Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rival Sebangku

6 November 2019   23:50 Diperbarui: 6 November 2019   23:59 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunyi bel tanda masuk kelas, baru saja terdengar. Jam istirahat pertama sudah habis. Satu persatu masuk kelas. Rata-rata masih kalem. Masih unyu-unyu. Tahun ajaran baru siswa kelas satu Sekolah Menengah Atas, baru berumur seminggu. 

"Hey.. Bin..kita taruhan yook.." ujar Suginoto teman sebangku Kobin dengan suara seperti serius. Baru seminggu saling kenal mereka sudah terlihat akrab. 

"Taruhan apa?"

"Taruhan siapa duluan terkenal di kelas ini. Aku apa kau. Taruhannya yang kalah nraktir sampai puas dua kali jam istirahat. Okay? Berani kau?" Suginoto melempar tantangan. Belum kelar Kobin menimbang, Suginoto melanjutkan kalimatnya, "Bila perlu aku angkat lagi taruhannya, bukan cuma terkenal di kelas ini. Tapi di sekolah ini. Berani Kau? Yang kalah nraktir selama seminggu!! Berani Kau?!" 

"Yaah..jelas kalah dong aku..kau khan lebih lincah. Lebih ngganteung.. Sama teman perempuan saja kau liar begitu..hebat kau..bilang saja kau mau makan gratis..pakai taruhan segala..," sahut Kobin dengan suara tertata beraturan. Seakan-akan kawannya itu dilambungkan dulu agar dirinya berkesan under dog. Walau sadar dengan kemampuan dan tampang ala kadarnya, Kobin adalah jenis manusia yang suka tantangan. 

"Bukan..maksudku bukan dikenal seperti itu. Nama panggilan kau khan Kobin. Aku Sin. Di kelas ini belum semua yang tahu. Apalagi di sekolah ini. Nah siapa yang lebih dulu dikenal dia yang menang. Gitu bro..okay? Setuju kau?" Suginoto mengejar.

Nama lengkap Kobin di kartu pelajar tertera sebagai Joyanco Binary Maronda. Sementara Sin mempunyai nama akte Suginoto Suryo Sumingkem

"Ahh..boleh..boleh..hayook..siapa takuut! Sampai kapan batasnya?"

"Sampai Jumat inilah. Sekarang khan Senin. Masih lama.." sahut Suginoto bersemangat melihat kawan ala kadarnya itu menerima tantangan. Kemenangan seakan sudah terlukis di wajahnya. 

Mereka pun melakukan tos, beradu telapak tangan. Tanda resmi dimulainya pertaruhan. 

Sejurus kemudian Ibu Lia masuk kelas. Guru Kimia. Perawakannya kecil. Rambutnya bergelombang kecil-kecil sebahu. Berkulit gelap. Jangan ditanya kepintarannya. Itu sebab beliau menjadi guru.

"Anak-anak, sekarang kita kuiz. Ibu ingin tahu sejauh mana penyerapan materi selama tiga kali pertemuan minggu lalu. Hayo segera siapkan kertas, nanti langsung dibahas," pidato Ibu Lia di depan kelas membelalakan puluhan pasang mata. Pasangan mata itu kemudian beradu dengan pasangan mata kawan sebangku. Seakan seluruh pasangan mata memancarkan gelombang yang mengeluarkan nada, "Ngapain lu gak bilang-bilang kalau akan ada kuiz? Hah?" 

Kuiz dengan lima soal lancar berlalu. Entah bisa entah tidak, entah terjawab entah tidak, kertas jawaban harus segera dikumpul. Ini mungkin cara Ibu Lia mengetahui apakah metode mengajarnya bisa terserap dengan baik atau tidak. Dari hasil Kuiz itulah akan menjadi pegangan cara mengajarnya kemudian. Ibu Lia adalah salah satu guru teladan yang dimiliki sekolah favorit itu. 

Hasil kuiz segera dibahas. Kertas jawaban sudah dipegang kawan di lajur bangku yang lain. Selesai pembahasan kertas jawaban segera dikumpul. Ibu Lia mulai memanggil satu persatu. 

"Antonius Augusto...baguuss..yang salah cuma satu soal," air muka Ibu Lia terlihat senang. Anak didiknya seperti bisa menerima gayanya mengajar.

Anton segera beranjak ke depan kelas menerima hasil yang menyelamati rona wajahnya. Tangannya mengepal di dada. Bibirnya seperti mendesis mengeluarkan suara yang pekat, "Berita bagus buat mama."

"Kobin...," Ibu Lia memanggil nama anak didik berikutnya. Pandangan Ibu Lia menyapu seluruh ruangan. Sepi. Tak ada yang menyahut. Ataupun beranjak. Seisi ruangan memutar-mutar kepala. Bak puluhan gangsing yang dilepas berbarengan. 

Kobin menyadari situasi itu. Dalam hitungan menit dia sudah memenangi pertaruhannya dengan Suginoto. Sepatu barunya seketika menginjak sepatu baru kawannya itu. Matanya menyorot tajam ke arah bola mata Suginoto. Satu alisnya menari-nari. Senyum kemenangan Adolf Hitler dipinjam beberapa detik. 

Suginoto berusaha tetap terlihat tenang walau air muka tidak rela menipu. Perasaannya seperti dipenuhi sumpah serapah. Dia tidak menyangka akan kalah sebegitu telak. Baru saja dia akan menyusun strategi terbaiknya. Tiba-tiba gendang telinganya seakan pecah mendengar gelegar nama Kobin di ruang kelas itu. Sungguh luar biasa, apalagi nama itu disebutkan oleh Ibu Lia. Guru teladan kebanggaan sekolah. Kedigjayaannya akan keyakinan menang seketika menjadi tepung dan lenyap tertiup angin. 

"Heeyy...siapa yang bernama Kobin? Mengapa diam? Ini ada orangnya apa tidak? " Ibu Lia memanggil sekali lagi. Nada suaranya meninggi. 

Kobin cepat tersadar tangannya seketika terangkat. Badannya beranjak. Mulutnya menyahut, "Sa.. Saya buu..."

"Benar namamu Kobin?" 

"Benar Bu..itu nama panggilan saya..," sahut Kobin dengan nada bangga. Seisi ruangan menyorotnya. Termasuk Suginoto yang sudah terlebih dahulu mengetahui nama yang akan terkenal itu.

"Baik..kamu sudah main-main dengan pelajaran Ibu. Kamu sudah tidak serius. Menggunakan nama panggilan. Ini bukan di rumahmu. Dan lagi dari lima soal kuiz, semuanya salah. Jawabanmu ngawur. Asal-asalan. Sekarang kamu harus dihukum! Kamu harus minta maaf ke seluruh kelas! Masuki satu persatu kelas di sekolah ini! Ceritakan perilakumu itu! Terakhir kamu ke ruang komunikasi. Di kantor depan. Ucapkan lagi kalimat-kalimatmu itu ke pengeras suara! Cepat sekarang..!" tegas dan tandas Ibu Lia menghukum Kobin. 

Kobin bergegas lari ke kelas sebelah. Sayup-sayup terdengar Kobin menceritakan kebodohannya itu. Kemudian minta maaf tidak mengulangi lagi. Begitu terus sampai habis seluruh ruangan dimasuki. Tidak kurang dari tiga puluh ruangan. Termasuk beberapa ruang lab dan perpustakaan.

Kakinya mulai terasa gontai. Tetapi dia tidak mau rubuh. Dia sudah menang. Makan gratis seminggu sudah pasti. 

Sekolah yang sungguh luas. Belum lagi ada kelas di gedung bertingkat. Setiap kelas yang dimasuki, suasana menjadi riuh. Kobin siswa baru itu sedang akan terkenal.

Di dalam ruang kelas, Ibu Lia sedang memberi briefing sehubungan dengan perilaku Kobin yang kurang elok itu. Selagi seisi ruangan serius mendengarkan, terdengar suara gemetar Kobin melalui pengeras suara. "Nama saya Joyanco Binary Maronda. Nama panggilan saya, Kobin. Saya mohon maaf karena tidak serius di dalam kelas. Saya berjanji untuk tidak mengulanginya." Kobin mengucapkan sampai tiga kali. Seluruh ruangan di sekolah itu menjadi riuh. 

Kawan seisi kelas tertawa terkekeh-kekeh menyaksikan atraksi kawan barunya itu. Tidak terkecuali Suginoto. Hanya mereka berdua yang memahami situasi itu.

"Ternyata dia bukan orang sembarangan. Aku mengaku kalah..," gumam Suginoto sesaat setelah Kobin masuk kelas dan mendapat standing applaus seisi ruangan. **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun