Mohon tunggu...
Onessimus Febryan Ambun
Onessimus Febryan Ambun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat IFTK Ledalero-Flores

Benedictvs Dominvs Fortis mevs qvi docet manvs meas ad proelivm digitos meos ad bellvm

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Etika Stoicisme: Ketenangan Orang Bijak

27 Agustus 2022   22:21 Diperbarui: 27 Agustus 2022   22:33 1767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaisar Marcus Aurelius - Salah satu Filsuf Stoic di Era Romawi (Sumber gambar: Dailystoic.com)

”Accept the things to which fate binds you, and love the people with whom fate brings you together, but do so with all your heart.” 

Marcus Aurelius (De Meditatione/Ta Eis Heauton [180 SM, 45])

Stoicisme atau aliran Stoa adalah salah satu aliran Filsafat yang sangat terkenal di dunia barat. Aliran Stoa didirikan oleh Zeno dari Kition sekitar tahun 300 SM. 

Zeno adalah salah satu murid seorang filsuf dari aliran Cynisme, tetapi karena Zeno memiliki pemikirannya sendiri tentang alur pikir filosofis, maka Zeno mendirikan aliran dan mahzabnya sendiri. 

Di Yunani dan Romawi ajaran filosofisnya berkembang pesat. Stoicisme pada saat itu mendapat banyak respon positif dan juga respon negatif. 

Di Roma misalnya, terdapat beberapa filsuf besar yang beraliran Stoa dan dipengaruhi oleh Stoicisme itu sendiri, seperti Cicero, Seneca, Epitectus dan Marcus Aurelius. Mereka inilah yang menjadi nama-nama besar di dunia Stoicisme. 

Nama Stoa diambil dari tempat para filsuf aliran ini berkumpul pada masa itu (stoa poikile: balai bertiang/serambi/beranda berwarna-warni). Zeno dari Kition yang mendirikan aliran Stoa seringkali mengajar di balai bertiang ini. Ia dan murid-muridnya dijuluki kaum Stoa karena kebiasaan mereka untuk mengajar di situ. 

Pengajaran kaum Stoic sangat luas dan beragam, tetapi dapat disimpulkan bahwa pijakannya adalah berkisar tentang perkembangan logika, fisika, dan etika. 

Pengajaran yang paling mencolok yang diberikan kaum Stoic pada masa itu adalah etika. Di sini kita akan berfokus pada etika Stoicisme. Namun, sebelum membahas etika Stoic, ada baiknya jika kita membahas kosmologinya terlebih dahulu.

Kosmologi Stoic: Manusia di bawah Logos (Akal Budi Ilahi)

Etika kaum Stoic tidak lepas dari kosmologinya. Kosmologi kaum Stoa memainkan peranan penting bagi etikanya. Kosmologi kaum Stoa berpijak pada dua realitas, yaitu Yang Ilahi dan Alam. Pijakan ini yang akan menjadi dasar bagi etika a’la kaum Stoa. 

Dalam kosmologinya, kaum Stoa mengajarkan bahwa Yang Ilahi dan Alam, menyatu. Tidak ada Allah di belakang alam semesta. Pandangan dunia Stoa adalah monistik: dunia itu sekaligus materiil, ilahi dan rasional. Seluruh realitas pada hakikatnya bersifat materil. 

Segala yang ada bersifat bendawi. Namun, ada materi yang lebih padat, yaitu benda-benda, dan ada yang halus, yaitu kekuatan-kekuatan yang menggerakkannya yang disebut api atau pneuma, jiwa. 

Bagi kaum Stoa, alam semesta itu diresapi seluruhnya oleh logos, akal budi ilahi. Namun, logos itu bukan sesuatu dari luar yang terpisah dari alam semesta; logos adalah hukum alam universal yang mendasari segala gerak, yang menentukan apa pun yang terjadi. Dalam alam semesta berlaku determinisme mutlak: segala apa pun terjadi dengan pasti. Manusia pun berada di bawah takdir.

Namun muncul pertanyaan, apabila segala yang terjadi sudah menjadi takdir, bagaimana mungkin kita bertanya tentang keharusan bertindak? Bukankah kita tidak memiliki kebebasan lagi? Di sini filsafat Stoa tidak mencapai konsistensi logis yang tajam. Namun demikian, etika Stoa berkaitan erat dengan kosmologinya. 

Etika Stoa: Seni Hidup yang Menunjukkan Jalan kepada Kebahagiaan

Kaisar Marcus Aurelius - Salah satu Filsuf Stoic di Era Romawi (Sumber gambar: Dailystoic.com)
Kaisar Marcus Aurelius - Salah satu Filsuf Stoic di Era Romawi (Sumber gambar: Dailystoic.com)

Menurut kaum Stoa, etika mereka adalah seni hidup yang menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Kebahagiaan bagi kaum Stoa adalah keberhasilan hidup. Kehidupan manusia dapat berhasil apabila ia dapat mempertahankan dirinya. Manusia mempertahankan dirinya apabila ia menyesuaikan diri dengan hukum alam. Dengan demikian, melalui pemikirannya, manusia dapat berpartisipasi dalam logos alam semesta – dalam hukum ilahi dan rasional yang mengatur serta menentukan segala yang terjadi. 

Stoa mempergunakan istilah oikeiosis yang berarti “mengambil sebagai milik”. Artinya, langkah demi langkah, manusia menjadikan alam semesta sebagai miliknya. Aksi akuisisi ini diawali dengan memiiki tubuhnya sendiri, lingkungan dekat, dan akhirnya seluruh realitas. Dengan demikian ia semakin menyatu dengan keseluruhan yang ada.

Bagi para Stoic, prinsip etis hidup mereka adalah melakukan perbuatan yang baik. Namun, apa itu “perbuatan yang baik”? Bagi Kaum Stoa, perbuatan yang baik adalah menyesuaikan diri dengan hukum alam dan oleh karena itu perbuatan buruk adalah tidak mau menyesuaikan diri. Di situ orang bijak menunjukkan diri; dengan sadar ia menerima apa yang memang tidak dapat dihindari sesuai prinsip takdir.

Bagi Stoa, kebebasan tidak berarti bahwa manusia bebas dari takdir. Manusia mencapai kebebasan apabila ia dengan sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam yang tak terelakkan itu. Dengan tunduk pada hukum alam, manusia hanya tunduk terhadap dirinya sendiri. Ia dan alam serta logos yang meresapinya adalah satu. Apa pun yang terjadi terhadap dirinya adalah kehendaknya sendiri. Karena itu, ia bebas secara sempurna.

Jadi, bagi kaum Stoa, kebebasan terletak dalam kesadaran bahwa semua yang ada, berada di bawah keniscayaan alam semesta serta dalam memahami keniscayaan itu sebagai hukumnya sendiri, manusia yang telah menjadi bijaksana dengan menerima takdirnya sama seperti ia menerima bahwa ia tumbuh dan menjadi dewasa.

Filsafat Stoa mengungkapkan cita-cita kebahagiaan sebagai cita-cita autarkia. Autarkia berarti bahwa manusia sama sekali berdiri pada dirinya sendiri (kemandirian). Dalam menyatu dengan seluruh realitas, manusia tidak tergantung lagi pada apapun di luarnya.

Manusia yang autark menikmati ataraxia dan apathia: dua keadaan yang bebas dari kebingungan, keterkejutan, keresahan, dan bebas dari penderitaan. 

Nikmat atau merasa sakit baginya sama saja. Dua keadaan itu bukanlah keadaan psikologis yang dinikmati orang yang secara bijaksana menghindari kesusahan hidup, melainkan sikap mental yang kuat, yang bertekad menyatu dengan hukum alam. Dengan demikian manusia dapat mencapai kebahagiaan.

Etika Stoa dicirikan oleh peran kehendak. Stoa tidak mencari perasaan nikmat, tetapi perasaan bahagia. Baginya kebahagiaan terletak dalam keutamaan moral sendiri, dalam tekad kehendak untuk melakukan kewajiban. Stoicisme adalah etika pertama yang menempatkan istilah kewajiban pada pusatnya. 

Bagi Stoa, tindakan yang baik dalam arti moral bukan tindakan yang asal saja secara obyektif sesuai dengan hukum alam, melainkan yang dilakukan demi hukum alam.

Ho Shopos: Si Bijaksana

(Sumber gambar: Dailysabah.com)
(Sumber gambar: Dailysabah.com)

Cita-cita Stoa adalah menjadi Ho Sophos, si Bijaksana. Orang yang bijaksana berarti berarti orang melakukan keutamaan. Keutamaan bagi Stoa terdiri dalam kesadaran akan kewajiban; ia menuntut agar manusia menyangkal diri, melepaskan diri dari segala ketergantungan kepada benda-benda duniawi. 

Berhadapan dengan kewajiban akal budi, nilai-nilai duniawi tidak berarti apa-apa. Stoa menekankan bahwa manusia harus bersikap keras terhadap dirinya sendiri. Manusia harus menaklukkan hawa nafsu dan kecondongan rendah. Ia harus menyatukan diri pada akal budi ilahi seutuhnya.

Cita-cita kebijaksanaan merupakan inti etika Stoa. Manusia bijaksana adalah manusia yang menyangkal diri dari nilai-nilai duniawi dan menyatukan diri dengan logos, akal budi ilahi. Ia telah mengalahkan hawa nafsu dan dorongan irasional. Ia bahagia karena mengetahui diri berada dalam keselarasan sempurna dengan hukum ilahi yang meresapi seluruh alam semesta. 

Ia tidak menderita karena ia telah mematikan hawa nafsu dan mencapai ketenangan jiwa. Apa pun yang terjadi tidak dapat membuatnya gusar lagi. Itulah sikap stoikal yang masuk dalam bahasa-bahasa dunia modern dan tetap dikagumi: ketenangan hati yang tak dapat digoyangkan. 

Bagi seorang Stoic, apapun dapat diterima – termasuk putus cinta, hehehehe. Stoa tidak tanggung-tanggung dalam cita-cita ketakterkejutan itu. Ia tahu bahwa suatu perkembangan mungkin saja terjadi yang secara emosional tidak lagi dapat ditampung, di mana ia dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang tak dapat diterima lagi. 

Daripada mengambil sikap yang tidak sesuai dengan keseimbangan batin, lebih baik bunuh diri. Bagi kaum Stoa, bunuh diri adalah pilihan rasional terakhir dalam pergumulan hidupnya (dan sekurang-kurangnya tiga tokoh Stoa: Zeno, Kleanthes, dan Seneca, memang melakukan bunuh diri).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun