Ia tidak menderita karena ia telah mematikan hawa nafsu dan mencapai ketenangan jiwa. Apa pun yang terjadi tidak dapat membuatnya gusar lagi. Itulah sikap stoikal yang masuk dalam bahasa-bahasa dunia modern dan tetap dikagumi: ketenangan hati yang tak dapat digoyangkan.Â
Bagi seorang Stoic, apapun dapat diterima – termasuk putus cinta, hehehehe. Stoa tidak tanggung-tanggung dalam cita-cita ketakterkejutan itu. Ia tahu bahwa suatu perkembangan mungkin saja terjadi yang secara emosional tidak lagi dapat ditampung, di mana ia dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang tak dapat diterima lagi.Â
Daripada mengambil sikap yang tidak sesuai dengan keseimbangan batin, lebih baik bunuh diri. Bagi kaum Stoa, bunuh diri adalah pilihan rasional terakhir dalam pergumulan hidupnya (dan sekurang-kurangnya tiga tokoh Stoa: Zeno, Kleanthes, dan Seneca, memang melakukan bunuh diri).