Indonesia diperkirakan menghasilkan 64 juta ton sampah setiap tahun. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), komposisi sampah didominasi oleh sampah organik, yakni mencapai 60%, sampah plastik 14% disusul sampah kertas 9% dan karet 5,5%. Sampah lainnya terdiri atas logam, kain, kaca, dan jenis sampah lainnya.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah makanan (food loss and waste) terbesar di dunia, selain Arab Saudi dan Amerika Serikat. Menurut kajian Kementerian PPN/Bappenas, sampah makanan yang terbuang di Indonesia pada 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara 115-184 kilogram per kapita per tahun. Besarnya makanan yang terbuang menjadi sampah juga berdampak pada kerugian ekonomi yang mencapai Rp 213-551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5% PDB Indonesia.Â
Berdasarkan sebuah survei, sayuran merupakan jenis makanan yang paling banyak dibuang yakni sebesar 31%, selanjutnya adalah nasi (20%), daging (11%), produk susu (10%), dan ikan (10%). Masalahnya, limbah makanan akan semakin menambah akumulasi gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini dikarenakan sampah organik atau sampah makanan yang terbuang di tanah menyumbang 50-55% gas metana dan 40-45% gas CO2.
Jumat, 6 Oktober 2023 - Peserta One Village One CEO (OVOC) yang ditempatkan di Kab. Balangan mengadakan pendampingan ke masyarakat terkait dengan pentingnya pengelolaan sampah organik dan pemanfaatannya untuk budidaya maggot. Program OVOC 2023 yang dilaksanakan di Kalimantan ini, merupakan hasil kolaborasi antara PT Adaro Indonesia dan IPB University pada kedaireka matching fund. Pendampingan ini dihadiri oleh anggota kelompok tani maggot Balangan, tim CSR PT Adaro, dan Tim Yayasan Adaro Bangun Negeri.
Pendampingan ini dilaksanakan dengan tujuan memberikan pemahaman lebih kepada para kelompok tani maggot akan pentingnya pengelolaan sampah organik untuk keberlangsungan hidup di masa mendatang. Beberapa hal yang dibahas diantaranya dampak buruk sampah organik yang tidak terkelola, potensi sampah organik, dan pemanfaatannya untuk budidaya maggot.
"Tidak terkelolanya sampah organik dengan baik bisa berdampak buruk untuk lingkungan walaupun bisa terurai oleh tanah. Sampah organik yang menumpuk sulit untuk terurai dengan cepat dan dapat menghasilkan gas metana yang mengakibatkan metagonen terakumulasi dalam jumlah besar dan terperangkap di dalam tanah. Selain beracun, gas metana juga dapat memicu kebakaran dan pada akhirnya berefek pada perubahan iklim yang lebih serius" ucap salah satu peserta One Village One CEO.
Adanya pemahaman kembali mengenai pentingnya pengelolaan sampah organik, diharapkan dapat memicu minat yang lebih tinggi untuk terus mengelola sampah organik. Pada pertemuan ini, mahasiswa, masyarakat, dan tim adaro berdiskusi untuk keberlanjutan budidaya maggot di Balangan. Dengan pendekatan yang tepat dan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, penggunaan maggot dapat menjadi langkah konkret menuju lingkungan yang bersih dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H