“Secara kodrati, setiap manusia mempunyai hasrat untuk mengetahui.”[1] Begitulah yang diungkapkan Aristoteles dalam paragraf pertama bukunya yang diberi judul Metafisika. Aristoteles berpendapat bahwa setiap manusia senantiasa memiliki rasa ingin tahu akan segala sesuatu. Manusia selalu berada dalam keadaan menjadi, ia senantiasa bergerak dalam gerakan potensialitas menuju aktualitas – ia bergerak dari ignorantia menuju pengetahuan. Aristoteles dalam hal ini tepat, ia menggambarkan bagaimana manusia yang mempunyai rasionalitas, berusaha untuk mencari tahu keutuhan realitas yang meliputi dirinya. Manusia berusaha untuk mengerti, berawal dari kekosongan dan keheranan, ia mencari tahu segala hal – ia berusaha memahami.
Upaya memahami segala hal yang ada atau upaya memahami realitas merupakan hal yang telah dilakukan seluruh umat manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Selain memahami, manusia juga bertugas untuk menyajikan pemahaman yang ia dapati dari realitas. Ia adalah animal sociale, ia hidup bersama the others. Horizonnya pemikirannya, tidak ia simpan untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk sesamanya. Dalam usahanya itu, dibutuhkan suatu metode yang tepat. Umumnya, manusia menggunakan metode ilmiah dalam upaya memahami realitas, tetapi pada zaman dahulu, metode-metode saintifik belum berkembang seperti sekarang. Realitas pada zaman itu dicari dan disajikan dalam bentuk metafor-metafor. Realitas dipahami secara analogis melalui via affirmativa (jalan penegasan). Setiap atribut-atribut yang ditemui dalam realitas, ditegaskan melalui analogi metaforis. Peradaban-peradaban atau kebudayaan-kebudayaan di masa lalu bahkan hingga sekarang masih menggunakan metode yang sama. Hal ini juga terlihat dalam kehidupan kultural masyarakat Manggarai yang menggunakan bahasa metafora dalam memahami ataupun menyajikan makna realitas.
TOMBO BUNDU: SEBUAH BAHASA METAFORIS
Tombo bundu merupakan salah satu cara memahami dan menyajikan realitas. Dalam kebudayaan Manggarai, tombo bundu memiliki arti dan tempat tersendiri sebagai jalan yang menghantarkan manusia kepada realitas. Tombo bundu berakar dari dua kata bahasa Manggarai, yaitu: tombo dan bundu. Tombo berarti pembicaraan atau percakapan dan bundu berarti teka-teki. Dalam dunia modern dewasa ini, secara umum tombo bundu dimengerti sebagai “teka-teki”. Namun, tombo bundu sebenarnya lebih kompleks. Dalam buku Tradisi Lisan Orang Manggarai, Kanisius Teobaldus Deki mendefinisikan tombo bundu sebagai “Percakapan yang dibuat dalam bentuk perumpamaan dan disajikan melalui bahasa kiasan [bahasa metaforis]”.[2]
Bahasa metaforis merupakan suatu cara memahami dan suatu cara menyajikan makna realitas. Dalam buku Messages, Signs, And Meanings karya Marcel Danesi, metafora didefinisikan secara tradisional sebagai “Penggunaan kata atau frasa yang menunjukkan satu jenis ide menggantikan kata atau frasa lain dengan tujuan untuk menunjukkan kemiripan antara keduanya (misalnya, "Cinta adalah mawar")”.[3] Metafora pada hakikatnya bersifat analogis, ia menggantikan idea yang satu dengan idea yang lain untuk menunjukan kesamaannya. Aristoteles adalah orang yang menciptakan istilah metafora itu sendiri; metafora berasal dari dua padanan kata, yaitu: meta "melampaui" dan pherein "membawa". Filsuf besar Yunani ini melihat kekuatan bahasa metaforis dalam kemampuannya untuk menjelaskan konsep-konsep abstrak.[4] Bagi Aristoteles, “Di tengah-tengah antara hal yang tidak dapat dipahami dan hal yang biasa, metaforalah yang paling banyak menghasilkan pengetahuan.[5]
Sejak zaman kuno, penggunaan metafora telah dilihat terutama sebagai strategi retoris yang digunakan oleh orator dan penulis untuk memperkuat dan memperindah pidato dan komposisi tulisan mereka. Namun, dalam konteks kebudayaan Manggarai, metafora lebih dari sekedar strategi retoris. Metafora yang merupakan basis dari bundu, bermaksud menyingkapkan kenyataan sehari-hari dalam bahasa kiasan yang dirahasiakan untuk mengais makna yang sebenarnya.
TOMBO BUNDU: SEBUAH TRADISI KERAMAT
Dewasa ini, bundu seringkali disajikan dalam berbagai saat-saat senggang atau sebagai bahan obrolan lepas semata. Bundu disajikan begitu saja dalam obrolan sebagaimana teka-teki biasanya. Bundu, bahkan bagi anak-anak masa kini hanya dianggap sebagai permainan saja. Namun sebenarnya sejak dahulu, bundu tidak disajikan demikian. Pada zaman dahulu, dalam tradisi Manggarai, konteks tombo bundu ialah memenuhi acara welang rapu [berjaga menunggui mayat]. Karena sifatnya yang menghibur dan menantang juga menambah wawasan, tombo bundu saat ini kehilangan konteks aslinya. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu.
Pada pada zaman dahulu, orang Manggarai kerap kali menyajikan bundu-bundu sebelum acara ceha kila [menyembunyikan cincin] yang dibuat para pelayat supaya dapat berjaga hingga pagi.[6] Hal ini dilakukan oleh masyakat Manggarai bukan semata-mata bertujuan untuk menghilangkan rasa bosan dan memenuhi konteks keramat welang rapu, melainkan juga bertujuan untuk mengais makna realitas dan makna terselubung yang melingkupi kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun sifat bundu adalah spontan sebagaimana teka-teki biasanya, tetapi bundu tidak boleh dibuat asal-asalan pada sembarang kesempatan. Terdapat nilai sakral dan mistis juga di dalamnya. Menurut beberapa tetua adat Manggarai, ada keyakinan bahwa pada saat tradisi tombo bundu dan ceha kila berlangsung, arwah-arwah orang meninggal ikut bermain dan bahkan menari-nari di luar menyambut kedatangan arwah yang baru meninggal. Itu sebabnya mengapa bundu (plus ceha kila) pada awalnya hanya disajikan hanya pada kesempatan welang rapu.[7]
Perubahan konteks yang terjadi dewasa ini pada tradisi tombo bundu hingga saat ini merebak di seluruh daerah di Manggarai. Tombo bundu hampir tidak lagi disajikan dalam kesempatan-kesempatan welang rapu. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada tradisi tombo bundu tetapi juga tradisi ceha kila. Tradisi yang sebenarnya merupakan sebuah tradisi keramat, akhirnya hilang begitu saja.
Pada hakikatnya, pergeseran konteks dan nilai yang melingkupi tradisi tombo bundu ini disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama yang menyebabkan pergeseran konteks dan nilai tombo bundu ialah karena munculnya kebiasaan berjudi [kartu maupun kupon putih] yang merebak di kalangan masyarakat.[8] Kebiasaan buruk yang dilakukan masyarakat Manggarai saat ini memiliki dampak yang sangat berat tentunya pada aspek sakralitas acara welang rapu. Faktor kedua ialah kemunculan perangkat-perangkat teknologi seperti smartphone yang juga berdampak pada hilangnya tradisi historis masyakat Manggarai, yaitu bundu dan ceha kila. Sebagaimana yang diketahui, kesibukan yang disebabkan oleh scrooling beranda medsos dalam smartphone dapat mengaburkan aktivitas-aktivitas lain di sekitar dan juga menghancurkan suasa keakraban dan kekeluargaan dalam acara welang rapu, serta yang paling parah ialah menghilangkan rasa ingin tahu yang sedemikan sakral dari manusia akan realitas yang mengelilingi kehidupannya.
RAGAM TOMBO BUNDU DALAM TRADISI MANGGARAI
Budaya dan tradisi Manggarai sangatlah kaya akan suatu upaya memahami dan upaya menyajikan realitas. Salah satu contoh dari upaya mengais realitas itu tercakup dalam bundu-bundu yang ada di dalam masyarakat setempat. Sebagaimana bundu merupakan suatu bangunan yang tersusun oleh metafor-metafor, berikut akan disajikan dua contoh bundu yang akan diulas untuk dipahami lebih lanjut mengenai upaya memahami realitas melalui bahasa metafor ala budaya Manggarai.
Contoh bundu pertama ialah bundu yang bersifat mudah sekaligus terkenal dalam masyarakat kebanyakan. Salah satu contoh bundu (teka-teki) yang sering kali terdengar dalam pembicaraan orang Manggarai ini ialah “eme du koen pake baju, eme du tuan toe pake baju”. Maksud atau jawaban dari bundu ini adalah betong (bambu). Ketika betong belum dewasa secara biologis, betong diselimuti oleh lapisan-lapisan kulit atau lapisan pembungkus yang membungkus tunas dari betong yang masih bertumbuh itu guna melindunginya dari kerusakan. Ketika betong itu sudah mulai dewasa, pembungkusnya akan hilang, sebab tunas akan menjadi kuat dan keras sehingga tidak memerlukan pembungkus lagi untuk melindunginya. Di sini, terlihat dengan jelas bahwa salah satu contoh bundu ini secara bulat merupakan suatu contoh metafora analogis akan suatu realitas, yaitu bambu. Atribut-atribut dari bambu dianalogikan dalam kenyataan hidup manusia sehari hari. Hal inilah yang disebut oleh Marcel Danesi dengan faktor-faktor konseptual dari metafora, sebab analogia yang didatangkan berasal dari kenyataan konseptual dan budaya manusia yang didapat dari proses abstraksi.[9]
Contoh bundu kedua yang akan disajikan berasal dari kumpulan bundu-bundu keramat yang biasa dibuat pada acara welang rapu. Bundu itu berbunyi “Eme cake lite mbarun toe kakus, eme oke lite toe nekang" [Jika kita menggali, bukan kakus; kalau kita buang, bukan sampah]. Jawaban dari bundu ini ialah rapu [mayat]. Kubur digali untuk menyimpan mayat. Mayat yang disimpan di tempat itu tidak sama dengan sesuatu yang dibuang sebagai sampah. Perbedaannya terletak dalam rasa hormat: mayat tetap ingat dan dihormati bila dibandingkan dengan sampah. Di sini, terlihat secara jelas, bagaimana permainan kata-kata metafor dan analogi beraksi. Kenyataan yang ingin ditampilkan oleh bundu ini disusupi oleh bahasa metafora yang menyulitkan, tetapi di lain pihak juga menantang serta menggugah rasa penasaran. Melalui bundu yang disajikan, hasrat untuk memahai realitas dihidupkan kembali.
Metafora yang diberikan dalam bentuk bundu disusun oleh bangunan geometris yang melampaui konsep-konsep gramatikal. Namun, realitas yang ingin diungkapkan oleh metafora dalam bentuk bundu ini tepat dan jelas serta tidak salah sasaran. Terlihat dengan jelas bahwa kebudayaan Manggarai sangatlah kaya akan aset-aset intelektual dan kebijaksanaan. Di sini dapat diambil kesimpulan bahwa tombo bundu dalam tradisi dan kebudayaan Manggarai merupakan suatu aset dan harta berharga dalam upaya orang Manggarai untuk memahami realitas.
Tombo bundu yang dibangun oleh fundamen-fundamen metaforis merupakan jalan yang dapat menghantarkan manusia kepada realitas dan maknanya. Upaya memahami realitas merupakan suatu hal mendasar dari hidup setiap manusia. Sebagaimana yang diutarakan oleh Aristoteles bahwa setiap manusia mempunyai hasrat untuk mengetahui, tradisi tombo bundu yang dimiliki oleh masyarakat Manggarai tidak boleh dihilangkan. Menghilangkan tradisi ini, entah dengan menghilangkan sakralitas maupun konteksnya, sama saja dengan mengalienasi masyarakat Manggarai dari kebudayaan, kebijaksanaan, dan makna realitas itu sendiri.
Catatan kaki:
[1] Aristoteles, Metafisika, penerj. W.D. Ross (New Jersey: Princeton University Press, 1985), hlm. 1.
[2] Kanisius Teobaldus Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai: Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra (Jakarta: Perrhesia Institute, 2011), hlm. 159
[3] Marcel Danesi, Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory (Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc., 2004), hlm. 116.
[4] Ibid., hlm. 118.
[5] Aristotle, Rhetoric, Translated by Rhys Roberts (Oxford: Oxford University Press, 1946) dikutip oleh Marcel Danesi dalam Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory (Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc., 2004), hlm. 115.
[6] Kanisius Teobaldus Deki, loc. cit.
[7] Ibid., hlm. 160.
[8] Ibid., hlm. 160.
[9] Marcel Danesi, op. cit., hlm. 134.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H