Mohon tunggu...
Onggo Indonesiana
Onggo Indonesiana Mohon Tunggu... -

Nama saya Onggo (saja) sebenernya. Nggak pake Indonesiana. \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Burung, dari Matinya Saya Belajar Tentang Riau

23 September 2015   15:02 Diperbarui: 23 September 2015   15:11 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti Anda, saya juga hampir tak pernah melihat bagaimana secara alamiah burung mati. Kecuali di film dokumenter tentang burung yang dibuat oleh pengamat satwa.

Hari itu, kepada saya diantarkan sebuah kejadian tak biasa. Mungkin bukan tentang cara matinya. Tapi Tuhan meminta saya melihat dari dekat mahluk kecil yang hebat. Yang darinya saya bisa belajar tentang apa itu cukup dan selalu optimis. Tanpa prasangka buruk bahwa rizki dan miliknya akan diambil orang lain. Yang itu sebabnya ia selalu gembira.

Yang ia tahu, ia harus pergi dan terbang untuk memilih dimana harus mendarat, untuk mendapatkan rizkinya. Pada dirinya terlengkapi sepasang sayap yang harus sama kuatnya. Walau tak pernah bertemu, tapi sayap yang satu percaya bahwa pasangannya di sebelah sana juga mengepak sama kuat dan sama cepat, agar burung bisa terbang.

Dengan kerendahan hati dan jauh dari maksud menggurui, ayat-ayat, nilai-nilai atau pelajaran sesungguhnya terlalu banyak untuk tidak bisa kita lihat dari alam. Dan itu di depan mata. Hanya mungkin karena saya terlalu bebal, tuli bahkan buta. Hingga Tuhan perlu menyodorkannya sedikit ekstrim, dengan mengirim pesan melalui burung.

Seekor burung kemudian mengambil tugas itu dengan ikhlas, walau harus mati. Supaya saya mau dan bisa menyentuhnya, lalu belajar dari sana.

Akibat pembakaran hutan dan lahan, burung adalah satu dari jutaan flaura dan fauna yang--pelan tapi pasti--musnah di Riau. Dan kita--umat manusia--kehilangan kesempatan menyimak Kalam-kalam Ilahi yang selalu lekat menyertai setiap mahluk ciptaanNya.

Membakar dan membiarkan alam terus menerus terbakar. Tanpa menyisakan tempat bagi mahluk lain. Itu sama dengan membakar ayat-ayat sang Khaliq. Membiarkan pesan-pesan penting kehidupan terbang begitu saja. Bersama asap dengan aroma keserakahan yang sangat menyengat.

Bagi si burung kecil, ia sadari atau tidak, mati baginya bisa kapan saja. Dan dengan cara apa saja. Tanpa membawa apa-apa. Tapi pada kita yang belajar, matinya tak boleh sia-sia. Karena kematiannya membawa pesan luar biasa. Dari Tuhan. Untuk kita, manusia.

Terima kasih, Tuhan.
Terima kasih burung kecil.
Maafkan kami yang serakah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun