Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Remuknya Keberanian dalam Gelap

15 Januari 2020   18:33 Diperbarui: 15 Januari 2020   20:29 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:pixabay.com

Tugas sekolah baru saja selesai. Ada kekurangan beberapa lembar kertas untuk cover. Agar berkesan serius, perlu diberi kulit penutup yang bagus. Dan tentu selembar rugos. Agar huruf-huruf judul di kulit depan terkesan rapi dan modern. Harapan mendapat nilai tinggi tentu sudah bukan di angan. 

Hari sudah malam. Anas segera menyeret sepeda gunungnya dan memancalnya kencang. Toko Buku terdekat berjarak lumayan jauh. Ada kira-kira setengah kilometer. 

"Masih jam delapan. Toko masih buka. Aku harus cepat," pikirannya berkomando.

Dia tidak melewati jalan besar. Lebih cepat lewat gang. Jalurnya memotong. Tentu lebih cepat sampai.

Beberapa gang kecil mulus dilalui. Walau ada yang gelap, dia sudah terbiasa melewatinya. Bahkan dia pernah bergurau pada kawannya. Seandainya dengan mata tertutup pun dia masih sanggup mencapai jalan besar. Saking hapalnya lika liku gang pemukiman penduduk itu. 

Beberapa puluh meter saja dari mulut gang, toko sudah terlihat. Toko Buku yang cukup sering dikunjunginya. Sedari SD hingga dia duduk di SMA kelas satu ini, toko buku itu selalu siap memenuhi kebutuhan sekolahnya.

Keperluan tugas malam itu sudah dalam genggaman. Anas bergegas balik kanan.
"Kekurangan cover dan judul saja, paling lima belas menit beres," gumamnya sambil berlalu.

Kembali dia menyusuri gang itu dengan kayuhan cepat. Pikirannya sudah di rumah. Baru saja melewati belokan kedua, belasan meter dari arah berlawanan, dia melihat sosok gelap sedang berjalan mendekat. Situasi gelap. Tidak ada lampu penerangan. Beruntung bulan masih sudi menebarkan cahaya. 

Gang yang agak sempit. Sosok lelaki seperti berambut panjang. Terurai tak beraturan. Anas memperlambat laju sepeda. Menghindari senggolan saat berpapasan. Ada rasa yang tetiba memudar enyah dari dadanya.

"Hey.. Siapa Kau?!" lelaki berambut panjang itu menghardik. Suaranya berat dan tebal. Seperti suara dari perut.

Anas belum menyahut. Hardikan itu serasa menerjang hulu hatinya. 

"Anu pak..saya..pak..," suara gemetar keluar dari mulut Anas yang kering. Jantungnya mulai memompa kencang. 

"Anu Apa?.. Turun!!" pekik geram terdengar menyambar.

Anas segera turun dari sepeda. Keberaniannya seperti lenyap di kegelapan. Dia menunduk. Telapak tangan berkeringat. Sesekali mencoba mencuri lirik wajah lelaki itu. Gelap. Hanya uraian rambut yang terterpa cahaya bulan. Sosok itu terasa lebih tinggi.

"Dia bukan lawanku. Orang yang besar..," pikirannya menyerah kalah. 

"Naik lagi!!" bentak lelaki itu.

Anas segera naik. Duduk di sadel.

"Jalan!!" bentakan berlanjut. 

Anas mengayuh perlahan. Baru dua kayuhan, 

"Brennntii...!! Turuun Kau!!"

Anas turun. Dengkulnya mulai gemetar. Lelaki itu mendekat. Sepintas lelaki itu mengenakan jaket bergambar tengkorak bordiran. Tertimpa cahaya bulan.

"Mundurr...!!" bentaknya lagi.

Dalam ketakutan yang amat sangat Anas menurut. Dia mundur menuntun sepedanya. Baru dua langkah,

"Naik lagi..!! Dan turun..!!" seru lelaki itu keras.

Anas segera naik dan kemudian turun. Dia benar-benar sudah takluk. Apa daya. Jiwanya sudah dicengkeraman lelaki itu.

Dan sekelebat tangan lelaki itu menjewer telinganya. Memutar dua kali. Panas. 

"Pergi Kau... Jangan macam-macam Kau!!" hardikan yang terdengar melegakan.

Serta merta Anas enyah dari lelaki itu. Mengayuh kencang. Degup jantung masih berantakan. Sayup terlihat pagar rumah. Anas selamat sampai di rumah.

Kejadian malam itu sungguh membuatnya berpikir ulang untuk melewati gang itu. Anas lebih memilih jalan besar. Menggunakan sepeda motor. Lebih aman, cepat dan tentunya lebih terang.

Sampai pada suatu ketika, saat di lampu merah, dia disapa seseorang yang ternyata kawan sebangkunya saat SD.

"Haloo broo... Apa kabaar??" ujar kawannya itu. Warna suara yang seperti akrab di telinga. 

Anas tak sempat menyahut. Lampu sudah hijau. Mukhson, kawan SD-nya itu cepat berbelok arah. Tak lupa melempar senyum. Rambutnya terlihat gondrong. Dan jaketnya bergambar tengkorak bordiran. 

Mata Anas berbinar-binar. Darahnya menghangat. Giginya gemertak saling menggigit kuat. Telapak tangannya mengepal kencang. 

"Kalau saja malam itu aku tahu, sudah aku telan Kau Son... Awas Kau yaa...." 

**
Rugos adalah merek dagang dan juga singkatan dari huruf gosok. Tenar era tahun 90-an sebelum teknologi printing mengambil alih. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun