Ide pokok tulisan ini mulai menjalar ketika dosen filsafat (ilmu komunikasi) saya melempar sebuah retorika kepada mahasiswa yang hadir. Kira-kira bunyinya seperti ini “Sekarang, mana yang lebih kaya (secara materi), perusahaan multinasional atau Indonesia?” Katanya dengan mata berbinar dan senyum mengembang. Masalahnya adalah memang (saya) tidak ada data kuantitatif yang menguatkan kalau Indonesia secara finansial lebih miskin dibanding perusahaan multinasional macam Freeport, Chevron, Microsoft, Starbucks, McDonald, dan sebagainya.
Namun, secara rasio jika dibandingkan, maka logikanya Indonesia kalah kaya dibanding mereka. Retorika kemudian berlanjut menjadi sebuah pernyataan. Kalau perusahaan lebih kuat dibanding (penguasa) negara, maka implikasinya adalah justru mereka yang mengendalikan (penguasa) negara. Oleh karena itu, tidak heran jika kepala negara bertemu kepala negara lain untuk berbicara soal bisnis, seperti yang kerap terjadi akhir-akhir ini dan mirisnya kepala negara tersebut adalah kepala negara kita. Padahal, kepala negara (dan pejabat negara lain) mestinya menjalankan tujuan bonum publicum.
Jika seperti ini, maka negara berdiri sebagai lahan, rakyat ada sebagai produsen sekaligus konsumen, undang-undang ada untuk meregulasi (memberi keleluasaan) pengusaha agar mampu meraih untung sebesar-besarnya. Tidak ada lagi tujuan mencapai kesejahteraan bersama dengan kerja keras bersama pula, yang ada kerja keras bersama demi kesejahteraan pengusaha (dan penguasa).
Retorika dan pernyataan tadi dilempar oleh beliau ketika kami memasuki diskusi materi Teori Kritis. Marx, meski ada Gramsci dan Althusser dalam pembahasan, namun ia tetap jadi bintangnya. Pembahasan soal Marx memang selalu seru, bukan karena relevansi pemikirannya yang fresh dan menggugah, tetapi buat saya pribadi justru adalah karena musuh yang dilawan begitu perkasa. Kapitalisme. Ya, sistem ekonomi yang menghendaki kepemilikan pribadi dengan perolehan untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil mungkin. Meskipun efisiensi tersebut adalah prinsip dasar ekonomi, kepemilikan pribadi pada kemudian hari menjadi masalah.
Marx terenyuh melihat kaum pekerja-proletar dihisap oleh kaum pemodal-borjuis. Dihisap tenaganya tanpa diberikan sesuatu yang sepadan-setimbang oleh segelintir kaum borjuis. Surplus value, harga yang semestinya dibayar tapi malah menjadi keuntungan yang didapat oleh borjuis. Marx kemudian menghendaki suatu emansipasi yang dilaksanakan dengan revolusi oleh kaum proletar, pengambilalihan alat-alat produksi, dan pada akhirnya mendirikan sebuah kediktatoran proletariat. Materialisme historis, ekonomi sebagai infrastruktur menentukan suprastruktur, arah sejarah (pasti) bergerak ke arah seperti yang diramalkan Marx, masyarakat tanpa kelas, kediktatoran proletariat.
Lupakan Marx! Ketika di pertemuan selanjutnya kami membahas filsuf-filsuf Mazhab Frankfurt (Frankfurt School/Die Frankfurter Schule; Institut fur Sozialforschung), itulah doktrin utamanya, lupakan Marx sejenak! Alasannya? Marx (marxisme ortodoks) tidak lagi relevan dihadapkan pada kondisi masyarakat yang terpaut seratus tahun lamanya. Marx, masalah kami lebih kompleks! Neo-Marxisme muncul dipelopori oleh filsuf-filsuf Frankfurt School. Meneruskan perjuangan Marx tidak harus menjadi Marx, bukan? Kapitalisme saat itu (pertengahan abad 20) dan saat ini dirasa lebih kompleks dibanding kapitalisme pabriknya era Marx (abad 19). Spat kapitalismus, late-capitalism, menunjukkan bahwa kapitalisme tidak lagi terlihat kejam. Munculnya Tunjangan Hari Raya, misalnya. Tempat bernaungnya pun bukan lagi di pabrik-pabrik dengan kepulan asap, tapi di kantoran yang bersih, bursa-bursa saham, bank-bank, dan sebagainya. Hari ini, kapitalisme jauh lebih rumit, lebih humanis, juga lebih kejam. Belum lagi dengan lahirnya kelas menengah, di dalamnya terdapat buruh-buruh, yang cenderung apatis. Jika kondisinya begini, revolusi macam apa yang mesti dilakukan? Pengambilalihan alat produksi yang mana? Toh, saham hanya berbentuk lembaran-lembaran dan digit-digit membingungkan pada layar. Haruskah kita mengambil uang di bank-bank? Lalu, apalah bedanya kita dengan perampok?
Kesadaran praksis revolusioner pada kaum proletar, yang dulu diagungkan oleh Marx, kini tentu tidak lagi dapat diandalkan. Kaum buruh cenderung mengikuti konformitas zaman hari ini. Maka, kesadaran itu ada dalam golongan intelektual, sambut Horkheimer, selama mereka mewakili golongan yang tertindas. Menurutnya, kaum intelektual ini perlu mengembangkan kekuatan negatif yang tersembunyi dalam masyarakat. Negatif yang berarti kritis, berani mengatakan tidak terhadap keadaan sekarang ini. Rekannya, Adorno, melengkapi dengan suatu konsep, dimana manusia hanya akan bebas dari alam jika ia mampu menaklukkan alam itu sendiri. Namun ironi yang dihadapi (dan diamini oleh Adorno) ialah pembalikkan (umschlag) subjek-objek yang terjadi. Ketika segala proses (ilmu pengetahuan, teknik, teknologi) penaklukkan oleh manusia yang semestinya menjadi objek, kini justru menjadi subjek terhadap manusianya sendiri, yang sekarang menjadi objek.
Adorno menganggap industrial genocide yang dilakukan Nazi kepada lima sampai enam juta Yahudi adalah sebuah pukulan telak terhadap optimisme teori kemajuan zaman, maka hari ini penguasaan teknologi (oleh segelintir teknokrat, yang juga pengusaha) bisa jadi pukulan telak bagi umat manusia yang terkungkung dalam kebiasaan konsumerisme. Herbert Marcuse senada dengan hal ini, masyarakat industri modern (advanced industrial society) memunculkan suatu sistem teknologis, sistem yang menganggap segala sesuatunya berharga selama bisa dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi, ditangani. Sekarang, bukan lagi manusia menindas manusia lain, tetapi sistem inilah yang dengan totaliter menguasai manusia. Sistem ini menghadirkan pola lingkaran tak berujung yang membawa manusia kepada keinginan-keinginan yang diperlukan agar sistem dapat bertahan. Pola konsumerisme sengaja dibuat. Agar anti-virus laku, perlu adanya virus terlebih dahulu.
Tanpa kita sadari, belenggu ini memenjarakan kita dengan slogan naif tentang kebebasan. Kebebasan semu yang menghadirkan opsi-opsi tak terbatas, namun pada hakikatnya bertujuan agar sistem tetap berjalan semestinya. Kita dirangsang untuk terus menerus mengkonsumsi. Jika proletar era Marx bekerja dengan jam kerja yang lama dan upah kecil, pegawai hari ini bekerja dengan jam kerja yang diperpendek juga hari libur diperbanyak dan upah serta tunjangan yang menyertai. Terlepas dari itu, belenggu konsumerisme tanpa disadari terus menaungi kita. Di waktu-waktu senggang kita tergoda untuk membelanjakan upah kita karena tergiur iklan televisi, di hari-hari libur kita berpergian ke luar kota atau luar negeri dengan agensi travel. Lebih tragis, tanpa perlu adanya rangsangan dari luar secara langsung (seperti iklan, promosi), kita akan terus mengkonsumsi karena adanya keinginan dari dalam. Keinginan untuk memposting foto Frappuccino ala Starbucks di Instagram misalnya. Sikap kritis kehilangan arti pentingnya sejalan dengan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan yang disediakan sistem (kapitalis).