Melihat judulnya saja kita tentu telah familiar dengan novel karya Marah Rusli ini, Novel yan g sempat menjadi fenomena pada masanya dan hingga saat ini masih enak untuk dinikmati. Kita mungkin lebih banyak terbuai dengan roman yang disajikan, namun kita pantas mengagumi sudut pandang politik sang penyair yang tersirat dari Novel tersebut.
Di kisahkan, seorang gadis bernama Siti Nurbaya yang baru mengenal cinta dan menikmati indahnya dunia karena cinta dengan kekasihnya Syamsul Bahri terpaksa harus mengorbankan kebahagiaannya agar dapat membahagiakan ayahanda, Baginda Sulaiaman. Baginda Sulaiman yang tadinya sukses mengembangkan perniagaan dengan berhutang kepada rentenir bernama Datuk Maringgih, jatuh bangkrut. Seluruh perniagaannya habis dilahap oleh api yang kelaparan. Kebangkrutan ayahanda Baginda Sulaiman membuat Siti Nurbaya tak punya banyak pilihan selain mengikuti keinginan sang rentenir, yaitu untuk bersanding bersama berstatus istri. Ya. Istri. Istri dari lelaki tua yang tak hanya pantas menjadi ayahnya, tetapi juga layak disebut kakek. Sedangkan sang kekasih, Syamsul Bahri, lelaki tegap dan tampan itu tengah menempuh studi di Stovia, Batavia. Mendengar sang kekasih telah dipersunting Datuk Maringgih tidak membuat Syamsul Bahri berhenti mengunjunginya. Perbuatan itu tak bisa diterima oleh Datuk, percek-cokan pun terjadi. Baginda Sulaiman pun meninggal karena alasan tersebut. Malu dengan perbuatan anaknya, Sultan Mahmud, ayah Syamsul Bahri mengusir Syamsul agar segera kembali ke Batavia dan tak lagi pulang ke kampung. Mendengar hal itu, Siti Nurbaya pun berniat menyusul kekasihnya ke Batavia. Kepergian Siti Nurbaya berpotensi menimbulkan aib bagi Datuk Maringgih, akhirnya dia pun mengisyaratkan kaki tangannya untuk menyajikan lemang beracun bagi Siti. Dikisahkan kemudian, karena putus asa, Syamsul Bahri berniat mengakhiri hidupnya. Beruntung baginya, tuhan belum menghendakinya. Syamsul Bahri kemudian berhenti dari studinya dan memilih masuk akademi militer kolonial Belanda. Datuk Maringgih berkali-kali membuat huru - hara di kampung. Syamsul Bahri adalah orang yang terpilih untuk melakukan "pengamanan" di kampung tersebut. Kegelisahan sang penyair, Marah Rusli mulai bergejolak. Datuk Maringgih yang seorang "tokoh" lokal menggunakan atribut nasionalisme-nya mempengaruhi masyarakat untuk memperjuangkan kaum pribumi, sedangkan Syamsul Bahri yang merupakan "anthek" kolonialisme yang telah membuat hati kita tergetar dengan romantisme cintanya adalah orang yang penopang keberlangsungan penjajahan kolonial, ya, kolonial. Kolonial yang membuat kita harus bekerja keras untuk kemudian diambil dan diserahkan ke daerah jauh di sana, Holland. Sedangkan siapa Datuk Maringgih itu? Dia lah orang yang terganggu kekuasaannya oleh kekuasaan yang lebih besar lagi. Dia lah orang yang selama ini, dengan tipu dayanya membuat masyarakat terpaksa berhutang untuk kemudian menjebak masyarakat dalam hutang yang tak mungkin dapat dilunasi. Sesungguhnya keduanya adalah orang-orang yang telah menikmati keringat masyarakat hingga ke kelenjar - kelenjarnya. Mereka layaknya preman - preman yang berebut lahan, dan masyarakat adalah mangsanya. Dalam Novel Siti Nurbaya, Marah Rusli memaksa kita untuk memilih dan berpihak. Lantas, Bagaimana dengan Marah Rusli? Apa pilihannya? Dia belum memutuskan. Masih Gelisah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H