Etika kaum Stoic tidak lepas dari kosmologinya. Kosmologi kaum Stoa memainkan peranan penting bagi etikanya. Kosmologi kaum Stoa berpijak pada dua realitas, yaitu Yang Ilahi dan Alam. Pijakan ini yang akan menjadi dasar bagi etika a’la kaum Stoa.
Dalam kosmologinya, kaum Stoa mengajarkan bahwa Yang Ilahi dan Alam, menyatu. Tidak ada Allah di belakang alam semesta. Pandangan dunia Stoa adalah monistik: dunia itu sekaligus materiil, ilahi dan rasional. Seluruh realitas pada hakikatnya bersifat materil.
Segala yang ada bersifat bendawi. Namun, ada materi yang lebih padat, yaitu benda-benda, dan ada yang halus, yaitu kekuatan-kekuatan yang menggerakkannya yang disebut api atau pneuma, jiwa.
Bagi kaum Stoa, alam semesta itu diresapi seluruhnya oleh logos, akal budi ilahi. Namun, logos itu bukan sesuatu dari luar yang terpisah dari alam semesta; logos adalah hukum alam universal yang mendasari segala gerak, yang menentukan apa pun yang terjadi. Dalam alam semesta berlaku determinisme mutlak: segala apa pun terjadi dengan pasti. Manusia pun berada di bawah takdir.
Namun muncul pertanyaan, apabila segala yang terjadi sudah menjadi takdir, bagaimana mungkin kita bertanya tentang keharusan bertindak? Bukankah kita tidak memiliki kebebasan lagi? Di sini filsafat Stoa tidak mencapai konsistensi logis yang tajam. Namun demikian, etika Stoa berkaitan erat dengan kosmologinya.
Etika Stoa: Seni Hidup yang Menunjukkan Jalan kepada Kebahagiaan
Menurut kaum Stoa, etika mereka adalah seni hidup yang menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Kebahagiaan bagi kaum Stoa adalah keberhasilan hidup. Kehidupan manusia dapat berhasil apabila ia dapat mempertahankan dirinya. Manusia mempertahankan dirinya apabila ia menyesuaikan diri dengan hukum alam. Dengan demikian, melalui pemikirannya, manusia dapat berpartisipasi dalam logos alam semesta – dalam hukum ilahi dan rasional yang mengatur serta menentukan segala yang terjadi.
Stoa mempergunakan istilah oikeiosis yang berarti “mengambil sebagai milik”. Artinya, langkah demi langkah, manusia menjadikan alam semesta sebagai miliknya. Aksi akuisisi ini diawali dengan memiiki tubuhnya sendiri, lingkungan dekat, dan akhirnya seluruh realitas. Dengan demikian ia semakin menyatu dengan keseluruhan yang ada.
Bagi para Stoic, prinsip etis hidup mereka adalah melakukan perbuatan yang baik. Namun, apa itu “perbuatan yang baik”? Bagi Kaum Stoa, perbuatan yang baik adalah menyesuaikan diri dengan hukum alam dan oleh karena itu perbuatan buruk adalah tidak mau menyesuaikan diri. Di situ orang bijak menunjukkan diri; dengan sadar ia menerima apa yang memang tidak dapat dihindari sesuai prinsip takdir.
Bagi Stoa, kebebasan tidak berarti bahwa manusia bebas dari takdir. Manusia mencapai kebebasan apabila ia dengan sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam yang tak terelakkan itu. Dengan tunduk pada hukum alam, manusia hanya tunduk terhadap dirinya sendiri. Ia dan alam serta logos yang meresapinya adalah satu. Apa pun yang terjadi terhadap dirinya adalah kehendaknya sendiri. Karena itu, ia bebas secara sempurna.