Melewati tahun ketiga pemerintahan era Joko Widodo atau lebih akrab disapa Jokowi menjabat sebagai Presiden RI, sudah banyak sekali proses kerja dan proyek yang dilakukan. Ada masyarakat yang puas akan kinerjanya, tetapi juga banyak yang merasa bahwa selama 3 tahun lebih ini kinerja Jokowi masih belum memuaskan.
Selain permasalahan ekonomi, sosial dan penegakan hukum yang masih carut marut, masyarakat juga menyoroti semakin mencoloknya praktik bagi-bagi kursi dan jabatan di era Jokowi. Presiden secara terang-terangan sejak ia menjabat kerap melakukan hal-hal seperti ini, yaitu membagi-bagi jabatan strategis (Menteri) untuk pendukung, kerabat dan para tim suksesnya. Koalisi non transaksional yang selama ini digembar-gemborkan kubu PDI-P ternyata hanya bualan semata.
Sebagai contoh bagi-bagi jabatan yang masih hangat yaitu pengangkatan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin sebagai Komisaris Angkasa Pura I. Banyak pengamat berpendapat penunjukan Ngabalin juga tidak dilakukan secara transparan. Mestinya penunjukan Ngabalin perlu melalui fit and proper test (uji kompetensi dan kelayakan).
Yang terbaru yaitu pergantian menteri PAN, Asman Abnur sebagai Menpan-RB yang digantikan dari petinggi Polri yaitu Komjen Syafruddin yang sebelumnya menjabat sebagai Wakapolri. Padahal pihak istana sebelumnya memuji kinerja dan prestasi menteri PAN-RB yang cukup baik.
Asman Abnur memang memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya, namun perlu diketahui jika sebelum itu sudah ada isyarat dari Mensesneg bakal mencopot Asman dari jabatannya. Hal ini dikarenakan sikap PAN yang tidak mendukung bakal calon presiden dan calon wakil presiden, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
Dari beberapa contoh (bagi-bagi jabatan) yang selama ini kerap dilakukan pemerintah, banyak pihak menilai bahwa Joko Widodo hanya Presiden untuk kelompok koalisinya saja, bukan presiden seluruh rakyat Indonesia. Siapapun pihak yang bersedia mendukung, membela dan berkoalisi pemerintah, pasti akan mendapatkan jabatan atau kursi.
Jika praktek politik seperti ini dibiarkan dan menjadi budaya pada setiap rezim pemerintahan, sangat sulit untuk membangun bangsa dan negara Indonesia. Pemerintahan Jokowi seharusnya lebih mempertimbangkan faktor profesionalisme dalam mengisi jabatan-jabatan strategis demi membawa perubahan ke arah yang lebih baik, bukan karena faktor like and dislike dan pihak koalisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H