Mohon tunggu...
onenews sulsel
onenews sulsel Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menjelajahi Sulsel Tanpa Batas

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Korupsi di Indonesia Ibarat Lingkaran Setan

28 Juli 2018   23:41 Diperbarui: 29 Juli 2018   16:48 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta - Tertangkapnya Bupati Lampung Selatan, Zainuddin Hasan yang merupakan adik kandung Ketua MPR Zulkifli Hasan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (26/7), menambah panjang daftar kepala daerah yang tertangkap melakukan tindak pidana korupsi.

Setidaknya ada sepuluh kepala daerah menyandang status tersangka korupsi di KPK pada 2018, dan beberapa di antaranya terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK.

Berdasarkan databank yang dirangkum BRORIVAI Center (April 2018), terdapat enam kepala daerah yang terkena OTT yang dilakukan KPK dan empat kepala daerah lain menjadi tersangka kasus korupsi karena hasil pengembangan kasus sebelumnya.

Secara akumulatif, hingga kini tercatat 18 gubernur dan 75 bupati/wali kota atau wakilnya terjerat kasus korupsi. Pada saat tahun politik, menjelang dan pasca Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018, beberapa pejabat daerah yang terjaring operasi tangkap tangan oleh KPK.

Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa betapa sulitnya bangsa ini mengelola pemerintahan yang baik tanpa kebocoran. Pasalnya, karena dihampir sejumlah peristiwa politik di negeri ini kerapkali diawali dengan proses Pilkada yang penuh dengan pendekatan transaksional. 

Sebab-musabab menjamurnya korupsi kepala daerah di Indonesia, umumnya tidak terlepas dari akar masalah budaya politik transaksional itu sendiri, sehingga siapapun itu, pada saat berada di tampuk kekuasaan, kecenderungan modal awal yang telah dibelanjakan harus ada "return" yang pada gilirannya memanfaatkan APBD sebagai sumber maupun dengan cara menyalahgunakan otoritasnya untuk meraih selisih. 

Dari hasil studi dan riset BRORIVAI Center tentang perkembangan Persepsi Korupsi Indonesia pada 2018, ditemukan bahwa persepsi ini tidak mengalami kemajuan alias semakin memburuk. Ini tercermin dari menguatnya gejala jejaring para pelaku korupsi yang melibatkan kelompok tertentu di lingkungan lembaga legislatif maupun yudikatif - lihat isu diperbolehkannya para mantan nara pidana korupsi untuk ikut dalam pen-caleg-an hingga kasus suap yang terjadi di Lapas Sukamiskin akhir-akhir ini.

Menurut Muhammad Alif Andyva, Executive Board BRORIVAI Center yang kini sedang mendalami studi strategis di Rajaratnam Strategic Internasional Studies (RSIS), Nanyang Technogical University (NTU) mengatakan, indeks persepsi korupsi Indonesia yang pernah dirilis Transparency International (TI) pada 2017 sama seperti tahun sebelumnya di level 37 dari skala 0-100. Di mana skor 0 mengindikasikan paling korup sementara 100 menunjukkan paling bersih.

Sebagai ilustrasi, skor pada peringkat persepsi korupsi Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara. Di peringkat ini Indonesia sesungguhnya sama dengan enam negara lainnya, yakni Brasil, Kolombia, Panama, Peru, Thailand, dan Zambia. Bahkan Indonesia kini lebih buruk dari Timor Leste. 

Berdasarkan peringkat, capaian Indonesia tahun lalu justru turun 6 level dari sebelumnya di peringkat 90. Selandia Baru berada di peringkat pertama dengan skor tertinggi sebesar 89. Ini mengindikasikan bahkan Negeri Kiwi tersebut adalah paling bersih dari korupsi.   Sementara peringkat paling bawah ditempati Somalia dengan nilai 9. Artinya negara tersebut merupakan paling korup dibanding negara lainnya. 

Lanjut Muhammad Alif, salah satu upaya untuk mendorong perbaikan indeks persepsi korupsi Indonesia, cara terbaik yang bisa ditempuh dengan menjalankan secara konsisten Perpres Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang baru saja ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Rabu (25/7).

"Dalam persepsi ini, ada tiga fokus pencegahan, yaitu keuangan negara, perizinan, dan penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Terkait keuangan negara, perpres ini akan mendorong pencegahan korupsi mulai dari penerimaan hingga pengeluaran negara", jelas Muhammad Alif dalam catatannya yang diunggah di website, brorivaicenter.com. 

Perkembangan mutakhir, fakta menunjukkan bahwa sebanyak dua pertiga negara di dunia dikatagorikan sebagai negara korup, termasuk negara sekelas Rusia dan Tiongkok juga ikut masuk ke dalam daftar ini.

Karena itu, masalah korupsi menjadi salah satu studi menarik di dunia, dan kini menjadi bagian dari studi strategis dalam konteks analisis dinamika lingkungan demokrasi global saat ini. 

Ditinjau dari adanya "trend" kemerosatan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia, umumnya terjadi karena dinilai banyaknya negara yang bergerak telalu lamban dalam memerangi isu korupsi tersebut, disamping adanya pengaruh budaya, mentalitas, pendidikan, dan sistem politik yang koruptif.

Melalui catatan ini, Muhammad Alif menyerukan "wahai anak negeri, sadar atau tidak, korupsi sepertinya sudah mengakar dan semakin merajalela, ibarat seperti lingkaran setan. Meskipun banyak negara melakukan upaya memerangi korupsi, termasuk di Indonesia, tetapi secara realitas sebagian besar negara masih terlalu lamban untuk bertindak," Tegasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun