Ini adalah ajaran dimana saya hidup: Bersiaplah untuk yang terburuk ; mengharapkan yang terbaik ; dan ambil apa yang datang
Terus terang saja membaca beberapa tulisan Yuval Noah Harari yang dapat diakses bebas di www.antinomi.org dalam versi bahasa Indonesia , mengingatkan saya pada Hannah Arendt seorang filsuf politik perempuan Yahudi abad 20.
Terlepas dari mereka memiliki latar belakang Yahudi yang sama, apa yang telah disinggung oleh Noah Harari dalam tulisannya yang berjudul Dunia setelah Corona Virus, terkait bagaimana negara akan berubah menjadi monster pengawas terhadap tubuh dan pikiran warga negaranya melalui kumpulan data biometris, sebenarnya telah disinggung oleh Arendt pasca perang dunia pertama ketika Jerman mengalami kekalahan besar.
Membaca Noah Harari hari ini, rasanya seperti membaca kembali pikiran Arendt dengan subjek sejarah yang berbeda, namun dengan ketakutan yang nyaris sama.
Dalam tulisannya, Harari menyinggung terkait kebijakan beberapa negara di dunia dalam meminimalisir persebaran wabah Covid-19, di antaranya adalah China dan Israel.
Di China, sebagai negara yang pertama kali menghadapi wabah, pemerintah telah melengkapi gawai warga negaranya dengan alat kamera pengenal wajah, dan mewajibkan setiap orang untuk mengecek dan melaporkan temperatur tubuh dan kondisi medis mereka, otoritas China tak hanya dapat cepat mengidentifikasi mereka yang dicurigai terjangkit virus korona, tetapi juga melacak pergerakan mereka dan mengidentifikasi dengan siapa saja mereka bersentuhan.
Sementara itu di Israel, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melimpahkan wewenang kepada Badan Pertahanan Israel untuk mengerahkan teknologi pengawasan yang pada biasanya dipergunakan demi menumpas teroris untuk melacak pasien virus corona.
Kemajuan ilmu pengetahuan disinyalir akan mampu menciptakan teknologi yang dapat mendukung negara untuk membuat sistem pengawasan mutakhir dan menentukan apa yang "terbaik "untuk warga negaranya ke depan, kurang lebih begitu apa yang dimaksud oleh Profesor Sejarah andalan saya ini heheh
Benar, lagi dan lagi ilmu pengetahuan akan tetap menjadi legitimasi tak terelakkan di perkembangan peradaban umat manusia. Dalam kondisi seperti ini orang akan lebih percaya pada sesuatu yang di lengkapi dengan kalimat " riset membuktikan ", begitu kira-kira.
Serupa dengan apa yang telah disinggung oleh Harari, pada awal abad 20 tepatnya menjelang peristiwa Holocaust, yaitu pembantaian terhadap umat manusia terbesar terjadi di Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, Jerman pada saat itu juga menggunakan legitimasi ilmiah untuk mendeteksi warga negaranya yang berketurunan Yahudi.
Menurut Arendt yang juga menjadi korban selamat dalam peristiwa genosida terbesar di Benua Eropa pada saat itu , Hitler mengerahkan para ilmuwan untuk mengabdi pada negara dan mendukung kebijakan - kebijakan yang dikeluarkan olehnya. Bahkan nama ilmuan master eksistensialis sekelas Martin Heiddeger juga tak ketinggalan menjadi followers sang Fuhrer ini.
Demi mewujudkan gagasan-gagasan rasialnya yang tertulis dalam karyanya yang berjudul Mein Kampf, yang mana ras arya adalah ras paling unggul dibanding ras lainnya. Hitler tak tanggung-tanggung untuk mengerahkan para ilmuwan untuk mencari orang-orang yang memiliki mata biru, berambut pirang, berbadan jangkung, dengan panjang hidung dan panjang telinga dengan ukuran tertentu, yang mana dianggap sebagai ras arya sejati. Dan jika seorang warga negara tidak berciri demikian, maka ia berhak dicurigai sebagai Yahudi atau ras lain yang legal untuk dimusnahkan.
Menentukan silsilah rasial dengan pengukuran daun telinga di Institut Antropologi Kaisar Wilhelm . Sumber Gambar (Ensikolopedia Holocaust)Bahkan untuk menyingkirkan orang-orang tidak produktif seperti lansia, penyandang disabilitas, Hitler tak segan-segan membuat sebuah program yang disebut "Eutanasia" untuk melegalkan para dokter di Jerman dan profesional kesehatan lainnya untuk membunuh mereka dengan tenang di yayasan-yayasan penampungan.
Benar saat itu pengawasan terhadap warga negara masih dilakukan secara manual, alias pakai tenaga manusia. Dan belum mampu menembus ke dalam kulit warga negara sedikit mengutip istilah Harari.Tapi korban yang berjatuhan nyatanya mencapai enam juta jiwa, itu pun belum termasuk orang-orang Roma (Gipsi) dan lawan politik Hitler ( Baca: Ensiklopedia Holocaust ). Lantas bagaimana jika saat itu sudah ada teknologi yang dapat menembus batas kulit? , yang mana mampu mendeteksi perasaan senang, sedih, cemas atau pun marah seorang warga negara. Tentu dapat dengan mudah Hitler mengetahui siapa saja yang berpotensi menjadi lawan politiknya. Sampai di sini saya rasa kekhawatiran Noah terkait totaliterisme negara dalam bentuk pengawasan biometris masa depan yang didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dalam artikelnya tidak lah berlebihan.
Pelita di Tengah KrisisÂ
Menurut Arendt dalam karyanya Asal-Usul Totaliterisme selain sebagai pemimpin, Hitler adalah seorang ideolog yang luar biasa. Kepiawaiannya dalam orasi dan meyakinkan orang-orang di sekitarnya terkait pemahamannya akan ras manusia unggul adalah sesuatu yang tak bisa dipandang sebelah mata. Politik identitas menjadi bahan bakar utama tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah dunia itu. Hitler mampu memainkan sentimen antar ras orang-orang Eropa dan mengembalikan kepercayaan diri Jerman yang terpuruk karena kalah perang pada perang dunia pertama.
Meyakinkan bangsanya bahwa Yahudi tengah menggalang kekuatan untuk menguasai perekonomian dunia dengan menjadi warga negara Jerman, nyatanya berhasil meyakinkan para pengikutnya, yang terdiri dari orang-orang pengangguran, buangan partai, dan warga lokal yang kalah saing secara perekonomian dengan masyarakat pendatang yang mayoritas adalah Yahudi. Sekali lagi di balik krisis masyarakat Jerman, Hitler meraih simpati.
Dalam karyanya Arendt juga menyebutkan betapa krisis negara pada saat itu, nampak membuat mimpi - mimpi Hitler terkait ras Arya sebagai ras unggul dan tak terkalahkan sebagai penguasa dunia dan bukan Yahudi, adalah satu-satunya pelita di tengah gelapnya badai krisis.
Sepintas membaca karya Arendt tentang Hitler ini , saya masih diliputi rasa tidak percaya bahwa semudah itu seseorang digiring pada ide-ide gila seorang pemimpin yang belakangan diketahui memiliki ciri-ciri psikopat.
Namun melihat masyarakat dunia hari ini yang secara menggila berburu masker, sanitizer, dan bahan makanan ketika wabah Corona menyerang , saya menjadi percaya bahwa di situasi krisis sesuatu yang tak masuk di akal pun itu mungkin.
Totalierisme Negara dan Manusia Otentik
Hitler dengan sejumlah kebijakannya yang tidak manusiawi, berhasil menjadikan Yahudi sebagai musuh bersama, atau dalam istilah Arendt disebut sebagai " musuh objektif "
Kebijakan ini diawali dengan melakukan sinkronisasi terpadu, yang memaksa organisasi, partai politik, dan pemerintah negara untuk sejalan dengan sasaran-sasaran yang ditetapkan Nazi dan yang menempatkan mereka di bawah kepemimpinan Nazi. Budaya, ekonomi, pendidikan, dan hukum berada di bawah kendali Nazi yang lebih besar. Syarikat-syarikat dagang ditiadakan dan para pekerja, pegawai, dan majikan dipaksa bergabung dengan organisasi-organisasi Nazi. Per pertengahan Juli 1933, partai Nazi menjadi satu-satunya partai politik yang sah di Jerman. Reichstag (parlemen Jerman) menjadi "tukang stempel"untuk kediktatoran Hitler. Kemauan sang Fuehrer menjadi landasan kebijakan pemerintah.
Sebagai Fuehrer sekaligus ideolog, Hitler mendapatkan legitimasi secara suka rela dari masyarakat Jerman untuk menentukan apa yang "terbaik" untuk kehidupan mereka.
Berawal dari penentuan buku bacaan , pilihan politik, cara berkomunikasi, menikah dengan sesama ras demi menjaga kemurnian ras, hingga membunuh menjadi sesuatu yang dapat dikendalikan oleh negara. Hitler benar - benar melakukan dominasi total terhadap sendi-sendi kehidupan warga negaranya meskipun tanpa data biometris sekalipun.
Lantas bagaimana jika diam-diam ada oposisi yang menyamar di antara warga negaranya ?
Menyadari itu Hitler telah menyiapkan Gestapo (Geheime Staatpolizie) atau polisi negara rahasia, yang di dalamya terdapat kelompok yang disebut pasukan huru-hara atau Sturmabteilungen (SA). Pasukan huru-hara ini bertugas menjadi menjadi mata-mata Hitler di tengah masyarakat.
Polisi rahasia ini menyamar menjadi masyarakat biasa yang bertugas mencari informasi dan data sebanyak mungkin terkait pihak-pihak yang dicurigai sebagai pembangkang. Cara kerjanya cukup cepat dan terukur, dengan mengumpulkan informasi tentang calon korban dari orang-orang terdekat seperti keluarga, kerabat atau pun tetangga yang berinteraksi dengannya. Dan jika mereka bersedia orang-orang terdekat korban ini juga akan didapuk sebagai mata-mata negara. Memberikan informasi pribadi kala itu sama halnya dengan berbakti pada negara.
Meskipun tidak ada teknologi canggih pada saat itu, menurut Arendt , Hitler dengan kemampuan polisi rahasianya dapat menghilangkan rasa percaya sesama anggota keluarga lebih canggih dari teknologi manapun. Karena semua berpotensi menjadi mata-mata negara.
Sekali lagi apa yang ditakutkan oleh Harari dalam tulisannya adalah sesuatu yang pernah benar-benar terjadi di abad 20. Ini semakin menguatkan pandangan bahwa sejarah memang akan berulang, namun dengan sejumlah modifikasi.
Modifikasi yang saya maksud kali ini adalah dengan adanya bantuan teknologi dalam mengumpulkan data-data terkait warga negara. Pemimpin totaliter tak perlu lagi bersusah payah membentuk polisi rahasia untuk sekedar menertibkan warga negara, cukup dengan memantau algoritma yang ada di ponsel pintar setiap warganya, negara dapat membentuk kebijakan dengan cepat.
Jika hal ini terjadi tak akan ada manusia otentik. Tidak ada lagi kata privasi untuk tubuh, semua milik negara. Keberbedaan sudut pandang sebagai sifat dasar manusia akan menjadi sebuah ancaman bagi negara. Demokrasi ? Ah anda tentu bisa melanjutkan kalimat ini untuk saya bukan?
Profesor Harari benar kita memang harus menyiapkan rencana global untuk melawan Corona, namun terlepas dari itu semua mempersiapkan rencana global untuk memanusiakan pemanfaatan ilmu pengetahuan pasca krisis, adalah hal yang juga tak boleh dilewatkan.
Dalam karyanya Arendt telah mengingatkan kita semua, jika gerbang totaliterisme akan terbuka ketika warga negara mulai memberikan akses seluas-luasnya untuk menentukan apa yang terbaik bagi diri setiap individu. Dan Masyarakat Jerman pernah tidak menyadari itu ketika krisis.
Berusaha untuk tetap berpikir jernih dan sejenak mengambil jarak dari negativisme yang disebabkan oleh krisis, adalah salah satu upaya untuk tetap menyadarkan diri pada setiap keputusan yang diambil berikut konsekuensi-konsekuensinya. Dan melalui karyanya dua maha guru saya ini telah mencoba untuk mengingatkan kita.
Khawatir itu pasti, waras itu pilihan...
Sumber:
Arendt, Hannah. 1993. Asal-usul Totaliterisme (terj). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Sudibyo, Agus. 2012. Politik Otentik : Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt. Tangerang : Marjin Kiri
Hardiman, F Budi. 2011. Masa, Teror dan Trauma. Yogyakarta : Lamalera
https://antinomi.org/2020/03/29/yuval-noah-harari-dunia-setelah-virus-korona/
https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/nazi-rule
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H