Awal pulang dari menuntut ilmu, selembar ijazah sebenarnya menjadi beban. Bagaimana tidak, rasa hati untuk bekerja pada orang ataupun perusahaan bukanlah menjadi cita-cita.
Samudji tidak menyukai itu. Sedari awal dia memang suka mandiri. Cita-citanya membuka usaha sendiri. Entah apapun itu.
Rejeki pertama berhasil dia kantongi lumayan banyak. Jutaan rupiah. Hasil wara-wirinya selama sebulan. Komisi dari penjualan sebidang sawah. Tentunya sawah orang lain.
"Berat juga melakoni kerja nyalo ini. Sepertinya kurang menjamin. Aku harus mengerjakan pekerjaan yang pasti menghasilkan setiap hari. Walaupun sedikit," pikirnya saat itu.
Satu unit tempat usaha sudah disediakan ayahnya. Tidak begitu besar. Sekitar tiga kali enam meter. Cukup untuk memulai sebuah usaha. Lokasinya juga menjanjikan. Di pinggir jalan keluar sebuah pemukiman penduduk.
Modal sudah ditangan, satu dua hari dia mereka-reka beberapa pilihan usaha. Akhirnya dia memutuskan, membuka usaha bengkel motor.
Ayahnya mendukung. Apapun yang dia pilih ayahnya pasti mendukung. "Ada usaha pasti ada jalan," kata ayahnya suatu ketika.
Pernak pernik bengkel segera dilengkapi. Seperti sudah menjadi jalannya. Delapan setengah juta rupiah komisi nyalo sawah, habis menjadi peralatan bengkel dan suku cadang.
Riak Gulir Bengkel Samudji
Hari pertama buka bengkel sungguh menjanjikan. Ada beberapa yang minta ganti oli. Sering hanya membeli angin. Juga beberapa suku cadang kecil.