Mohon tunggu...
Onessimus Febryan Ambun
Onessimus Febryan Ambun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat IFTK Ledalero-Flores

Benedictvs Dominvs Fortis mevs qvi docet manvs meas ad proelivm digitos meos ad bellvm

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ritus "Teing Hang Empo" dalam Kebudayaan Manggarai dan Pertautannya dengan Tradisi Penghormatan kepada Leluhur dalam Konfusianisme

20 Mei 2023   22:07 Diperbarui: 20 Mei 2023   22:19 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.tvonenews.com /berita/nasional/91654-ritual-teing-hang-di-manggarai-rutin-dilakukan-saat-penutupan-tahun

Sejak zaman lampau, praktik penghormatan yang ditujukan kepada para leluhur atau yang disebut sebagai ancestral veneration merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung selama ribuan tahun dan sudah meluas ke berbagai penjuru dunia. Tradisi mengenang, menghormati, dan mengasihi the living dead (para leluhur atau orang yang secara fisik sudah meninggal, tetapi jiwanya dipercayai tetap hidup) merupakan sebuah praktik yang sangat umum ditemui dalam berbagai tradisi dan kebudayaan manusia. 

Setiap kebudayaan pastinya memiliki praktik semacam ini. Suku-suku di Asia, Afrika, Amerika, dan bahkan suku-suku bangsa di Eropa memiliki tradisi seperti ini. Namun, hal ini dapat dirasakan dengan kuat terutama dalam tradisi Konfusianisme yang telah berakar sangat kuat di Cina selama ribuan tahun. 

Dalam Konfusianisme, penghormatan terhadap leluhur merupakan salah satu konsep dan tradisi paling penting. Hal yang sama juga dapat ditemui dalam budaya Manggarai. Praktik menghormati para leluhur ini dapat dilihat dalam ritus Teing Hang Ise Empo (memberi makan para leluhur). Di sini, penulis akan mencoba untuk mempertautkan makna ritus tersebut dengan Filsafat Timur yang diwakili oleh Filsafat Konfusius.

Ritus Teing Hang Empo dalam Kebudayaan Manggarai

Sumber gambar: https://ekorantt.com/2019/09/02/ritual-teing-hang-awali-prosesi-ubah-nama-dua-kecamatan-di-matim/
Sumber gambar: https://ekorantt.com/2019/09/02/ritual-teing-hang-awali-prosesi-ubah-nama-dua-kecamatan-di-matim/

Ritus Teing Hang Ise Empo atau dalam Bahasa Indonesianya disebut sebagai Ritus Memberi Makan Para Leluhur adalah ritus adat paling utama dalam masyarakat dan kebudayaan Manggarai. Ritus ini sangat diutamakan karena dalam masyarakat dan kebudayaan Manggarai, leluhur mempunyai tempat yang sangat istimewa. Jika dalam perspektif orang Eropa, leluhur hanyalah seorang yang sudah meninggal, seorang yang sudah berpindah dari tatanan biologis-material ke tatanan spiritual dan oleh karena itu, tidak memiliki pengaruh lagi atas orang-orang yang masih hidup[1], maka dalam pandangan orang Manggarai, leluhur atau empo adalah anggota persekutuan manusiawi (masyarakat) yang cuma kehilangan badan ragawinya, tetapi tetap serupa dengan setiap anggota persekutuan kemasyarakatan. Konsekwensinya, para leluhur bagi orang Manggarai tetap memiliki andil yang serius dalam tatanan adat dan kemasyarakatan orang Manggarai meskipun mereka telah meninggal. Oleh karena itu, Ritus Teing Hang merupakan ritus paling utama dalam semua upacara-upacara lain, sama seperti perayaan Ekaristi dalam Gereja Katolik.  

Orang Manggarai pada ghalibnya juga begitu menghormati dan mengasihi para leluhur mereka. Mereka memanifestasikan kedekatan, rasa cinta, kekaguman, serta penghormatan mereka yang begitu besar melalui praktik pemberian sesajen atau teing hang dalam bahasa Manggarai. Teing Hang adalah upacara memberikan makan kepada leluhur (empo) dengan hewan kurban. Adapun hewan yang dipakai dalam ritus tersebut adalah ayam jantan dengan warna bulu tertentu sesuai dengan konteks upacara yang berlaku. 

Sumber gambar: https://www.tvonenews.com /berita/nasional/91654-ritual-teing-hang-di-manggarai-rutin-dilakukan-saat-penutupan-tahun
Sumber gambar: https://www.tvonenews.com /berita/nasional/91654-ritual-teing-hang-di-manggarai-rutin-dilakukan-saat-penutupan-tahun

Dalam tradisi orang Manggarai, Ritus Teing Hang selalu diselingi oleh doa-doa penghormatan dan permohonan kepada para leluhur. Hal ini disebabkan karena hubungan orang Manggarai dengan para leluhur dapat dikatakan sangat erat dan akrab, bahkan bisa dikatakan lebih dekat daripada hubungannya dengan Tuhan. Dasar pemikirannya bahwa masyarakat Manggarai mengamini dan percaya bahwa roh atau arwah para leluhur masih hidup, sehingga tetap membangun relasi yang sangat dekat dengan mereka.[2] Bagi orang Manggarai juga, penghormatan kepada para leluhur berfungsi untuk menegakan kewibawaan serta kewenangan para tua-tua, mendukung kontrol sosial serta mempertahankan nilai-nilai sosial, karena orang Manggarai percaya bahwa para leluhur masih mempunyai otoritas yang kuat atas adat.

Pertautannya dengan Tradisi Penghormatan kepada Leluhur ala Konfusianisme

Sumber gambar: ChinaDaily.com
Sumber gambar: ChinaDaily.com

Seperti Ritus Teing Hang Empo, penghormatan yang sama kepada leluhur juga dihidupi dalam tradisi religius-kultural ala Konfusianisme. Dalam ajaran Konfusianisme tentang jen/ren, terdapat salah satu konsep dasar ajaran tersebut, yakni filial piety atau , xio yang dalam bahasa Indonesianya dapat diterjemahkan sebagai bakti anak kepada orang tua.[3] Konsep ini adalah dasar dari praktik dan tradisi penghormatan kepada para leluhur bagi orang-orang yang menganut ajaran Konfucius. Bagi para penganut Konfusianisme terutama orang-orang Cina, bakti kepada orang tua adalah salah satu keutamaan yang harus dilakukan semua orang.

Dalam pemaknaan para penganut Konfusianisme, filial piety atau xio berarti berbuat baik kepada orang tua; merawat orang tua; melakukan perbuatan baik yang membawa nama baik orang tua, menghidupi orang tua serta melaksanakan penghormatan dan memberi makan orang tua yang telah meninggal, yaitu para leluhur. Menurut Karyn L. Lai, xio atau filial piety, adalah jiwa orang Cina. Orang Cina sangat mencintai keluarga mereka, dan aspek dasar kekeluargaan menurut mereka adalah bakti kepada orang tua entah yang masih hidup maupun yang telah meninggal (leluhur).[4] 

Sumber gambar: https://www.quora.com/Do-modern-Chinese-still-perform-ancestor-worship-What-rituals-are-used
Sumber gambar: https://www.quora.com/Do-modern-Chinese-still-perform-ancestor-worship-What-rituals-are-used

Penghormatan kepada leluhur pada budaya Cina (Hanzi, ) yang bertumpu pada ajaran Konfusius adalah sebuah tradisi yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk berusaha mencukupi kebutuhan leluhur yang sudah meninggal (makanan, buah-buahan, uang, dupa, lilin, dll) dan membuat mereka berbahagia di akhirat. Hal ini didasarkan pada kepercayaan atas "dunia lain" setelah kematian. Tradisi ini dipraktikkan sebagai upaya untuk tetap menunjukkan bakti kepada orang tua yang telah meninggal, dan juga memperkokoh persatuan dalam keluarga dan yang segaris keturunan serta mempertahankan nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat.[5] Dalam praktiknya, tradisi ini seringkali diselingi bukan saja oleh ungkapan penghormatan dan persembahan, tetapi juga oleh ungkapan permohonan. 

Jika dipertautkan dengan Ritus Teing Hang Ise Empo dalam budaya Manggarai, tradisi Hanzi dalam budaya Cina yang berakar dari Filsafat Timur (Konfusianisme) sama-sama memperlihatkan kepercayaan akan adanya kehidupan lain setelah kematian. Kepercayaan ini sangat kuat diimani kedua budaya tersebut sehingga dalam kepercayaanya masing-masing, kedua budaya tersebut percaya bahwa meskipun terdapat jurang yang sangat dalam antara kehidupan dan kematian, hubungan antara manusia yang ada di dunia ini dan manusia yang ada di dunia akhirat tidak terputus dan bahkan tetap terjalin hingga kekal. Melalui ritus ancestral veneration atau penghormatan kepada para leluhur yang ada dalam dua kebudayaan tersebut, mereka percaya bahwa hubungan antara yang hidup dan yang sudah meninggal (namun hidup di dunia lain) tetap terpelihara.

Pada hakikatnya, kedua ritus yang ditemukan dalam budaya Manggarai dan Cina tersebut juga sama-sama menunjukan aspek bakti kepada orang tua (leluhur). Bagi kedua budaya ini, bakti kepada orang tua (leluhur) didasarkan kepada cinta kasih antara orang tua dan anak. Karena itu, dalam tradisi Manggarai dan Cina (Konfusianisme), tradisi menghormati para leluhur berfungsi sebagai upaya untuk menegakan kewibawaan serta kewenangan orang tua, mendukung kontrol sosial serta mempertahankan nilai-nilai sosial dalam masyarakat kebanyakan. Sehingga, dengan itu para leluhur, yakni para orang tua yang telah meninggal pada akhirnya juga akan memberkati, melindungi, dan menyertai anak-anak mereka di bumi untuk membalas kebaikan mereka.  

Notes:

[1] Alex Jebadu, Bukan Berhala: Penghormatan Kepada Para Leluhur (Maumere, Ledalero: 2009), hlm. 87.

[2] Petrus Janggur, Butir-Butir Adat Manggarai, Buku I (Ruteng: Artha Gracia, 2008), hlm. 44.

[3] Karyn L. Lai, An Introduction to Chinese Philosophy (New York: Cambridge University Press, 2008), hlm. 24.

[4] Ibid.

[5] "Ancestor Veneration in China", dalam Chinasage [t.p], https://www.chinasage.info/ancestors.htm, diakses pada 25 April 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun