Sungguh hidup yang nikmat dan mulia. Sampai di sini Rasuli mangut-mangut. Sendok di mangkuk bakso belum disentuh. "Ini masih dalam kuasa gratis. Masih dalam pengaruh gratis," pikir Rasuli.
Bakso itu habis dalam beberapa menit. Air mineral pun ditenggak. Kemudian dia santai beberapa saat. Memberi selah bakso memenuhi ruang laparnya.
Kemudian dia beranjak dua langkah. Duduk di sadel motor. Tukang bakso mengawasi. Rasuli sadar sedang diawasi. Tetapi dia juga sadar tidak pernah membeli. Dia minta.
Sepeda motor dihidupkan. Tukang bakso menghampiri. "Den..baksonya belum dibayar deen..," ujar tukang bakso. Matanya menelisik.
"Oh.. Iya..maaf Pak..saya lupa..tapi.." belum selesai kalimatnya, seketika ada suara menyambar mereka. Rasuli seperti mengenal suara itu. "Hey..kau beli apa minta?" Orang itu terlihat sudah di antara mereka. Rasuli menyahut dengan suara serak, "Saya minta Paak!"
"Nah..Pak bakso, orang ini bilang minta. Dia tidak beli. Apa dia harus bayar?"
"Iya dia harus bayar Pak.." belum habis kalimat tukang bakso, datang lagi seseorang. Pakaiannya seperti orang bengkel. Rasuli juga seperti mengenalnya. Orang ini langsung nyerocos setengah berteriak, "Iyaaa Pak Baksooo..orang ini khan bilang minta..sekali lagi orang ini bilang MINTAAA...bukan beliiii... Masa harus bayarrrr??"
Ketiga orang itu melototi Rasuli. Salah satunya membawa kunci inggris. Merasa tidak membawa uang, Rasuli lari tunggang langgang.
Pemahamannya tentang istilah gratis gagal ia tularkan. Orang-orang sudah begitu terkontaminasi dengan alat tukar.
".... Inii..jelas karena saya telat lahir..harusnya saya lahir sebelum AAAT.......!!" teriaknya saat pelarian beberapa meter itu tertangkap.
Pak AT tukang obralan pakaian impor menjewer paling keras. Dia tidak ambil peduli mengapa namanya sampai disebut. Pikirannya cuma satu. Celana dan kaosnya harus terbayar. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H