Sejak zaman lampau, praktik penghormatan yang ditujukan kepada para leluhur atau yang disebut sebagai ancestral veneration merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung selama ribuan tahun dan sudah meluas ke berbagai penjuru dunia. Tradisi mengenang, menghormati, dan mengasihi the living dead (para leluhur atau orang yang secara fisik sudah meninggal, tetapi jiwanya dipercayai tetap hidup) merupakan sebuah praktik yang sangat umum ditemui dalam berbagai tradisi dan kebudayaan manusia.Â
Setiap kebudayaan pastinya memiliki praktik semacam ini. Suku-suku di Asia, Afrika, Amerika, dan bahkan suku-suku bangsa di Eropa memiliki tradisi seperti ini. Namun, hal ini dapat dirasakan dengan kuat terutama dalam tradisi Konfusianisme yang telah berakar sangat kuat di Cina selama ribuan tahun.Â
Dalam Konfusianisme, penghormatan terhadap leluhur merupakan salah satu konsep dan tradisi paling penting. Hal yang sama juga dapat ditemui dalam budaya Manggarai. Praktik menghormati para leluhur ini dapat dilihat dalam ritus Teing Hang Ise Empo (memberi makan para leluhur). Di sini, penulis akan mencoba untuk mempertautkan makna ritus tersebut dengan Filsafat Timur yang diwakili oleh Filsafat Konfusius.
Ritus Teing Hang Empo dalam Kebudayaan Manggarai
Ritus Teing Hang Ise Empo atau dalam Bahasa Indonesianya disebut sebagai Ritus Memberi Makan Para Leluhur adalah ritus adat paling utama dalam masyarakat dan kebudayaan Manggarai. Ritus ini sangat diutamakan karena dalam masyarakat dan kebudayaan Manggarai, leluhur mempunyai tempat yang sangat istimewa. Jika dalam perspektif orang Eropa, leluhur hanyalah seorang yang sudah meninggal, seorang yang sudah berpindah dari tatanan biologis-material ke tatanan spiritual dan oleh karena itu, tidak memiliki pengaruh lagi atas orang-orang yang masih hidup[1], maka dalam pandangan orang Manggarai, leluhur atau empo adalah anggota persekutuan manusiawi (masyarakat) yang cuma kehilangan badan ragawinya, tetapi tetap serupa dengan setiap anggota persekutuan kemasyarakatan. Konsekwensinya, para leluhur bagi orang Manggarai tetap memiliki andil yang serius dalam tatanan adat dan kemasyarakatan orang Manggarai meskipun mereka telah meninggal. Oleh karena itu, Ritus Teing Hang merupakan ritus paling utama dalam semua upacara-upacara lain, sama seperti perayaan Ekaristi dalam Gereja Katolik. Â
Orang Manggarai pada ghalibnya juga begitu menghormati dan mengasihi para leluhur mereka. Mereka memanifestasikan kedekatan, rasa cinta, kekaguman, serta penghormatan mereka yang begitu besar melalui praktik pemberian sesajen atau teing hang dalam bahasa Manggarai. Teing Hang adalah upacara memberikan makan kepada leluhur (empo) dengan hewan kurban. Adapun hewan yang dipakai dalam ritus tersebut adalah ayam jantan dengan warna bulu tertentu sesuai dengan konteks upacara yang berlaku.Â
Dalam tradisi orang Manggarai, Ritus Teing Hang selalu diselingi oleh doa-doa penghormatan dan permohonan kepada para leluhur. Hal ini disebabkan karena hubungan orang Manggarai dengan para leluhur dapat dikatakan sangat erat dan akrab, bahkan bisa dikatakan lebih dekat daripada hubungannya dengan Tuhan. Dasar pemikirannya bahwa masyarakat Manggarai mengamini dan percaya bahwa roh atau arwah para leluhur masih hidup, sehingga tetap membangun relasi yang sangat dekat dengan mereka.[2] Bagi orang Manggarai juga, penghormatan kepada para leluhur berfungsi untuk menegakan kewibawaan serta kewenangan para tua-tua, mendukung kontrol sosial serta mempertahankan nilai-nilai sosial, karena orang Manggarai percaya bahwa para leluhur masih mempunyai otoritas yang kuat atas adat.
Pertautannya dengan Tradisi Penghormatan kepada Leluhur ala Konfusianisme