Mohon tunggu...
Onessimus Febryan Ambun
Onessimus Febryan Ambun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat IFTK Ledalero-Flores

Benedictvs Dominvs Fortis mevs qvi docet manvs meas ad proelivm digitos meos ad bellvm

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nietzsche: Jangan Ikuti Siapapun!

28 April 2022   22:28 Diperbarui: 29 April 2022   06:47 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu fenomena yang sering kali saya temui dalam diri orang lain atau dalam diri saya sendiri adalah fenomena "hidup ikut-ikutan" atau "hidup ikut arus". Di zaman ini, ataupun zaman belakangan, fenomena ini sekiranya tak pernah luntur dari catatan sejarah. Hampir setiap manusia pastinya pernah mengikuti tren yang sedang bergema dan membudaya di masanya, entah itu tren berpakaian, berdandan, ataupun bernalar. Hal paling pasti yang dapat dilihat dari fenomena ini menurut saya adalah bahwa "hidup ikut-ikutan" atau "hidup ikut tren" ini merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan itu sendiri. Manusia sering kali cenderung untuk menyesuaikan gaya hidup dan perilaku mereka dengan kelompok atau komunitas sosial yang ditinggalinya.

Hidup ikut-ikutan atau dalam bahasa ilmiahnya disebut sebagai konformitas pada dasarnya didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk mengubah persepsi, opini dan perilaku mereka sehingga sesuai atau konsisten dengan norma-norma kelompok (Suryanto dkk., 2012).  Myers (2010) mengemukakan bahwa konformitas berarti perubahan perilaku pada individu  sebagai akibat dari adanya tekanan kelompok. Ditambahkan oleh Myers, konformitas bukan sekadar berperilaku seperti orang lain, melainkan juga dipengaruhi oleh bagaimana orang lain berperilaku. Konformitas adalah proses dalam diri anggota kelompok untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma yang ada dalam kelompok (Riggio, 2009). Hal ini dilakukan sebagai gambaran kepatuhan anggota terhadap norma kelompok dan hal tersebut akan sangat membantu mempertahankan keteraturan dan keseragaman dalam kelompok.

Dalam sudut pandang filosofis, hidup ikut-ikutan atau disebut juga dengan konformitas merupakan hal yang secara umum dipandang sebagai hal yang bersifat negatif. Sebab, pada dasarnya filsafat itu sendiri berdiri di atas landasan kritisisme. Kritik merupakan jantung filsafat. Ia mempertanyakan segala sesuatu, termasuk segala kebudayaan dan kebiasaan lingkungan sosial kita sebagai manusia. Para filsuf, dalam ajaran ataupun tulisan-tulisan mereka sering kali mengeritiki orang-orang yang kurang kritis dan hidup ikut-ikutan atau sekadar ikut arus. Mereka sangat membenci orang-orang yang tanpa berpikir panjang mengikuti kebiasaan lingkungan sosial mereka di sekitarnya. Bagi mereka hal itu sama seperti ketika ada orang berdiam, kita berdiam, atau ketika orang berlari, kita juga ikut berlari, walaupun arah lari tersebut menuju jurang penuh nestapa, baik dalam bentuk kehancuran diri kita, walaupun  kehancuran alam.

Salah satu filsuf yang sangat getol mengeritiki orang-orang yang hidup ikut-ikutan pada masanya adalah Friedrich Nietzsche. Ia adalah seorang filsuf besar asal Jerman, yang lahir pada tahun 1844. Dalam bukunya yang berjudul Thus Spoke Zarathustra, dalam bab berjudul The Bestowing Virtue, Friedrich Nietzsche menulis sesuatu yang mengejutkan. Zarathustra - seorang bijak yang juga merupakan tokoh sentral dari buku tersebut - mengatakan kepada para pengikutnya untuk berhenti mengikutinya. Dia berkata, "Sekarang aku pergi sendiri, murid-muridku! Kalian juga pergilah sekarang, pergilah sendirian! Aku menginginkannya demikian. Aku menasihatimu: pergilah dariku, dan jaga dirimu dari Zarathustra! Dan lebih baik lagi: malulah padanya (be ashamed of him)! Mungkin dia telah menipumu." Kata-kata ini adalah salah satu bagian favorit saya dari buku karya Filsuf Jerman ini.

Saat pertama kali membaca kata-kata di atas, sejatinya saya serentak merasa terkejut. Namun, bagi saya hal ini juga menarik, bahwa seorang guru yang terkenal akan kebijaksanaannya akan memberitahu pengikutnya untuk malu dan pergi darinya, meninggalkanya, dan mencurigainya. Mengapa dia melakukan itu?

Dalam sebuah surat kepada saudara perempuannya, Nietzsche menulis, "Jika engkau ingin berjuang untuk kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah; jika engkau ingin menjadi penyembah kebenaran, maka bertanyalah."Dan menurut saya, surat yang ditulis Nietzsche kepada saudara perempuannya itu berkaitan erat dengan Zarathustra yang menyuruh para pengikutnya untuk meninggalkannya karena mereka masih beriman - beriman pada visi realitas Zarathustra. 

Zarathustra sejatinya ingin para pengikutnya menjadi penyelidik -- yang menyelidiki sendiri realitas melalui kacamata mereka. Dia tidak ingin pengikut. Dia tidak ingin orang percaya apa yang dia katakan. Dia ingin mereka meragukannya, bertanya, memverifikasi apa yang dia katakan untuk diri mereka sendiri, dan melihat apakah mereka sampai pada visi realitas yang sama. Dan jika mereka sampai pada visi realitas yang sama, maka mereka bisa bersama menjadi pengelana di dunia ini. Mereka bisa setara. Namun, jika mereka hanya percaya apa yang dia katakan, maka mereka menjadi pengikut.

Pengikut belajar mengikuti peta pemikiran dan visi orang lain, dan dengan melakukan itu, mereka kehilangan hubungan langsung dengan realitas. Jika mereka kehilangan hubungan langsung dengan realitas, mereka semua kehilangan nilai yang berasal dari perspektif unik mereka sendiri. Mereka kehilangan nilai verifikasi independen dan kemungkinan-kemungkinan seseorang mengoreksi kita. Namun, para penyelidik (the inquirers) - para pencari kebenaran, di sisi lain, membuat peta pemikiran mereka sendiri dan memelihara hubungan mereka dengan realitas. Dan karena itu, mereka memberi kita nilai aktual melalui perspektif unik mereka tentang Dunia.

Namun, pada akhirnya, tulisan ini hanyalah pendapat dan pemahaman saya pribadi tentang Nietzsche. Saya percaya bahwa Nietzsche ingin agar manusia lebih mengembangkan sikap kritis daripada sikap ikut-ikutan. Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita harus percaya pada diri kita sendiri dan tidak sekadar hidup ikut arus? Jangan pernah ragu untuk percaya pada diri kita sendiri. Persiapkanlah sendiri jalan hidup dan pilihan yang harus kita pilih secara konsisten.

"No one can construct for you the bridge upon which precisely you must cross the stream of life, no one but you yourself alone."

Friedrich Nietzsche

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun