Semalam telah habis aksara dan kata. Ratusan burung kertas mengambang di udara. Kudengar kicaunya hingga ke buku-buku. Kita seperti kisah dalam buku yang berhalaman ganjil, padahal keinginan kita sederhana, saling menggenapkan.
Lalu kamu menangis dalam pelukan do'a. Sebenarnya aku hendak menyelinap. Namun puisi telah lama mengajariku bahwa hasrat jangan pernah padam, sekalipun cinta telah mati. Supaya kau tahu, puisiku berdenyut mengikuti jantungmu.
Kini hanya puisi sebagai saksi, ada yang mengalir lembut di bawah kulitku. Mirip kehangatanmu dalam ingatanku. Kupanjatkan sepi di ranum pipi puisi, sekalian basah, tak bisa terbang dan berkicau lagi. Mungkin malam ini kau sebut aku sebagai mimpi buruk, tapi aku tetap bernadi, sekalipun hendak mati.
SINGOSARI, 29 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H