"Anak-anak, sekarang kita kuiz. Ibu ingin tahu sejauh mana penyerapan materi selama tiga kali pertemuan minggu lalu. Hayo segera siapkan kertas, nanti langsung dibahas," pidato Ibu Lia di depan kelas membelalakan puluhan pasang mata. Pasangan mata itu kemudian beradu dengan pasangan mata kawan sebangku. Seakan seluruh pasangan mata memancarkan gelombang yang mengeluarkan nada, "Ngapain lu gak bilang-bilang kalau akan ada kuiz? Hah?"
Kuiz dengan lima soal lancar berlalu. Entah bisa entah tidak, entah terjawab entah tidak, kertas jawaban harus segera dikumpul. Ini mungkin cara Ibu Lia mengetahui apakah metode mengajarnya bisa terserap dengan baik atau tidak. Dari hasil Kuiz itulah akan menjadi pegangan cara mengajarnya kemudian. Ibu Lia adalah salah satu guru teladan yang dimiliki sekolah favorit itu.
Hasil kuiz segera dibahas. Kertas jawaban sudah dipegang kawan di lajur bangku yang lain. Selesai pembahasan kertas jawaban segera dikumpul. Ibu Lia mulai memanggil satu persatu.
"Antonius Augusto...baguuss..yang salah cuma satu soal," air muka Ibu Lia terlihat senang. Anak didiknya seperti bisa menerima gayanya mengajar.
Anton segera beranjak ke depan kelas menerima hasil yang menyelamati rona wajahnya. Tangannya mengepal di dada. Bibirnya seperti mendesis mengeluarkan suara yang pekat, "Berita bagus buat mama."
"Kobin...," Ibu Lia memanggil nama anak didik berikutnya. Pandangan Ibu Lia menyapu seluruh ruangan. Sepi. Tak ada yang menyahut. Ataupun beranjak. Seisi ruangan memutar-mutar kepala. Bak puluhan gangsing yang dilepas berbarengan.
Kobin menyadari situasi itu. Dalam hitungan menit dia sudah memenangi pertaruhannya dengan Suginoto. Sepatu barunya seketika menginjak sepatu baru kawannya itu. Matanya menyorot tajam ke arah bola mata Suginoto. Satu alisnya menari-nari. Senyum kemenangan Adolf Hitler dipinjam beberapa detik.
Suginoto berusaha tetap terlihat tenang walau air muka tidak rela menipu. Perasaannya seperti dipenuhi sumpah serapah. Dia tidak menyangka akan kalah sebegitu telak. Baru saja dia akan menyusun strategi terbaiknya. Tiba-tiba gendang telinganya seakan pecah mendengar gelegar nama Kobin di ruang kelas itu. Sungguh luar biasa, apalagi nama itu disebutkan oleh Ibu Lia. Guru teladan kebanggaan sekolah. Kedigjayaannya akan keyakinan menang seketika menjadi tepung dan lenyap tertiup angin.
"Heeyy...siapa yang bernama Kobin? Mengapa diam? Ini ada orangnya apa tidak? " Ibu Lia memanggil sekali lagi. Nada suaranya meninggi.
Kobin cepat tersadar tangannya seketika terangkat. Badannya beranjak. Mulutnya menyahut, "Sa.. Saya buu..."
"Benar namamu Kobin?"