang pelarian yang malang.

 Katakanlah berkat kesaktian atau jimat dan mantra jampi-jampi, penghuni Nusakambangan bisa ditaklukkan, tapi sanggupkah melawan curamnya tebing Pantai Selatan dan gulungan ombak Samudera Hindia?  Putri Kandita saja konon bunuh diri dan moksa dengan terjun ke ganasnya gulungan ombak Pantai Selatan.  Sampai sekarang dia menjadi ratu penguasa Pantai Selatan.  Nusakambangan meski simbol keruntuhan, namun juga menyimpan sisa-sisa usaha pembangunan asa di tengah hamparan abu dendam.  Ada mercusuar Cimiring,  dilengkapi dengan sebuah benteng kecil peninggalan Portugis yang beralih fungsi menjadi petilasan pemujaan untuk mereka para pencari kekayaan dalam waktu singkat.

Bagiku, membayangkan Nusakambangan seperti sebuah mesin giling raksasa yang siap meremukkan jiwa dan raga siapapun di dalamnya. Semacam neraka dengan api tak kasat mata yang dengan gembira melahap siapapun yang datang tanpa ampun.  Sambil menghisap gulungan tembakau cengkehku, aku membetulkan laken dan membereskan mata pancing.  Angin dingin menjelang malam Jumat, samar-samar mengirimkan bau dupa.  Aku masih memandang Nusakambangan yang gelap seperti punggung raksasa yang sedang tertidur.  Sudah berjam-jam berlalu, aku tak pernah bosan berimajinasi dengan pulau megah yang terpampang jelas di hadapanku.  Rasanya tenang, damai, mistis tapi membuatku ketagihan.  Suasana seperti ini tak ingin kubagi dengan siapapun.

Sesaat telingaku mendengar bunyi berkecipak.  Kemudian sampanku terasa oleng.  Aku sejenak berpikir, manusiakah ini, atau aku kedatangan makhluk lain.  Tampak sebuah kepala tersembul diikuti dengan dua lengan yang basah dan tubuh berdebam masuk ke sampanku.

"Pak, aku nunut sedhiluk," ucapnya.

(Pak, aku numpang sebentar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun