Samudji memandang erat si sales. Paparannya menohok. Rupanya si sales bukan sekedar sales. Dia rupanya memahami jauh menembus sekat-sekat ketidaktahuan.
"Maksud tuan Seles, seperti apa ya? Saya tambah tidak mengerti. Apa hubungan preman dengan harga-harga itu?" tanya Samudji sambil mulai menyisipkan panggilan sanjungan kepada si sales.
"Ah itu cuma perumpamaan saja. Saya rasa bapak sudah mengerti. Setidaknya sedang mengerti."
"Preman itu sekarang diambil alih oleh harga. Yang menentukan harga pada awalnya bagus. Ada pernak pernik hukum ekonomi yang berlaku di sana. Bagus. Bahkan sangat bagus."
"Kopi yang saya jual ini. Menurut pernak pernik hukum ekonomi, ada hitungannya. Modal untuk membuatnya berapa. Lengkap dengan biaya kirim dan orang-orangnya. Maka akan keluar harga jual. Iya sesederhana itu. Kalaupun akan ribet, paling-paling hanya menentukan berapa harga yang tepat dari pesaing produk sejenis."
"Bapak Sam tentu juga tahu apa-apa yang rusak itu selalu ada campur tangan manusia. Produk apapun itu, diciptakan dan dibuat oleh mental dan karakter manusia yang bagus. Namun digunakan oleh manusia bermental dan berkarakter sebaliknya. Apa yang terjadi? Bisa ditebak bukan?"
"Saya menyebut harga-harga itu adalah harga berandalan. Agar lebih dipahami, lebih pas lagi kalau saya sebut harga liberandal. Sistem ekonomi liberal dengan manusianya yang berandalan."
"Jangan dikira berandalan seperti di pojok-pojok pasar itu. Mereka orangnya bersih. Sehari mandi dua tiga kali. Berdasi dan berparfum. Kaki dibungkus sepatu mengkilap. Namun mentalnya, karakternya masih jauh ketinggalan. Tidak ikut dibersihkan. Tidak ikut dikilapkan. Mentalnya buram. Bahkan banyak yang sudah usang dan bobrok." ujarnya kali ini dengan tatapan yang tajam.
"Apa sekiranya yang menyebabkan semua ini terjadi? Bapak Sam tahu? Mereka itu, berandalan berdasi itu pada dasarnya semua takut mati. Takut kelaparan. Takut tidak pegang uang lagi. Iya itulah yang menjadi sebab!" ujarnya bersemangat.
"Bapak Sam takut mati? Takut kelaparan?"
"Iya..iya.. jelaslah saya takut mati. Takut kelaparan. Kecuali Belanda datang lagi.. Hehe..," sahut Samudji bercanda.